Old Shatterhand Bab 1 (Greenhorn)

oleh Karl May

Pembaca yang budiman, tahukah kalian makna kata “Greenhorn”? Orang pasti sangat kesal dan terhina jika dijuluki sebagai “Greenhorn”. Seorang Greenhorn adalah orang yang masih “hijau” dalam arti masih baru dan awam di Barat. Dia harus berhati-hati agar tidak berbuat bodoh. Bagaikan sapi yang tanduknya belum dewasa, dia harus mempelajari banyak hal sebelum layak dipandang dua mata oleh rekan-rekannya.

Greenhorn adalah orang yang tidak berdiri dari kursinya ketika seorang perempuan ingin duduk di sana. Dia keliru dengan menyapa tuan rumah terlebih dulu sebelum mengangkat topinya kepada sang nyonya dan nona. Dia melakukan kesalahan saat mengisi senapannya, yaitu dengan mendorong selongsong di dalam laras ke belakang atau terbalik melakukan urutan pengisian dengan memasang sumbat ke moncongnya dulu, lalu pelurunya, baru terakhir bubuk mesiu. Seorang Greenhorn tidak bisa berbahasa Inggris atau sebaliknya bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar. Bagi seorang Greenhorn, bahasa Inggris ala Yankee atau bahasa Inggris dusun sama-sama tidak beradab. Dia tidak paham saat orang lain berbicara dengan ragam bahasa itu, apalagi menggunakannya untuk mengungkapkan maksudnya sendiri.

Seorang Greenhorn tidak bisa membedakan antara rakun dan oposum, juga antara Mulato[1] yang berdarah separuh campuran dan Quadroon[2] yang berdarah seperempat campuran. Seorang Greenhorn merokok dengan rokok putih dan tidak suka orang yang mengunyah tembakau. Jika ditampar oleh orang Irlandia, seorang Greenhorn kabur dan mengadukan kasusnya kepada hakim alih-alih menembak saja lawannya di tempat sebagaimana yang akan dilakukan oleh Yankee sungguhan. Seorang Greenhorn keliru mengira jejak kaki seekor ayam Turki sebagai jejak kaki seekor beruang dan keliru mengira perahu yacht sebagai kapal uap Mississippi.

Seorang Greenhorn enggan menaruh sepatu bot kotornya di atas lutut rekan-rekannya atau untuk menyeruput supnya dengan suara terengah-engah seperti bison sekarat. Demi menjaga kebersihan, seorang Greenhorn membawa sebuah spons sebesar labu raksasa dan sabun sebanyak kilogram ke padang prairi. Dia juga membawa sebuah kompas yang tiga atau empat hari kemudian jarumnya menunjuk semua arah selalu utara.

Seorang Greenhorn mencatat 800 ungkapan dalam bahasa Indian dan baru sadar, begitu dia bertemu orang Indian pertamanya, bahwa catatan itu tertukar dengan surat yang dia kirim ke rumah dan dia malah membawa surat yang semestinya dikirim. Seorang Greenhorn membeli bubuk mesiu lalu sadar, ketika dia siap melakukan tembakan pertamanya, bahwa dia malah diberikan bubuk arang halus. Seorang Greenhorn telah mempelajari astronomi selama sepuluh tahun tanpa bisa mendongak ke langit berbintang dan mengatakan pukul berapa sekarang. Seorang Greenhorn memasukkan pisau Bowie[3] ke dalam sakunya sehingga pahanya tertusuk saat dia membungkuk. Saat berada di Wild West, seorang Greenhorn membuat api unggun yang besar sekali hingga setinggi puncak pepohonan, kemudian, saat dia ditembaki oleh orang-orang Indian, dia heran bagaimana mereka bisa mengetahui keberadaannya.
Seperti itulah seorang Greenhorn, dan dulu aku sendiri juga Greenhorn.

Namun, jangan menyangka aku pernah percaya atau bahkan sekadar tahu bahwa julukan menyakitkan ini pantas bagiku! Oh tentu tidak, karena inilah sifat yang paling menonjol dari seorang Greenhorn, yaitu kita yakin bahwa orang-orang lain adalah Greenhorn, sedangkan kita sendiri bukan.

Sebaliknya, aku menganggap diriku sangat cerdas dan berpengalaman. Bukankah aku selalu rajin belajar dan tidak pernah ciut menghadapi ujian? Tidak pernah terpikir oleh otakku yang masih belia bahwa kehidupan adalah sekolah yang sesungguhnya; bahwa murid-murid kehidupan diuji setiap jam setiap hari dan bahwa mereka harus membuktikan diri kepada Yang Mahakuasa.

Akibat situasi yang tidak menyenangkan di kampung halaman dan keinginan untuk bertualang, aku menyeberangi samudra ke Amerika Serikat. Bagi pemuda yang ambisius, Amerika Serikat saat itu jauh lebih baik daripada sekarang ini. Aku bisa menghasilkan banyak uang di kota-kota Amerika Serikat bagian timur, tetapi aku merasa terdorong ke barat. Dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain yang tidak pernah bertahan lama, akhirnya tabunganku cukup banyak untuk pergi ke St. Louis yang cukup dekat ke barat. Aku pun tiba di sana dengan penampilan baik dan semangat yang tinggi, lalu cukup beruntung menemukan sebuah keluarga Jerman yang memberiku tumpangan sebagai guru pribadi.

Aku berkenalan dengan Mr. Henry saat dia mengunjungi keluarga ini. Dia orang yang sangat unik, seorang pembuat senjata yang berdedikasi tinggi layaknya seniman. Dengan bangga dia menyebut dirinya sendiri sebagai “Mr. Henry, Sang Pandai Senjata”. Orang ini luar biasa hangat dan baik hati kendati terlihat sebaliknya. Selain keluarga Jerman tempatku bekerja, dia tidak mempunyai relasi pribadi. Bahkan kepada para pelanggannya, dia bersikap sangat ketus dan kasar sehingga mereka kembali kepadanya demi mutu barang-barang dagangannya semata.

Dia telah kehilangan istri dan anak-anaknya akibat kejadian menyedihkan yang tak pernah dia bicarakan. Berdasarkan sebagian ceritanya, aku curiga mereka terbunuh dalam sebuah penyergapan. Hal itu membuat Mr. Henry tampak kasar. Mungkin dia bahkan tidak sadar dirinya benar-benar bertingkah kurang ajar, tetapi dalam lubuk hatinya dia lembut dan baik hati. Aku sering melihat matanya berkaca-kaca saat aku berbicara tentang kampung halamanku dan keluargaku yang selalu menjadi junjungan hatiku.

Mengapa laki-laki tua ini menjadi menyukaiku, seorang pemuda asing, menjadi misteri hingga dia menjelaskannya suatu hari. Sejak aku tinggal di sana, secara rutin dia berkunjung. Dia mendengarkan saat aku mengajar, lalu seusainya dia memonopoli perhatianku dan bahkan mengundangku bertamu ke rumahnya. Dia tidak pernah memberikan undangan seperti itu kepada orang lain, jadi aku ragu-ragu untuk menerima undangannya. Ternyata dia tidak senang dengan keenggananku. Aku masih ingat kemarahannya saat suatu malam aku tiba di rumahnya. Aku juga ingat nada suaranya saat dia menyambutku, bahkan tanpa repot-repot membalas “selamat malam” dariku.

“Bersembunyi di mana kau kemarin, Sir?”

“Di rumah.”

“Kalau sebelum kemarin?”

“Di rumah.”

“Jangan mempermainkan aku.”

“Itu benar, Mr. Henry.”

“Pshaw”. Piyik sepertimu tidak mengeram di sarang. Kalian terbang dan hinggap di segala macam tempat yang tidak seharusnya kalian datangi!”

“Dan sudikah kau memberitahuku, menurutmu seharusnya aku datang ke mana?”

“Ke sini, tentu saja. Sudah lama aku ingin menanyaimu sesuatu.”

“Mengapa tidak sedari dulu?”

“Dulu aku tidak mau.”

“Jadi, kapan?”

“Mungkin hari ini.”

“Yah, silakan. Tanyakan saja,” aku mempersilakannya, lalu aku duduk di pinggir bangku tempat dia sedang bekerja.

Dia memandangiku dengan heran, menggeleng, lalu berkata, “‘Silakan!” Seolah-olah aku harus mendapatkan izin dari Greenhorn saat aku ingin berbicara dengannya.

“Greenhorn?” aku membeo, kerut dahiku menunjukkan bahwa hatiku tersinggung. “Aku anggap kau tidak berniat menggunakan kata itu dan tadi tidak sengaja mengatakannya, Mr. Henry!”

“Jangan membohongi dirimu sendiri, Sir! Aku bersungguh-sungguh dengan perkataanku. Kau Greenhorn, paling hijau pula! Benar, kepalamu penuh dengan pelajaran dari buku. Sangat mengejutkan apa saja yang harus dipelajari oleh kalian orang asing! Kalian anak muda tahu persis seberapa jauh bintang-bintang dari sini, apa isi tulisan Raja Nebuchadnezzar pada prasasti-prasasti tanah liat, dan berapa berat udara, padahal udara tidak kasat mata. Lantas hanya karena kau mengetahui semua hal ini, kau mengira dirimu cerdas sekali. Yah, cobalah hidup sedikit lebih lama, misalnya aku, pengalamanku lima puluh tahun. Lalu mungkin, mungkin saja, kau memahami apa itu pengetahuan yang sesungguhnya. Apa yang kau ketahui sekarang itu tidak berarti apa-apa, sama sekali tidak. Kemampuanmu bahkan lebih sedikit artinya. Aduh, aku bertaruh kau bahkan tidak bisa menembak!”

Dia mengatakan ini dengan nada suara yang luar biasa menghina dan dengan bahasa tubuh yang menunjukkan keyakinannya.

“Jadi, kau kira aku tidak bisa menembak?” jawabku sambil tersenyum. “Hmm. Itukah yang mau kau tanyakan kepadaku?”

“Yah, iya, itu dia. Apa jawabanmu?”

“Aku akan menunjukkan jawabanku jika kau pinjami aku senapan yang bagus.”

Mendengar itu, dia mengesampingkan laras senapan yang sedari tadi sedang dikerjakannya. Dia berdiri, menghampiriku, memandangi aku sesaat dengan geli, lalu dia berkata,

“Meminjamimu senapan yang bagus, Sir? Tentu tidak. Aku tidak akan mempertimbangkannya. Senapan-senapanku hanya boleh dipegang oleh orang-orang yang pantas.”

“Berarti kau bisa meminjamkan satu kepadaku.”

Dia menatapku lagi dari samping, duduk lagi, kembali mengerjakan laras senapannya, dan menggerutu sendiri, “Dasar greenhorn! Kesombongannya membuatku muak!”

Aku mengerti wataknya, jadi aku membiarkan dia menggerutu, mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya. Kami berdua tidak mengatakan sepatah kata pun selama seperempat jam. Akhirnya dia tak tahan lagi. Dia mengangkat laras agar terkena cahaya, menyipitkan mata untuk memandang karyanya dan berujar.

‘Menembak jauh lebih sulit daripada melihat binatang atau membaca prasasti tanah liat kuno Nebuchadnezzar. Mengerti? Kau pernah memegang senapan?”

“Tentu pernah.”

“Kapan?”

“Sering, sudah lama.”

“Kau pernah benar-benar menembakkannya?”

“Ya.”

“Pernah mengenai sesuatu?”

“Tentu saja!”

Dia menaruh laras yang telah diperiksanya, menatapku lagi, dan berkata, “Baik, tapi bisakah kau mengenai sasaranmu?”

“Sudah pasti.”

“Apa? Kau berharap aku memercayai itu?”

“Aku tidak mengada-ada. Itu benar.’’

“Semoga setan merenggut jiwamu, Sir! Siapa yang akan percaya. Aku bertaruh kau pasti tidak bisa mengenai dinding kandang sekalipun tingginya 20 meter dan jaraknya 30 meter. Kau berusaha terlihat sok serius dan jujur saat mengaku-ngaku sehingga kesal. Jangan menyamakan aku dengan anak-anak yang kau ajar, mengerti? Kau mau percaya bahwa greenhorn dan kutu buku sepertimu bisa menembak? Bahwa kau sibuk membaca buku-buku tua berbahasa Turki, dan masih punya waktu untuk belajar menembak: Yah..kau lihat nanti. Ambil senapan tua itu dari paku di belakang sana dan pegang seolah-olah kau sedang membidik sesuatu. Itu senapan pembunuh Beruang, senapan terbaik yang pernah kupegang.

Aku berjalan untuk mengambil senapan itu dan mengintip dari laras.

“Hallo” Mr. Henry berseru sambil melompat. “Tunggu sebentar!, kau mengangkat senapan itu seperti senapan ringan, padahal setahuku itu senapan paling berat. Kau benar benar kuat?.”

Alih alih menjawab, aku menyambar jaket dan ikat pinggangnya untuk mengangkat dia dari lantai dengan lengan kanan.

“Thunder-storm!” dia berseru, Turunkan aku! Kau sedikit lebih kuat daripada Bill’

“Bill? Siapa itu?”

“Dia putraku, tapi tidak usah dibahas! Dia sudah meninggal, bersama orang-orang lain. Dia berpotensi menjadi pemuda hebat, tapi dia terbunuh bersama orang-orang lain saat aku tidak ada. Kau agak mirip dengannya. Matamu hampir sama, dan sekitar mulutmu terlihat serupa. Karena itulah aku…oh, lupakan saja, itu bukan urusanmu.”

Kesedihan yang mendalam telah menyebar pada wajahnya. Dia mengusap wajahnya dengan sebelah tangan lalu melanjutkan pembicaraan dengan nada suara lebih ceria, “Tapi, Sir, dengan otot sekuat dirimu, sayang sekali kau menghabiskan terlalu banyak waktu dengan membaca buku. Seharusnya kau berolahraga.”

“Sesungguhnya aku pernah berolahraga.”

“Sungguh?”

“Ya.”

“Bertinju?”

“Tidak ada tinju di kampung halamanku, tapi, aku sedikit bergulat dan bersenam.”

“Berkuda?”

“Ya.”

“Anggar?”

“Aku pernah belajar anggar.”

“Hei, berhenti mengada-ada!”

“Berminat mengujiku?”

“Terima kasih, sudah cukup semenit lalu. Lagi pula, ada yang harus aku kerjakan. Duduklah.”

Dia kembali ke bangku kerjanya, sementara aku duduk. Sebagian besar percakapan sesudahnya sepatah kata saja. Henry tampak sedang berpikir keras tentang sesuatu yang penting. Mendadak, dia mendongak dan bertanya, “Kau pernah belajar matematika?”

“Itu salah satu mata pelajaran kesukaanku.”

“Aritmatika, geometri?”

“Sudah pasti.”

“Pengukuran tanah?”

“Kesukaanku. Aku sering keluar untuk berlatih mengukur tanah dengan alat teodolit, bahkan saat aku tidak perlu melakukannya.”

“Dan kau benar-benar bisa melakukan pengukuran?”

“Ya. Aku sering melakukan pengukuran vertikal dan horisontal walaupun aku tidak mengaku sebagai ahli ukur.

“Yah, itu bagus, sempurna!”

“Mengapa kau berkata begitu, Mr. Henry?”

“Aku punya alasan sendiri, mengerti? Kau belum perlu tahu. Kau akan segera tahu. Tapi, pertama-tama kita perlu melihat apakah kau benar-benar bisa menembak.”

“Baiklah, uji aku!”

“Oh, pasti, pasti. Kau bisa memegang janjiku. Kapan kau mulai mengajar pagi hari?”

“Jam delapan.”

“Baiklah, datang ke sini jam enam besok pagi. Kita akan pergi ke lapangan tembak tempat aku menguji senapan-senapanku.”

“Mengapa pagi sekali?”

“Karena aku tidak ingin menunggu lebih lama. Aku sedang terburu-buru untuk menunjukkan kepadamu bahwa kau sangat Greenhorn. Tapi, hari ini cukup. Aku harus mengerjakan hal lain yang jauh lebih penting.”

Dia tampak sudah selesai dengan laras senapannya, lalu dia mengambil sepotong besi bersegi banyak dari sebuah kotak dan mulai mengikir sudut-sudutnya. Aku melihat bahwa setiap permukaan mempunyai sebuah lubang.

Sedemikian serius dia bekerja sehingga tampaknya dia telah melupakan kehadiranku. Matanya berbinar dan terpancar sesuatu yang hampir menyerupai cinta pada wajahnya saat dia memeriksa pekerjaannya dari waktu ke waktu. Aku melihat bahwa potongan besi ini pasti sangat berarti baginya.

Aku penasaran untuk mengetahui alasannya, sehingga aku bertanya, “Itu bagian dari senapan juga, Mr. Henry?”

“Ya,” dia menjawab, seperti terkejut dengan kehadiranku.

“Tapi, aku tidak tahu ada senapan dengan potongan bagian seperti itu di dalamnya.”

“Aku tidak heran. Ini belum ada. Namanya nanti ‘Repetir Henry’.”

“Oh, temuan baru?”

“Ya!”

“Kalau begitu, aku minta maaf telah bertanya! Itu pasti rahasia!”

Dia memeriksa setiap lubang sebentar, lalu memutar-mutar sepotong besi tadi dengan berbagai cara, mengangkatnya dengan memegang ujung belakang laras yang tadi dia kerjakan, dan akhirnya berkata, “Ya, ini rahasia, tapi aku akan memercayaimu karena aku tahu kau bisa menjaga rahasia walaupun kau benar-benar masih Greenhorn. Ini akan menjadi senapan repetir, senapan otomatis yang bisa menembakkan 25 peluru.”

“Mustahil!”

“Hush! Aku tidak setolol itu untuk mengerjakan sesuatu yang mustahil.”

“Tapi, senapan seperti itu harus cukup besar untuk menyimpan 25 peluru.”

“Nanti ada.”

“Pasti senapan itu menjadi sangat besar dan gemuk sehingga terlalu tidak praktis.”

“Hanya ada satu ruang peluru. Senapan itu tidak janggal dan tetap praktis. Potongan besi ini ruang pelurunya.”

“Hmm. Aku tidak tahu apa-apa tentang bidangmu, tapi bagaimana dengan panasnya? Nanti senapannya tidak menjadi terlalu panas kalau ditembakkan?”

“Tidak sama sekali. Bahan dasar dan pembuatan senapan ini rahasiaku. Lagi pula, apakah pernah perlu menembakkan 25 peluru secara berurutan?”

“Jarang.”

“Itu kau tahu. Garis besarnya begini, potongan besi ini adalah bulatan yang bisa bergerak tersendiri. Ada 25 lubang, masing-masing menyimpan sebutir peluru. Setiap kali ditembak, bulatan ini bergerak ke posisi berikutnya, menjadi sebuah selongsong baru berisi peluru yang menghadap laras. Sudah bertahun-tahun aku mengerjakan gagasan ini, tapi aku kesulitan membuat senapannya bisa dipakai. Sepertinya sekarang aku sudah bisa. Aku sudah cukup ternama sebagai pembuat senapan, tapi sebentar lagi aku akan terkenal, lalu menimbun uang.”

“Menimbun perasaan bersalah di hati nuranimu juga.”

Dia mendongak memandangku dengan bingung.

“Perasaan bersalah? Mengapa?”

“Menurutmu pembunuh tidak perlu memiliki hati nurani?”

“Zounds! Kau menyebutku pembunuh?”

“Sekarang belum.”

“Kau pikir aku akan menjadi pembunuh?”

“Ya. Membantu pembunuhan hampir sama buruknya dengan melakukan pembunuhan itu sendiri.”

“Semoga setan merenggut jiwamu! Aku tidak akan pernah ikut serta dalam pembunuhan.”

“Satu pembunuhan, mungkin tidak. Tapi, maksudku adalah pembunuhan massal.”

“Apa maksudmu?”

“Kalau kau menciptakan senapan yang bisa menembakkan 25 peluru, dan membiarkan orang-orang picik membelinya, akan terjadi pembantaian mengerikan di padang-padang prairi dan di jalur-jalur puncak gunung. Mereka akan menembaki orang-orang Indian seperti koyote, dan beberapa tahun kemudian tidak ada orang Indian tersisa. Hati nuranimu menginginkan itu?”

“Selain itu,” aku meneruskan, “kalau siapa pun bisa membeli senjata berbahaya ini, aku yakin kau akan menyediakan ribuan senapan ini tanpa menunda lagi. Tapi, kuda mustang[4] dan kerbau akan terbunuh, serta bintang-bintang lain yang dibutuhkan orang kulit merah untuk bertahan hidup. Ratusan, bahkan ribuan, pemburu liar akan mempersenjatai diri mereka dengan senapan repetirmu dan pergi ke Wild West. Darah manusia dan binatang akan mengalir di sungai dan pasti dalam waktu singkat tidak ada kehidupan yang tersisa di kedua sisi Pegunungan Rocky.”

“Demi Tuhan!” dia berseru. “Kau benar-benar baru datang dari Jerman?”

“Ya.”

“Dan kau tidak pernah ke sini sebelumnya?”

“Tidak pernah.”
.
“Ke mana pun di Barat?”

“‘Tidak.”

“Benar-benar greenhorn, kalau begitu. Tapi, greenhorn yang satu ini berusaha berbicara seakan-akan dia adalah leluhur Indian dan sudah tinggal di sini selama seribu tahun tapi masih hidup! Anak muda, jangan membuatku geram! Kalaupun perkataanmu benar, aku tidak akan pernah ingin membangun pabrik senjata. Aku penyendiri, dan aku akan tetap menyendiri. Aku tidak berminat mengurus lusinan atau bahkan ratusan pekerja.”

“Tapi, bukankah kau bisa membuat hak paten bagi temuanmu dan menghasilkan uang dengan menjual hak paten itu?”

“Tidak perlu terburu-buru tentang itu, Sir! Sampai sekarang uangku cukup banyak untuk menyambung hidup, dan aku rasa aku bisa meneruskan usahaku tanpa hak paten. Dan sekarang keluar dari sini! Aku sedang tidak berminat mendengarkan cicit burung yang bahkan belum siap terbang, apalagi bernyanyi.”

Kata-kata kasarnya tidak aku masukkan ke dalam hati. Itu cara dia mengungkapkan maksudnya saja, dan aku maklum. Dia sudah menyukai aku dan siap membantuku sebisa mungkin. Aku mengulurkan tanganku, dia menjabat tanganku kuat-kuat, lalu aku pergi.

Aku tidak tahu seberapa penting malam ini rupanya bagiku. Aku juga tidak menyangka peran apa yang akan dimainkan oleh si berat pembunuh beruang (“si senapan besar”, seperti kata Henry) dan “Repetir Henry” yang belum selesai itu dalam hidupku. Namun, aku bersemangat menanti besok pagi. Aku benar-benar sudah berpengalaman menembak, dan aku pandai menembak. Aku yakin dan aku pasti akan mendapatkan nilai bagus pada ujian besok dari bapak tua yang baik dan aneh itu.

Catatan:
[1] Seseorang yang berdarah setengah campuran, keturunan Amerika-Amerika Selatan atau Amerika-Afrika.
[2] Seseorang yang berdarah seperempat campuran, keturunan Afrika/Aborigin-Kaukasia.
[3] Pisau bertarung yang dipopulerkan oleh Kolonel James “Jim” Bowie pada awal abad ke-19.
[4] Kuda yang dibawa oleh orang-orang Spanyol dan lepas sehingga hidup liar di benua Amerika.

Dialog Dua Kawan

Berikut ini adalah dialog dua orang yang bersahabat meski yang satu orang beragama dan yang lainnya seorang agnostik, atau katakanlah seorang ateis yang malu-malu:

Bagaimana pandanganmu tentang agama dan para penganutnya?

“Agama menurutku hanya untuk orang-orang bodoh dan terbelakang yang tak memiliki kemampuan berpikir atau untuk yang tak menggunakan akal mereka.”

Bisakah kamu terangkan lagi apa yang kamu maksud?

“Lihat-lah bagaimana orang-orang menjadi pelaku bom bunuh diri dan membantai sesama ummat manusia atas dasar dorongan dan panggilan doktrin keagamaan mereka.”

Tidakkah yang kamu maksud sebenarnya segelintir dari mereka saja?

“Jika pun mereka segelintir dari mayoritas kaum beragama, tetap saja mereka adalah bagian dari mereka yang menganut agama.”

Memang benar apa yang kau katakan. Tapi kamu lupa satu hal. Ada kepentingan terselubung yang sesungguhnya sekuler.

“Maksudmu?” Bisakah kamu perjelas kelompok mana saja yang kamu bilang sesungguhnya digerakkan oleh kepentingan sekuler?”

Saya ingin memaksudkan apa yang disebut agama palsu. Yaitu suatu doktrin yang diklaim sebagai ajaran agama tetapi sesungguhnya adalah manipulasi dan pembajakan agar orang-orang lugu dan bodoh mau menjadi teroris dan perusuh dengan atas nama agama. Di sini kita bisa menyebut kelompok ISIS yang diciptakan Amerika, Israel dan sekutu mereka dengan menggunakan doktrin Wahabisme atau Salafisme.

“Maksudmu di dunia saat ini, kepentingan sekuler telah membajak dan mempolitisasi agama demi kepentingan yang sifatnya materialis dan sekuler?”

Tepat sekali! Itu yang ingin saya katakan. Seperti sebagai alat atau instrument untuk perang proksi yang dipraktikkan Amerika, Israel dan sekutu mereka di Suriah dan di Negara-negara lain dengan meminta rezim Saudi untuk menyebarkan paham Wahabisme yang cocok untuk menjadikan banyak manusia mudah dijadikan zombie dan mesin perang yang dapat dikendalikan kepentingan sekuler. Termasuk banyak orang-orang Uyghur yang bahkan mencapai ribuan yang bergabung dengan ISIS.

“Saya akui apa yang kamu kemukakan itu benar. Tapi bukankah ada ayat-ayat dalam kitab suci orang-orang beragama itu yang bernada kekerasan dan perang atau memiliki kandungan untuk melakukan kekerasan?”

Itu memang tidak keliru. Hanya saja, mereka yang menganggap ayat-ayat yang demikian terlepas dari konteksnya dan lalu berusaha menjadikannya sebagai legitimasi untuk menciptakan dan menggerakan zombie-zombie mesin perang mereka dengan mempolitisasi ayat-ayat tersebut yang sesungguhnya harus kita lawan.

“Oke saya setuju dengan pandanganmu. Yang berarti saya pun punya hak dan kesempatan untuk mengkritik para penceramah yang menyebarkan kebencian dan sentiment sektarian yang justru digandrungi orang-orang awam yang jumlahnya jutaan itu.”

Saya setuju denganmu, kawan! Sesungguhnya kita berbeda dalam satu hal, tapi memiliki suatu wawasan humanis yang tak berbeda.

“Maksudmu spirit humanis itu sangat penting? Jika demikian, saya memang satu jalan denganmu!”

Memang demikian, kawan! Meski kita sebagai orang yang beragama dan yang tak beragama, kita adalah manusia dan hidup bersama manusia lainnya. Dan tentu saja dengan lingkungan dan semesta kita.

Dan dialog di atas adalah fiksi karangan penulis belaka. Jika pun memang ada dialog seperti itu dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, anggap saja keduanya sebagai kebetulan yang pantas untuk direnungkan.