Buah Rosella dan Bunga Songler (14)

Sebagaimana fiksi seperti yang telah kumaksudkan sebelumnya, kehidupan dan riwayat hidupku pun sesungguhnya adalah sebuah fiksi: masa silam yang menyulam dan menenun ingatan dan kenangan tentang kegembiraan dan kebahagiaan dalam lembar-lembar berwajah ganda karena di sana ada juga riwayat nestapa. Namun ada beberapa hal yang hadir yang keberadaan hal-hal itu telah turut pula mengubah cara berpikir dan cara berpandangku sebagai manusia. Beberapa ahli dan pakar serta para pemikir (filsuf) menyebutnya sebagai kemajuan. Yang kumaksud, sebagaimana telah kukatakan sebelumnya, di sini adalah kehadiran infrastruktur dan tekhno-sains, selain industri yang telah kupaparkan sebelumnya.

Apa yang kumaksudkan itu adalah ketika aku telah menempuh pendidikan sekolah menengah pertamaku, ketika perubahan tiba-tiba datang dan hadir cukup drastis, yang kelak akan mengubah keadaan lingkungan desa kami. Kala itu, mobil-mobil truck besar (kami menyebutnya mobil-mobil losbak) datang beriringan membawa tiang-tiang beton dan kemudian para pekerja menurunkan tiang-tiang beton tersebut di tepi jalan. Sementara itu, para pekerja lainnya sibuk menebangi pohon-pohon besar sepanjang jalan dengan menggunakan gergaji mesin. Keesokan harinya, mereka pun mulai menancapkan tiang-tiang beton tersebut, dan bersamaan dengan itu pula aku tahu bahwa mereka sedang membangun jaringan listrik di desa-desa, dan orang-orang desa diminta menyetorkan sejumlah uang bila rumah-rumah mereka ingin dialiri listrik. Itulah masa-masa di tahun 90an, ketika kehadiran dua infrastruktur telah mengubah desa kami dalam banyak hal, secara ekonomi dan budaya, yaitu industri dan jaringan listrik. Tak lama kemudian, mobil-mobil truck yang mengangkut batu dan aspal pun hadir dan datang beriringan, menurunkan batu-batu dan tong-tong aspal di pinggir jalan, yang disusul kemudian dengan perangkat-perangkat berat lainnya, seperti mobil-mobil slender. Dan segera, mereka pun mulai melakukan pembangunan jalan aspal sebelum kemudian saat ini jalan itu dibeton. Kebetulan salah-seorang mandornya yang orang Bandung dan sejumlah pekerja yang berada di bawah tanggungan dan pengawasannya mengontrak di rumah kami.

Keluarga kami melihat pembangunan jalan aspal dan kehadiran banyak pekerja tersebut sebagai peluang untuk mendapatkan uang, dan akhirnya keluarga kami pun membuka warung makan di rumah kami, sehingga para pekerja (yang juga mengontrak di rumah kami) itu bisa membeli makan mereka sehari-hari dari warung makan kami. Dan hal itu pun ternyata diikuti pula oleh para mandor dan para pekerja lain yang tidak mengontrak di rumah kami. Ternyata, setelah pembangunan jalan aspal itu selesai, keluarga kami kemudian berjualan nasi bungkus yang dijual kepada para karyawan yang bekerja di pabrik kertas tempat kakakku bekerja. Dan kakakku-lah yang membawa nasi-nasi bungkus tersebut di tempat kerjanya, yang rupanya dijual kepada teman-temannya sesama karyawan di pabrik kertas tersebut, karena menurut mereka masakan keluarga kami yang diketuai ibuku lebih enak dan tidak terlalu mahal dibanding mereka harus makan di warung-warung makan di sekitar pabrik tempat mereka bekerja.

Saat itulah, tekhnologi tivi berwarna pun mulai hadir menggantikan tivi hitam putih. Namun, sebelum kehadiran tivi berwarna di desa kami, tentu kami terlebih dulu akrab dengan tivi hitam putih yang menggunakan tenaga ACCU. Di masa-masa remaja, sebelum listrik hadir di rumah-rumah kami itulah, kami menonton televisi di malam Minggu saja atau di hari Minggu-nya, seperti menonton acara Kameria Ria dan film-film yang ditayangkan setiap malam Minggu yang ditayangkan stasiun atawa kanal Televisi Republik Indonesia alias TVRI, dengan menggunakan tenaga ACCU. Kehadiran tekhnologi tivi itu memberikan kegembiraan tersendiri bagi kami selain menghadirkan informasi dan wawasan. Bahwa setidak-tidaknya kami tahu juga ada banyak peristiwa menarik di dunia luar sana saat kami menonton program Dunia dalam Berita-nya Televisi Republik Indonesia (TVRI) di masa-masa itu.

Sebelum kehadiran listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), tenaga atau energi atau daya ACCU itu pula yang kami gunakan untuk mengumandangkan adzan dengan pengeras suara (speaker), dan jika tenaga ACCU itu habis, kami akan mengisi ulang “energinya” di tempat pengisian umum selama beberapa jam dengan tarif dan bayaran yang telah dintentukan oleh si pemilik pengisian ulang tenaga ACCU tersebut.

Biasanya kami akan kecewa dan merasa kesal ketika pada malam Minggu di stasiun TVRI itu (satu-satunya stasiun televisi yang ada di era itu) menayangkan Laporan Khusus, yang biasanya pula menayangkan Harmoko dan Moerdiono (yang bicaranya lambat dan terbata-bata) atau menayangkan kegiatan dialog acara kelompencapir yang dipimpin Presiden Soeharto langsung, dan karena itu kami mematikan televisinya untuk sekira satu atau dua jam (karena biasanya acara itu memang lama) demi menghemat tenaga ACCU agar tidak cepat habis, dan karena itu kami acapkali terpaksa harus begadang demi untuk menonton acara Kamera Ria dan film Malam Minggu seperti beberapa film yang disutradarai Teguh Karya.

Kala itu, hanya dua orang saja yang memiliki tivi hitam putih di kampung kami, dan karenanya di setiap Malam Minggu tersebut harus nonton ramai-ramai dan tak jarang berdesakan satu sama lain di antara kami. Beberapa tahun kemudian, keluarga kami memiliki televisi hitam putih 14 inchi sendiri, dan dapat dikatakan memiliki televisi sendiri merupakan gengsi sosial tersendiri pula bagi si pemiliknya. Tentu saja saat itu aku belum tahu, atau katakanlah belum atau tidak sadar, bahwa TVRI sejatinya adalah media yang menjadi corong pemerintahan Orde Baru Soeharto, sebab yang penting bagi kami adalah kami bisa menonton acara-acara atau tayangan-tayangan yang kami sukai. Dan seperti telah kukatakan, demi menghemat tenaga ACCU itu, kami hanya menonton acara-acara alias tayangan-tayangan yang kami suka saja, seperti acara-acara di Malam Minggu dan di Hari Minggu, sebagaimana yang telah disebutkan.

Dari stasiun TVRI di masa-masa itulah kami tahu kisah-kisah suku Indian Geronimo dan Apache, film-film koboy seperti Django, atau penyanyi-penyanyi Indonesia yang populer di masa-masa itu. Itulah jaman di mana yang ngetrend kala itu adalah film-film koboy, petinju Elias Pical, Mohammad Ali, dan Mike Tyson, drama seri Oshin (yang kemudian di-filmkan dengan versi mutakhirnya), dan tentu saja film-film Indonesia di era itu. Dan kini barangkali perlu kembali ditanyakan: Apa bahagia itu? Adakah ia sama dengan keriangan dan kegembiraan? Kapan dan di mana kebahagiaan atau rasa bahagia dapat ditemukan, dijumpai dan dirasakan? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kutanyakan di dalam hati ketika aku dewasa itu, barangkali ketika aku harus menembus waktu melalui mesin waktu yang bernama kesadaran dan pencerahan yang harus ditempuh dan diusahakan manusia.