Esai Unggulan Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013

Narasi Kuliner dan Problem Identitas, Membaca Konde Penyair Han oleh Sulaiman Djaya (penyair)

Salah-satu hal yang menarik dalam perpuisian Indonesia mutakhir adalah sejumlah ragam tema yang disuarakan, semisal tema-tema lokal dan etnik, yang dapat dibaca dan dipahami sebagai upaya para penyair untuk “menggapai” identitas kepenyairan masing-masing dengan upaya mereka dalam ikhtiar menemukan bentuk penulisan, strategi narasi, dan tema yang mereka angkat atau yang mereka suarakan. Namun sebelum melangkah lebih jauh, penting dikatakan bahwa yang saya maksudkan dengan kata “mutakhir” di sini membatasi diri pada karya-karya puisi yang terbit sejak era tahun 2000-an di sejumlah media dan antologi buku para penyair Indonesia, semisal tampak dalam dua buku dari pertemuan ragam penyair: Tuah Tara No Ate dan Sauk Seloko itu. Dalam hal ini, Hanna Fransisca, sebagai contohnya, tampak cukup konsisten mengangkat tema-tema seputar persinggungan etnik Tionghoa di Indonesia, semisal gugatan tentang konsep “pribumi” dan upaya perlawanan untuk menolak stereotipisasi etnis Tionghoa dalam lanskap dan konteks politik dan kultural kewargaan Indonesia, di mana menurut Hanna Fransisca, etnik Tionghoa seolah-olah selalu saja dianggap sebagai “non-pribumi” meski telah menjadi warga Negara Indonesia dan telah tinggal puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, terutama yang berkaitan dengan Singkawang dan peristiwa Mei 1998 di Jakarta.

Hanna Fransisca adalah contoh penyair Indonesia mutakhir yang bergelut dengan persoalan identitas seperti ini, berusaha kuat untuk memprotesnya atau menggugatnya demi menemukan dan menawarkan wawasan baru persoalan identitas itu sendiri, sembari menggunakan adat tradisi dan mitologi Tionghoa sebagai material sekaligus rujukan narasi sejumlah puisinya. Sementara itu, secara naratif atau pada pilihan strategi narasinya, seperti yang dikemukakan Wahyu Arya dalam bukunya yang berjudul Sebuah Pintu yang Terbuka (Wahyu Arya, 2012: 97-99), sebagai salah-satu contoh pendapat saja, menyatakan bahwa Hanna tergolong penulis yang berusaha bergeser dari estetika pengucapan lama bersama-sama dengan Joko Pinurbo dan Afrizal Malna.

Dalam buku antologinya yang berjudul Konde Penyair Han, itu mayoritas puisi-puisi Hanna Fransisca bergelut dalam persoalan dan dilema identitas tersebut, bila dilihat dari sisi pilihan isu yang ia kemukakan dan yang ia hadirkan melalui puisi-puisinya. Soal identitas dan isu Tionghoa merupakan tema dan rujukan paling dominan yang disuarakan dan diangkat dengan puisi-puisinya. Di sana, narasi kuliner lebih merupakan pinjaman dalam upayanya membangun metafora sekaligus sebagai jembatan material penceritaan itu sendiri.

Narasi kuliner dalam puisi-puisi Hanna Fransisca rupa-rupanya dipinjam sebagai medium dan metafora pada saat bersamaan, semisal dipinjam untuk menarasikan kepedihan, persoalan gender, dan tak luput juga “tubuh perempuan” yang memang acapkali menjadi objek kekerasan identitas dan penindasan politis dan kultural, terutama di sini dalam konteks Indonesia. Sedangkan dari sudut stilistika, banyak puisi-puisi Hanna Fransisca dalam bukunya yang berjudul Konde Penyair Han itu, menurut saya, yang secara naratif tergolong dengan bentuk pengungkapan dan penulisan otobiografis dan gaya pengucapan sajak bebas, selain nuansa otobiografis tersebut kental juga dalam pengangkatan tema dan rujukan bagi puisi-puisinya, semisal seputar tanah kelahiran, kampung halaman yang dalam hal keduanya yang dimaksudkannya adalah Singkawang, dan soal-soal cultural identity dan political identity sebagaimana yang banyak diangkat dan disuarakan puisi-puisinya, sebelum beralih ke ranah Jakarta.

Pada konteks ini, pilihan kuliner sebagai medium atau jembatan penceritaan dan metafora punya alasan yang cukup kuat dan tak dapat diabaikan begitu saja dalam puisi-puisi Hanna Fransisca yang termaktub dalam buku Konde Penyair Han itu. Dalam puisi-puisinya, kuliner dipinjam sebagai metafora sekaligus sebagai medium karena kuliner itu sendiri sangat kental kaitannya dengan adat-istiadat dan tradisi masyarakat Tionghoa, bahkan merupakan kegiatan yang tak dapat dipisahkan dari tradisi dan ritual keagamaan masyarakat Tionghoa yang beragam jumlahnya. Dalam puisi-puisi Hanna Fransisca, hal itu tampak ketika sejumlah puisi yang terdapat dalam buku Konde Penyair Han menjadikan media kuliner sebagai kiasan hidup demi menceritakan kenangan dan kepedihan, sebagai contohnya. Dalam hal ini, kita bisa membayangkan, misalnya, seorang perempuan yang tengah dirundung kegundahan atau kesedihan, dan lalu meluapkan dan mengalihkan perasaan atau amarahnya saat ia mengolah bahan makanan di dapur yang akan ia masak di saat tengah memasak di dapur atau di tempat lainnya.

Bermula dari Singkawang

Dalam sejumlah puisinya itu, Singkawang sebagai tanah kelahiran Hanna Fransisca merupakan titik awal narasi Konde Penyair Han, baik sebagai kenangan dan ingatan penyairnya pada masa silam atau sebagai pemberangkatan ketika mengemukakan dan menghadirkan persoalan identitas melalui puisi-puisinya. Dari sana lah isu seputar etnis Tionghoa diawali sebelum merambah Jakarta, semisal seputar Tragedi Mei 1998, seperti yang tampak dalam beberapa puisi dalam buku Konde Penyair Han, baik yang menjadikan Singkawang sebagai judul puisi atau yang tidak menggunakan Singkawang sebagai judul puisinya.

Latar belakang dan upaya untuk menghadirkan Singkawang ini tidak bisa kita anggap remeh dan kecil di sejumlah sajak yang ada dalam buku Konde Penyair Han. Karena itu, kita tentu akan dapat memahami, atau minimal, mengerti maksud sejumlah puisi Hanna Fransisca jika kita tahu tentang Singkawang, meski penyairnya sendiri tampak berusaha mengenalkan Singkawang kepada kita. Perlunya kita mengetahui Singkawang dalam arti umum, tak lain karena Singkawang yang dihadirkan penyairnya melalui sejumlah puisinya tersebut lebih merupakan sejumlah gambar dan sketsa yang abstract, sejumlah realitas yang telah “diimajinasisasi” ulang dan “direkonstruksi” sedemikian rupa sesuai dengan subjektivitas penyairnya, semisal ketika sejumlah puisinya bercerita tentang keterbatasan dan kepedihan masa kanak-kanak. Meskipun demikian, upaya mengetahui Singkawang secara umum tersebut tentu saja bukan sebagai maksud untuk mengerti makna atau maksud sejumlah puisinya secara utuh, yang akan menyisihkan possibilitas dan heterogenitas pembacaan atas teks puisi itu sendiri, melainkan demi mendapatkan informasi dalam konteks yang seperti apakah sejumlah puisi Hanna Fransisca bercerita dan berbicara kepada kita sebagai pembaca dan penikmat, justru ketika kita ingin menyelaminya dengan adil dan bijak.

Informasi seputar Singkawang, dalam rangka sedikit untuk mengetahuinya secara sosio-politik-budaya dalam arti umum itu, contohnya dapat kita baca melalui reportase jurnalistiknya T. Tjahjo Widyasmoro dalam majalah INTISARI edisi Agustus 2004, hal. 158-166 dan hal. 182. Dalam tulisan yang dihadirkan Tjahjo Widyasmoro, itu kita setidak-tidaknya dapat mengerti “konteks” sejumlah puisi Hanna Fransisca yang terdengar prihatin. Sebab, seperti yang dinarasikan Tjahjo Widyasmoro dalam majalah INTISARI, itu Singkawang adalah sebuah contoh konkrit yang membantah dan mementahkan stereotipe umum masyarakat Indonesia yang membayangkan bahwa etnis Tionghoa adalah etnis yang secara ekonomis sukses dan monopolis, dan karena anggapan dan stereotipe itu, sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta harus menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Namun apabila kita menengok sejenak Singkawang, minimal di era tahun 80-an hingga awal 2000-an, maka yang ada di sana adalah suatu masyarakat Tionghoa yang prihatin, bahkan tragis. Simak saja penuturan Tjahjo Widyasmoro berikut:

“Sebuah cerita tragis tersiar pada 17 Juli 1998. Hiu Po Thin (58) secara tragis mengakhiri hidupnya beserta keempat anaknya yang berusia 5 – 15 tahun. Di gubuk yang teramat sederhana, berdinding kayu, dan beratapkan daun, mereka ditemukan tewas dalam posisi berdampingan di tempat tidur setelah menelan makanan yang dicampur racun serangga. Saat kejadian, istri dan putra tertuanya kebetulan sedang tidak berada di rumah.” (INTISARI, Agustus 2004, hal. 159).

Membaca penuturan Tjahjo Widyasmoro tentang etnis Tionghoa di Singkawang tersebut, saya mendapati dan merasakan “konteks” yang koheren dengan sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han, semisal Kepada Adik dan Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi, sekedar menyebut dua contoh saja. Dalam catatan penyairnya sendiri, misalnya, tampak penyairnya berusaha mengkomunikasikan konteks puisi-puisinya tersebut, terutama yang mencoba menghadirkan Singkawang, sebelum merambah konteks Mei 1998 di Jakarta: “Ketika di rumah, saya selalu dihadapkan terlibat memikirkan persoalan hidup sehari-hari –yang semestinya adalah bagian dari persoalan orang-orang dewasa. Seringkali ketika menghadapi ancaman tidak bisa mengikuti ujian, dan mendengar bagaimana Ibu mengatakan, “Tidak ada perlunya membayar uang sekolah, uang sedikit lebih baik digunakan untuk membeli beras”, maka saya berdiri sejenak di belakang rumah melihat bagaimana angin begitu kerasnya menghempaskan batang-batang ilalang”. (Hanna Fransisca, 2010:12). Pengantar penyair tersebut dan sejumlah puisi di buku Konde Penyair Han pada dasarnya memang sejumlah catatan otobiografis seputar ingatan dan kenangan masa kanak-kanak penyairnya di tanah kelahiran dan kampung halamannya nun di Singkawang, Kalimantan Barat sana. Marilah kita simak sajaknya yang berjudul “Kepada Adik”:

“Di helai daun kangkung aku selipkan beberapa peristiwa,

agar kau endus lagi aroma terasi bercampur bawang putih

di atas kuali yang menghisap keringat ibu.”

…..

”Di sepanjang jalan Singkawang, di lorong-lorong pecinan,

kubangan lumpur dan gubuk tempat ibu pernah berdiri

tak letih-letih aku mencari.”

Puisi Kepada Adik tersebut merupakan narasi otobiografis yang sifatnya pastoral, yang bercerita tentang kenangan masa kanak dan masa remaja, sebuah narasi yang jika dilihat dari sudut konteks penceritaan, tak jauh berbeda dengan gambaran sebuah kondisi yang dipaparkan narasi jurnalistiknya Tjahjo Widyasmoro dalam majalah INTISARI itu. Puisi tersebut tergolong pada sajak “memoir” di mana aku lirik merupakan seorang narator yang menulis dan bercerita berdasarkan kenangan dan ingatan, ketika ingin “mengabarkan” kesahajaan atau kemiskinan sebuah etnik yang selama ini di-stereotip-kan sebagai etnik yang melakukan “dominasi” ekonomi dalam konteks politik dan kewargaan Indonesia. Dengan puisi tersebut, Hanna sebenarnya hendak mementahkan stereotip yang dimaksud, atau mengajak pembaca untuk melihat “Tionghoa yang lain”. Sejumlah puisi Hanna sebenarnya mencoba melakukan hal ini: mengajak pembaca untuk memahami, mengenali, dan berempati apa itu “Tionghoa”.

Beberapa puisinya juga mencoba menghadirkan “Tionghoa yang lain”, semisal bahwa pelabelan atau stereotipisasi secara ajeg atas apa yang kita sebut Tionghoa telah menyebabkan “kekerasan” dan “ketidakadilan” atas dan terhadap “Tionghoa” itu sendiri, baik secara fisik maupun diskursus dan wacana yang sifatnya kultural dan politis dalam konteks politik dan “kewargaan” di Indonesia. Inilah soal identitas yang ingin dikomunikasikan Hanna Fransisca melalui sejumlah sajaknya yang termaktub dalam buku Konde Penyair Han, sebuah persoalan dan dilema yang juga menarik minat penulis dan intelektual di luar sana, semisal Amin Maalouf dengan bukunya yang berjudul In the Name of Identity dan Amartya Sen dengan bukunya yang berjudul Identity and Violence: The Illusion of Destiny itu.

Tendensi untuk mengenalkan dan mewacanakan adat-tradisi dan mitologi Tionghoa tersebut sangat terasa dalam beberapa puisi Hanna Fransisca. Rupa-rupanya, hal itu dipilih karena salah-satu untuk menghilangkan “kesalahpahaman” terhadap etnis Tionghoa adalah dengan cara dan jalan “mengenalkan” atau memberikan “wacana alternatif” tentang apa itu Tionghoa, yang dalam hal ini memilih puisi sebagai medianya, karena hanya dengan puisi lah “penerimaan” atau “resepsinya” akan lebih netral, sekaligus dapat mengundang simpati dan menggugah perasaan pembacanya. Namun, di sisi lain, hal itu barangkali akan berdampak pada kesulitan tersendiri bagi para pembaca yang masih asing dengan idiom-idiom dan mitologi yang sifatnya etnik tersebut, meski bisa saja karena pilihan ini pembaca kemudian menjadi ingin mengetahui apa itu Tionghoa secara historis dan kultural.

IHWAL STRATEGI NARASI PUISI

Dibanding prosa, puisi memang yang paling membuka peluang bagi penulisan otobiografis penyairnya di mana pengalaman dan hidup penyairnya sendiri kemudian menjadi inspirasi dan rujukan kreativitas, ketika suasana meditatifnya memang bersumber dari subjektivitas pengalaman si penyair itu sendiri. Namun, bila mengkomparasi soal ini dengan wawasan-nya T.S Eliot (Toety Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, 2000: 13-26), pengalaman yang sifatnya personal tersebut sebenarnya bisa saja selayaknya hanya dijadikan sebagai “tabung pembakaran” (semacam fermentasi) kreativitas estetik, di mana seorang penyair dapat mengalihkannya ke dalam stategi narasi yang bersifat simbolis atau surealis, sebagai contohnya. Dalam hal ini, T.S. Eliot memang mengidealkan seorang penyair yang sanggup merubah “penderitaannya” menjadi suara-suara estetik, di mana di sana yang muncul kemudian bukan lah “narasi penderitaan si penyair”, melainkan sajak yang telah terbebaskan hingga menjadi sebuah karya estetika yang digali dan dicipta bersama-sama dengan upaya untuk “menemukan” dan “mencipta” bahasa yang segar. Dalam beberapa esainya, sebagai contoh, T.S. Eliot lebih memandang penyair yang berhasil adalah penyair yang sanggup menaklukkan pengalamannya sekaligus mampu “mengkreasi ulang” tradisi (meski tak meski meninggalkannya secara total) menjadi pencapaian kreativitas bentuk atau strategi penulisan, meski seorang penyair masih menulis tema yang sama seperti para pendahulunya.

Namun demikian, ideal prinsip estetik ala T.S. Eliot tersebut untuk saat ini rupa-rupanya sudah tidak menjadi hal yang membuat rikuh sejumlah penyair. Untuk konteks Indonesia, contohnya, banyak penyair perempuan yang menuliskan puisi-puisi mereka dengan bahasa, kata-kata, atau ungkapan “apa adanya”, ketika mereka menuliskan puisi-puisi otobiografis seputar isu-isu ketidakadilan dan kekerasan gender dalam konteks politik dan kultural Indonesia, atau puisi-puisi yang menarasikan pengalaman urban dan metropolis, semisal puisi-puisinya Ratna Ayu Budhiarti. Hanya saja, ada keunikan tersendiri dalam puisi-puisinya Hanna Fransisca, yaitu ketika puisi-puisinya ditulis dengan narasi-kisah kuliner, tepatnya tradisi-kuliner masyarakat Tionghoa di Indonesia, ketika mencoba mengangkat isu-isu sosial, identitas, dan ketidakadilan yang menimpa beberapa etnik Tionghoa, utamanya dalam kasus Mei 1998 di Jakarta itu. Kekhasan itu, tak lain, karena Hanna Fransisca, menjadikan kuliner sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana kepedihan dan ketidakadilan layaknya “bebek peking”, misalnya, yang pasrah saat dicincang, demi menggambarkan ketakberdayaan dan kepasrahan di tengah amok politik yang menimpa etnik Tionghoa di Jakarta pada Mei 1998 itu. Dalam hal ini, puisi-puisi Hanna Fransisca bisa disebut sebagai puisi protes sosial yang dinarasikan dan disuarakan dengan strategi dan bentuk reflektif dan sindirian halus, sembari diungkapkan dan dituturkan dengan idiom-idiom budaya dan mitologi etnik Tionghoa.

Konteks Tradisi

Kentalnya idiom-idiom tradisi Tionghoa dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca tersebut, seperti telah saya katakan sebelumnya, dapat mendatangkan kesulitan tersendiri bagi pembaca yang tidak akrab dengan budaya Tionghoa. Hanna Fransisca sebenarnya tidak sendiri pada tataran ini, Tan Lioe Ie juga melakukan hal yang sama dalam kumpulan puisinya yang berjudul Malam Cahaya Lampion. Dalam hal ini, baik Tan atau Hanna tampak jelas sama-sama ingin memperkenalkan adat tradisi dan budaya Tionghoa dalam puisi-puisi mereka, dan karena itu, sekurang-kurangnya, diperlukan pengetahuan tentang adat tradisi dan budaya Tionghoa ketika hendak mencerna dan memahami konteks dan metafora puisi-puisi mereka. Hal itu karena idiom-idiom yang sifatnya etnik tersebut tidak dapat dianggap hanya sebagai sampiran atau sisipan belaka, tapi merupakan bagian yang inheren alias tak mungkin dipisahkan begitu saja dalam puisi-puisi mereka, karena melalui mitologi dan budaya Tionghoa itulah mereka membangun dan menciptakan kiasan puisi-puisi mereka, yang karenanya menghadirkan otentisitas dan kekhasan strategi narasi dan pengungkapan dalam puisi-puisinya Hanna Fransisca, dan juga Tan Lioe Ie, sebagai perbandingannya. Kekentalan dan kemenyatuan idiom-idiom yang sifatnya etnik tersebut dapat dicontohkan dalam puisi Hanna Fransisca yang berjudul Hari Kue Bulan:

“Bicarakan pada kue bulan,

ini hatiku terang dalam kelam

….//….

Kita ini tengah membagi cinta

dalam kenangan air mata

….//….

Mengenang Peng Meng

yang menyelusup di peraduan Chang Er.”

Untuk memahami maksud dan konteks puisi tersebut, dibutuhkan informasi seputar tradisi dan pentingnya Festival Rembulan atau Hari Raya Pertengahan Musim Gugur, yang konon bermula dari sebuah kisah Chang’e Terbang ke Bulan. Ada unsur tragis dan kebahagiaan pada saat bersamaan dalam kisah tersebut yang membuatnya menjadi ironis dan ambigu, sebagaimana bait-bait puisi Hanna sendiri rupa-rupanya bermaksud demikian ketika berkata: “Bicarakan pada kue bulan, ini hatiku terang dalam kelam”, di mana ironi dan ambiguitas tampak jelas dalam frase: hatiku terang dalam kelam.

PROBLEM ETNIK DAN IDENTITAS

Masalah etnik dan identitas yang coba dinarasikan sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam bukunya yang berjudul Konde Penyair Han, itu memang merupakan persoalan yang usianya sudah setua usia manusia itu sendiri. Tentu ada konteks sosial-politik, references, ketika Hanna mengangkat isu ini, yakni Peristiwa Mei 1998 di Jakarta dan pengalaman hidupnya sendiri semasa kanak-kanak dan remaja di tanah kelahiran dan kampung halamannya, Singkawang di Kalimantan Barat itu. Salah-satu puisinya yang paling kuat mencoba mengangkat isu ini adalah Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi, yang nada protes dan sindirannya terasa sangat kuat saat menggugat stereotipsasi dan “penindasan”, juga prasangka atas etnik Tionghoa. Puisi ini dapat dikatakan sebagai pintu pembuka pertama sebelum sejumlah puisi lainnya mengangkat seputar isu-isu “tanah air” dan “kewargaan”. Hanna menggunakan kata sekaligus metafora “mulut” sebagai mula kekerasan stereotipisasi dan piranti “penindasan” atas apa yang hendak diprotes-nya tersebut. Di sana “mulut” memang bersifat dualistik: tempat dan sumber kebajikan sekaligus keburukan, dan dari sana lah bermula ujaran, penamaan, identifikasi, dan stereotipisasi atas “yang lain”, “mulut adalah lubuk biru”.

“Maaf. Mulut adalah lubuk biru

tempat rimbun anggur dan lembut kabut”

…..

”Maaf. di kuburan kita janji ketemu

hantu lelaki yang menggigil lantaran istri yang mati.

Sebut sembarang saja

namanya: Aliong, Aliung, Along,

atau nama lain seperti Hartono, Hartanto,

atau Hardoyo. Atau nama lain semisal babi licik,

maling baba, -bukan pribumi”.

Puisi tersebut seakan hendak mendedahkan sebuah kearifan bahwa mula kekerasan dan penindasan bermula dari “mulut”, dari ujaran, dari sebutan, singkatnya dari identifikasi dan stereotipisasi atas “yang lain”. Dari muasal yang sebenarnya bersifat “wicara”, yang ketika terus-menerus diujarkan secara berulang-ulang maka akan menjelma stereotip dan “identifikasi”, yang lalu menjelma eksclusi terhadap “yang lain” dan “yang differ” atau “yang berbeda”. Dari sini kita sebenarnya bisa mengatakan bahwa kekerasan dan penindasan juga bermula dari kebiasaaan. Sebab, seperti yang pernah dikatakan Hannah Arendt (Lihat Karlina Supelli, BASIS Edisi Maret-April 2007: 13-15), kejahatan dan kedurjanaan dapat bersumber dari “kelesuan karakter”, “ketaksadaran”, dan “kemalasan berpikir”. Setidak-tidaknya, dalam konteks inilah sejumlah puisi Hanna Fransisca mesti dipahami. Pun pada sisi lainnya, puisi-puisi Hanna Fransisca pada saat bersamaan dapat dimengerti sebagai refleksi sosial yang dinarasikan dengan jalan menghadirkan ironi, karena dengan itu terpancar kekuatan meditatifnya demi memancing permenungan dan empati para pembaca. Dengan kata lain, puisi-puisi Hanna Fransisca menyindir sekaligus menegur kita dengan halus:

“Ia tak ingin hidupnya mati sampai di sini.

Mungkin kelak ia pandai menghitung koin,

dan barang kelontong demi harga diri.

Tapi ia sungguh tak ingin tidur dan mati di

dalam peti. Satu hal pasti: sejak disapa

guru pribumi jadi noni, ia lantas berhenti

membaca negeri. Ia putuskan

tak lagi jatuh cinta. Di sudut bibirmu

ada sebutir nasi. “Engkau hanya lah tamu

tanah dan air, menunggu di beranda

sampai mati”

(Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi).

Seperti terlihat dalam sejumlah puisinya, salah-satu masalah identitas yang kerap kali muncul adalah pertanyaan tentang “tanah air”, juga masalah “pribumi” dan “non-pribumi” yang rupa-rupanya cukup menyita pikiran dan tenaga estetik Hanna Fransisca, hingga soal-soal tersebut berkali-kali ia hadirkan dan ia ketengahkan melalui sejumlah puisinya, semisal lewat puisi yang berjudul Air Mata Tanah Air, Lilin Negeri, dan Nyanyi Tanah Negeri.

MASALAH GENDER DAN TRADISI PATRIARKHI

Isu lain yang tak bisa diabaikan dalam puisi-puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han itu adalah soal gender dan tradisi patriarkhi. Hal ini tampak dalam beberapa puisinya yang mengangkat sosok “Ibu”, yang acapkali digambarkan Hanna sebagai seorang “pahlawan” dan sosok “yang mengorbankan diri” demi keberlangsungan kehidupan keluarga, seperti tampak dalam puisinya yang berjudul Puisi Kacang Hijau:

“Dalam gelombang panas //

Ibu menambah kuah gula dan kelapa //

bersarung merah daster tembaga. //

Ia titipkan matanya

dalam liuk api

yang mententeramkan cinta. //

Hijau kulitmu,

biru api nasibmu. //

Pecah biji kacang

satu persatu. //

Hingga senja tiba,

menunggu usia binasa //

Ibu menuangkan seluruh dirinya

ke dalam mangkuk, // lalu menitipkan anak-anaknya //

pada hidup yang akan menjadikannya dewasa”.

Puisi-puisi Hanna Fransisca yang berusaha mengangkat sosok “Ibu” dan “perempuan” tersebut akan mengingatkan kita kepada tokoh-tokoh perempuan yang juga dikisahkan Jung Chang melalui bukunya yang berjudul Wild Swans –Three Daughters of China (Lihat Jung Chan, Angsa-Angsa Liar, Gramedia 2005) itu, sekedar sebagai perbandingan longgar, yang menceritakan tokoh-tokoh perempuan yang berjuang dalam himpitan dan tekanan tradisi dan budaya patriarkhi dari generasi ke generasi. Sosok perempuan, terutama sosok “Ibu” yang dipotret Hanna Fransisca tersebut, tak jauh berbeda dengan sosok-sosok perempuan-nya Jung Chang, entah nenek buyutnya, neneknya, atau ibunya, yang dilukiskan sebagai perempuan-perempuan yang sabar, acapkali dalam himpitan dan tekanan, yang salah satunya karena budaya patriarkhi dan tradisi, tokoh-tokoh yang berjuang keras dan memang “berkorban” demi kelangsungan wangsa dan keluarga. Secara khusus, dalam Puisi Kacang Hijau, itu Hanna Fransisca menggambarkan bubur kacang hijau yang hendak ia santap sebagai “nasib” dan “tubuh” ibunya sendiri. Atau minimal ia terkenang perjuangan dan “pengorbanan” ibunya saat hendak menyantap dan saat menyantap menu santapan yang terbuat dari bahan kacang hijau tersebut.

Puisinya yang lain yang juga bernada dan mengangkat isu serupa, selain tentang kenangan dan ingatan penyairnya, adalah yang berjudul Kepada Adik: “Di sepanjang jalan Singkawang // di lorong-lorong pecinan // kubangan lumpur dan gubuk tempat ibu pernah berdiri // tak letih-letih aku mencari……Di rumah tua sepasang tangan keriput // masih menanak jagung yang kausuka. // Asap halus mengepul di wajah ibu yang mulai menua”. Tema puisi ini, sebagaimana tema Puisi Kacang Hijau, adalah sosok “Ibu” yang begitu nyata dan akrab dalam ingatan kanak-kanak penyair hingga dewasa. Sosok “Ibu” yang dinarasikan dan digambarkan Hanna Fransisca begitu sakral. Sosok “Ibu” diangkat karena bagi si penyairnya merupakan contoh nyata “perempuan” yang berjuang di tengah tradisi patriarkhi, yang pada saat yang bersamaan seakan hanya bisa menanggung “ketakberdayaan” untuk melawan adat tradisi.

Pertarungan naratif dan metaforik puisi-puisi Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han pada dasarnya adalah pencarian “identitas” dalam konteks adat tradisi dan budaya Tionghoa-nya di satu sisi, dan persoalan pergulatan identitas Tionghoa itu sendiri dalam konteks sosial-politik dan kewargaan Indonesia. Dalam hal ini, melalui beberapa puisinya semisal puisi Air Mata Tanah Air, Lilin Negeri 2, dan Sang Naga, penyairnya bahkan berusaha melakukan dialog fiktif dan sunyi dengan sosok Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid, yang tak lain sosok pluralis, pembela hak-hak asasi manusia, ulama kharismatik, yang pada saat bersamaan dikenal dekat dengan etnik Tionghoa, yang bahkan berusaha memerangi ketidakadilan kepada etnik Tionghoa, baik ketika menjadi budayawan, ketua PBNU, dan presiden RI. Dapat dikatakan, Gus Dur merupakan figur penting bahkan dianggap “pahlawan” bagi Hanna Fransisca. Ia dianggap sosok yang humanis dan ideal seorang manusia yang patut diteladani.

Refleksi Bersama

Membaca puisi-puisi Hanna Fransisca yang menarasikan diri mereka dengan ujaran reflektif dan sindiran halus itu, meski berangkat dari latar belakang kehidupan si penyairnya, entah kenangan dan ingatannya tentang tanah kelahiran plus kampung halaman dan sosok ibunya, dan upayanya menggunakan adat tradisi dan mitologi etnik Tionghoa sebagai reference dan kiasan puisi-puisinya, tersebut sebenarnya dapat dibaca sebagai refleksi bersama dalam konteks budaya dan lanskap kewargaan kita di Indonesia. Salah-satu contohnya, yang dengan mempersembahkan beberapa puisinya, yang merupakan dialog fiktif dan upaya mempersembahkan kepada sosok Gus Dur, itu seakan berusaha mengajak dan menegur kita secara halus untuk belajar “bagaimana menjadi manusia” dari figur KH. Abdurrahman Wahid, yang memang telah kita kenal sebagai figur pembela humanisme yang teguh dan lantang, seperti terlihat dalam perjuangan dan upayanya menolak dan melawan diskriminasi SARA dalam konteks politik dan budaya Indonesia.

Berangkat dari dan berdasar aras wawasan tersebut, sejumlah puisi yang termaktub dalam Konde Penyair Han-nya Hanna Fransisca pada dasarnya datang dari seorang wakil warga Negara Indonesia, dari salah-satu etnik dari sekian banyak etnik di negeri kita, ketika ia merasa ada “ketidakadilan”, “prasangka negatif”, dan “tuduhan sepihak” yang merasa perlu ia hadirkan dan ia wacanakan ke hadapan kita semua demi mendapatkan “pemahaman” dan “empati”. Maka wajar, jika dalam beberapa puisinya di buku Konde Penyair Han, itu Hanna Fransisca tak segan-segan menghadirkan dan menggambarkan etnik Tionghoa sebagai korban, utamanya korban amok politik pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Peristiwa Mei 1998 tersebut bahkan dapat dikatakan sebagai inspirasi dan rujukan penting bagi kreativitas penulisan beberapa puisinya. Dengan latar dan rujukan itu pulalah kemudian si penyairnya berusaha merefleksikannya dengan jalan menengok atau berziarah kembali ke “genealogy” wangsa dirinya, adat istiadat, dan mitologi Tionghoa, yang tentu saja, sangat ia kenal dan sangat ia akrabi, karena ia sendiri hidup bersama dan menghidupi adat istiadat, tradisi, dan mitologi etnik Tionghoa itu. Inilah salah-satu pijakan dan latar-belakang yang tak dapat diabaikan ketika kita membaca puisi-puisinya Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han.

Penerokaan dan refleksi seputar identitas dan etnisitas yang terpancar lewat dan dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han itu mengingatkan saya pada refleksi-refleksi diarisnya Amin Maalouf yang cukup investigatif dan mencerahkan saat Amin Maalouf mencoba mengangkat dua isu penting tersebut dalam hidup kita secara politik dan kultural. Amin Maalouf dan Hanna Fransisca bahkan memiliki kemiripan reflektif, meski Amin dan Hanna menggunakan media yang berbeda untuk mengangkat soal-soal tersebut, esai dan puisi. Keduanya pun berangkat dari dunia politik-kultural dan pengalaman mereka masing-masing, yang karena sifatnya yang universal itu, kemudian memiliki nada keprihatinan yang tak jauh berbeda. Lewat-lewat esai diaris-reflektifnya dalam bukunya yang berjudul In the Name of Identity itu, seperti halnya kemudian nada serupa tampak dalam sejumlah puisi Hanna, Malouf memaklumkan kita bahwa soal identitas dan etnisitas kerapkali menjadi sumber kekerasan dan pertikaian, meski apa yang kita sebut “identitas” itu sendiri sesungguhnya tak pernah ajeg. “Orang bertanya pada saya”, tulis Maalouf, “apakah saya lebih Perancis atau lebih Lebanon? Dan saya selalu melontarkan jawaban yang sama: Keduanya! Saya berkata demikian tidak memaksudkan supaya jawaban saya terdengar adil dan berimbang, tetapi karena jawaban yang lain sama artinya dengan kebohongan” (Amin Maalouf, 2004: 1-5). Dilema identitas sebagaimana yang diungkapkan Maalouf tersebut serupa dengan dilema yang dialami dan dihidupi oleh Hanna Fransisca, seperti tergambar dalam sejumlah puisinya, di mana ia seorang etnik Tionghoa sekaligus “hidup” di Indonesia, hingga tak teringkari bahwa Hanna adalah seorang Tionghoa sekaligus Indonesia, dan itulah identitasnya, bila kita meminjam logika dan wawasannya Amin Maalouf.

Seperti halnya Maalouf, Hanna pun seakan-akan hendak mengatakan bahwa menetapkan identitas seseorang atau pun kelompok masyarakat secara ajeg bisa menimbulkan masalah dan mengingkari realitas dunia dan hidup saat ini, di mana banyak orang menyandang sematan identitas yang beragam secara bersamaan. Dalam dunia saat ini, sebagaimana diungkapkan Amin Maalouf dan Amartya Sen, misalnya, tak lagi bisa dipahami sebagai konsep general yang mengingkari pengalaman-pengalaman khusus dan unik setiap individu. Sebagai contoh, Kartu Identitas semisal KTP, mestilah lebih dipandang sebagai kebutuhan statistik saja ketimbang sebagai definisi substantif seseorang yang menyandangnya. Sebab, seperti telah kita maphumi bersama, di jaman ini sudah banyak sekali individu-individu yang sebenarnya hidup dengan sekian identitas campuran dan menghidupinya dengan sukarela atau terpaksa, seperti Amin Maalouf yang keturunan Arab-Libanon, beragama Kristen, mengenal bahasa Arab secara fasih yang juga merupakan bahasanya banyak kaum muslim, tapi pada saat bersamaan adalah seorang warga-negara Perancis dan menulis dalam bahasa Perancis. Kenyataan serupa juga dapat kita kiaskan pada kasus Hanna, seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, dan kini hidup di Jakarta, akrab dan menghidupi adat istiadat dan budaya Tionghoa, namun pada saat bersamaan tinggal di Indonesia dan menulis juga berbicara dengan dan dalam Bahasa Indonesia.

Selain Amin Maalouf dan Amartya Sen, kita juga bisa menimba refleksi bersama ini dari tulisan-tulisan dan wawasan filosofisnya Richard Rorty, tentu sebagai cermin untuk menilai dan melihat arti refleksi yang dihadirkan oleh sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han itu. Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences of Pragmatism itu, Richard Rorty, yang diinspirasi oleh renungan-renungan filsafatnya Adorno dan Hannah Arendt, dan pengalaman sejarah nasionalisme modern dan rezim kekuasaan politik otoritarianismenya, kita diajak menengok sebuah masa ketika kesadaran kita tergiring kepada pengalaman pahit abad 20, ketika kepercayaan ideologis yang dogmatis malah memanen kekejaman dan kemalangan bagi jutaan ummat manusia. Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences of Pragmatism itu, contohnya, Rorty menginterupsi kepercayaan dan pemahaman kita tentang apa yang kita terima dan kita percayai sebagai kebenaran yang masih berbasis pendasaran metafisik dan universalisme yang mengatasi sejarah alias tidak didasarkan pada pengalaman kefanaan kita yang lebih nyata. “Truth is not the sort of thing one should expect to have a philosophically interesting theory about”, tulis Rorty, “truth is just the name of a property which all true statements share” (Richard Rorty, 1991: xiii-xxi). Di sini, dialog dan sharing pemahaman merupakan media dan jalan yang mesti dipilih dalam lingkungan sosial dan situasi epistemik dunia modern saat ini, termasuk melalui tulisan dan penyebaran dan publikasi wacana. Menurut Rorty, contohnya, sudah bukan saatnya lagi bagi kita untuk bertanya “apakah kita” seperti lazimnya filsafat tradisional, tetapi lebih baik bertanya “siapakah kita”, di mana dengan pertanyaan kedua itu kita akan lebih menyadari eksistensi dan posisi kita dalam keragaman dan situasi epistemik jaman ini. Singkatnya lebih realistis, sebagaimana yang juga dibayangkan oleh Amartya Sen dan Amin Maalouf. Tapi, sepertinya, meski hanya tersirat saja, dalam beberapa puisi Hanna Fransisca, pertanyaan dan refleksi “apakah kita” dan “siapakah kita” sama-sama penting. Lebih khusus dan spesifik, dalam kasus sejumlah puisi Hanna Fransisca sebagaimana yang termaktub dalam buku Konde Penyair Han itu, pertanyaan dan refleksinya menjadi “Apakah Tionghoa” dan “Siapakah Tionghoa”, yang kemudian seakan-akan hendak merenungkan, merefleksikan, dan mempertanyakan kembali “Apakah Indonesia” dan “Siapakah Indonesia”. Dari sinilah kita dapat juga menilai kekhasan sejumlah puisi Hanna Fransisca, minimal dalam pemilihan tema dan isu pergulatan puisi-puisinya dalam buku Konde Penyair Han itu, di tengah dunia penulisan yang berjuang untuk tidak menjadi sekadar “hiburan” dan “propaganda” semata, jika saya meminjam istilahnya Daniele Sallenave, di tengah serbuan kamuflase (rekayasa) buku-buku yang melabelkan best sellers, di mana sastra atau penulisan rentan menjadi komoditas sesaat saja. Di sini, dengan meminjam langsung penuturannya Daniele Sallenave, sastra mendapati fungsi dirinya lebih pada upaya membuka suatu “renungan”, yang tak bakal berakhir dan tak bakal diakhiri, tentang makna kehadiran manusia-manusia konkret (Jurnal Kalam Edisi 9, 1997: 63-64).

Setidak-tidaknya, apa yang “diidealkan” Daniele Sallenave tentang di mana sastra, yang dalam konteks tulisan ini dapat dikatakan di mana puisi, mesti menempati dirinya atau “menjalankan” fungsinya sebagai usaha membuka kemungkinan bagi “renungan” akan manusia-manusia atau subjek-subjek konkret itu tercermin juga dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han. Sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han, meski tentu saja tak luput menjadi “pembelaan” subjektif dan sepihak, berusaha menempatkan dan memposisikan diri sebagai suara-suara “perenungan” dan “refleksi-investigatif” dalam soal-soal identitas, kewargaan, dan etnisitas, yaitu “Tionghoa” dan “Indonesia” pada saat bersamaan.

PUSTAKA

Buku:

Amin Maalouf, In the Name of Identity, Alih Bahasa: Ronny Agustinus, Resist Book 2004.

Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas, Alih Bahasa: Arif Susanto, Marjinkiri 2007.

Hanna Fransisca, Konde Penyair Han, KataKita 2010.

Jung Chang, Angsa-Angsa Liar, Alih Bahasa: Honggo Wibisana, Gramedia 2005.

Richard Rorty, Consequences of Pragmatism, Harvester 1991.

Risalah Dari Ternate, Ummu Press Oktober 2011.

Sauk Seloko, Dewan Kesenian Jambi 2012.

Tan Lioe Ie, Malam Cahaya Lampion, Bentang 2005.

Toety Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, Yayasan Obor Indonesia 2000.

Tuah Tara No Ate, Ummu Press Oktober 2011.

Wahyu Arya, Sebuah Pintu yang Terbuka, Kubah Budaya 2012.

Jurnal dan Majalah:

Majalah BASIS Edisi Maret-April 2007.

Jurnal Kalam Edisi 9, 1997.

Majalah INTISARI Edisi Agustus 2004.

Apakah Kita Butuh Filsafat?

Oleh Ted Grant dan Alan Woods

|

“Filsuf Yunani, Anaxagoras (500-428 SM), dalam sebuah deduksi yang gemilang, menyatakan bahwa perkembangan mental manusia tergantung dari terbebaskannya tangan. Dalam artikelnya yang penting, The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man, Engels menjelaskan dengan rinci transisi ini. Ia membuktikan bahwa posisi badan yang berdiri tegak, yang lantas membebaskan tangan untuk kerja-kerja, bentuk tangan manusia, dengan posisi ibu jari yang berseberangan dengan jari lainnya, yang memungkinkan tangan manusia menggenggam dengan erat, adalah prasyarat fisiologi untuk pembuatan perkakas. Pembuatan perkakas ini, pada gilirannya, adalah perangsang utama untuk perkembangan otak manusia. Kemampuan berbicara itu sendiri, yang tidak terpisahkan dari pemikiran, muncul dari kebutuhan untuk produksi sosial, kebutuhan untuk menjalankan berbagai fungsi kerjasama yang rumit.”

|

Sebelum kita mulai, Anda mungkin tergoda untuk bertanya, “Lalu, memangnya kenapa?” Memangnya perlu kita repot-repot memikirkan masalah-masalah sains dan filsafat yang rumit? Terhadap pertanyaan semacam ini, ada dua kemungkinan jawaban. Jika yang dimaksudkan dengan pertanyaan itu adalah: apakah kita perlu tahu tentang hal-hal itu agar dapat meneruskan hidup kita sehari-hari, tentu jawabannya adalah tidak. Tapi, jika kita ingin mendapat satu pemahaman rasional mengenai dunia yang kita diami ini, dan proses-proses dasar yang bekerja di alam, masyarakat dan cara kita untuk memandangnya, maka persoalannya akan jadi lain.

|

Aneh sebetulnya, tapi setiap orang sebenarnya memiliki “filsafat”-nya masing-masing. Sebuah filsafat adalah cara untuk memandang dunia. Kita semua yakin bahwa kita tahu bagaimana membedakan yang salah dari yang benar, yang baik dari yang buruk. Hal-hal inilah yang sebenarnya merupakan hal-hal rumit yang telah menyita pemikiran dari para pemikir terbesar di dunia sepanjang sejarah. Ketika kita dihadapkan dengan fakta yang mengerikan akan hadirnya kejadian-kejadian seperti perang saudara di Yugoslavia[1], kemunculan kembali pengangguran massal, pembantaian di Rwanda[2], banyak orang akan mengakui bahwa mereka tidak memahami hal-hal ini, dan seringkali mereka dengan samar-samar menggunakan rujukan “watak manusia”. Tapi apa watak manusia yang misterius ini, yang dilihat sebagai sumber dari segala kejahatan dan katanya tidak akan pernah berubah sampai akhir jaman? Ini adalah pertanyaan filsafat yang mendasar, pertanyaan yang hanya sedikit yang berani menjawabnya. Kecuali orang-orang yang pikirannya telah dicor dengan pemikiran religius, di mana mereka akan mengatakan bahwa Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, telah menakdirkan kita menjadi seperti demikian. Mengapa orang perlu menyembah satu Keberadaan yang mempermainkan ciptaan-Nya sendiri, itu adalah pertanyaan yang bukan hak kami untuk menjawabnya.

|

Mereka yang bersikeras bahwa mereka tidak menganut filsafat apapun telah jatuh ke dalam kekeliruan. Alam semesta membenci kevakuman. Orang-orang yang tidak memiliki sebuah filsafat yang tersusun secara koheren niscaya akan otomatis menjadi cermin dari ide-ide dan prasangka yang berlaku dalam masyarakat dan jaman di mana mereka hidup. Hal ini berarti, dalam konteks tertentu, bahwa kepala mereka akan penuh dengan ide-ide yang dicekokkan melalui koran, televisi, mimbar khotbah dan ruang-ruang kelas, semua yang secara setia merupakan cerminan dari kepentingan dan moralitas dari sistem kemasyarakatan yang sedang berlaku.

|

Kebanyakan orang biasanya berhasil berkayuh melalui lumpur kehidupan, sampai terjadi satu benturan besar yang memaksa mereka untuk meninjau kembali segala ide dan nilai yang telah menyertai mereka selama itu. Krisis masyarakat memaksa mereka untuk mempertanyakan banyak hal yang selama itu mereka anggap wajar. Pada masa-masa semacam itu, ide-ide yang kelihatannya jauh di awang-awang tiba-tiba menjadi sangat relevan. Semua orang yang ingin memahami kehidupan, bukan sekedar sebagai serangkaian kebetulan yang tak bermakna atau rutinitas yang tak berarti, harus menggeluti filsafat, yaitu, dengan pemikiran yang lebih tinggi daripada masalah keberadaan sehari-hari yang mendesak. Hanya dengan cara inilah kita akan mengangkat diri kita ke tingkatan di mana kita mulai memenuhi potensi kita sebagai umat manusia yang memiliki kesadaran, yang mau dan mampu mengendalikan nasib kita sendiri.

|

Secara umum dipahami bahwa apapun yang berharga dalam hidup ini harus diperjuangkan. Studi filsafat, pada dasarnya, melibatkan beberapa kesulitan, karena studi itu menangani hal-hal yang jauh terpisah dari dunia pengalaman sehari-hari. Bahkan istilah yang digunakan menghadirkan kesulitan-kesulitan karena kata-kata digunakan dengan susunan yang tidak selalu berhubungan dengan makna di mana kata-kata itu dipergunakan sehari-hari. Tapi, hal yang sama terjadi pula dalam berbagai bidang studi khusus, dari psikoanalisis sampai permesinan.

|

Hambatan yang kedua lebih serius lagi. Di abad yang lalu, ketika Marx dan Engels pertama menerbitkan tulisan-tulisan mereka tentang materialisme dialektik, mereka dapat mengasumsikan bahwa banyak pembaca mereka setidaknya memiliki pengalaman bergaul dengan filsafat klasik, termasuk Hegel. Kini mustahil membuat asumsi semacam itu. Filsafat tidak lagi menempati tempat sepenting dulu, karena spekulasi atas alam semesta telah digantikan oleh sains. Adanya teleskop-radio dan pesawat antariksa membuat kita tidak perlu lagi menerka-nerka sifat dan cakupan dari sistem tata surya kita. Bahkan misteri kejiwaan manusia kini semakin tersingkap oleh neurobiologi dan psikologi.

|

Situasinya tidak sebaik itu di bidang ilmu-ilmu sosial, terutama karena gairah untuk mencapai pengetahuan yang akurat kini telah demikian berkurang sehingga sains justru menjadi hambatan bagi kepentingan material yang mengatur kehidupan manusia. Kemajuan-kemajuan besar yang dicapai oleh Marx dan Engels dalam bidang analisis sosial dan sejarah dan ekonomi tidak termasuk cakupan dari buku ini. Cukuplah jika kami menunjukkan bahwa, sekalipun terus-menerus diserang dengan ganas sejak kelahirannya, teori Marxisme tentang perkembangan sosial telah menjadi satu faktor penentu dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial modern. Untuk bukti tentang vitalitas teori ini, cukuplah kita melihat fakta bahwa serangan kepadanya bukan hanya berlanjut, tapi malah semakin meningkat intensitasnya seiring dengan berjalannya waktu.

|

Di masa lalu, perkembangan sains, yang selalu terkait erat dengan perkembangan kekuatan produktif, belumlah mencapai tingkat yang cukup tinggi untuk membuat orang sanggup memahami dunia yang mereka huni. Karena ketiadaan pengetahuan yang ilmiah, atau alat-alat material untuk menggapai pengetahuan itu, mereka terpaksa menyandarkan diri pada satu-satunya instrumen milik mereka yang dapat membantu mereka untuk memahami dunia dan mengendalikannya – nalar manusia. Perjuangan untuk memahami dunia sangat dekat dengan perjuangan umat manusia untuk melepaskan diri dari tingkatan kesadaran hewani, untuk menguasai kekuatan alam yang membabi-buta itu dan untuk membebaskan diri dalam makna yang sejati, bukan legalistik. Perjuangan ini adalah benang merah yang merajut seluruh rangkaian kesejarahan manusia.

|

PERAN AGAMA

“Makhluk yang bernama Manusia itu agaknya gila. Ia tidak tahu bagaimana menciptakan seekor ulat sekalipun, tapi ia menciptakan lusinan Tuhan.” (Montaigne)

|

“Semua mitologi mengatasi dan mendominasi dan membentuk kekuatan alam dalam imajinasi dan oleh imajinasi; maka mitologi itu akan lenyap bersamaan dengan penguasaan sejati atas kekuatan-kekuatan alam itu.” (Marx)

|

Hewan tidak memiliki agama, dan di masa lalu dikatakan bahwa itulah perbedaan utama antara manusia dan “makhluk biadab”. Tapi sebenarnya itu cuma cara lain untuk mengatakan bahwa hanya manusia yang memiliki kesadaran dalam makna yang sepenuhnya. Di tahun-tahun terakhir, terdapat reaksi terhadap ide bahwa Manusia adalah sebuah Ciptaan yang khusus dan unik. Sanggahan ini tepat, tak usah diragukan lagi, dalam makna bahwa manusia ber-evolusi dari hewan, dan dalam banyak aspek, tetaplah hewani. Kita memiliki berbagai fungsi tubuh yang sama dengan hewan-hewan lain. Tidak hanya itu, perbedaan genetika antara manusia dan simpanse hanya dua persen saja. Ini adalah jawaban yang tegas terhadap kekonyolan yang dikemukakan para Kreasionis.

|

Riset-riset terbaru terhadap simpanse bonobo telah membuktikan tanpa keraguan bahwa primata yang paling mirip manusia itu sanggup melakukan aktivitas mental yang mirip dalam beberapa aspek dengan aktivitas mental seorang anak kecil. Ini adalah bukti yang mengejutkan tentang hubungan kekerabatan antara manusia dan primata-primata termaju, tapi kemiripannya hanya sampai di sini saja. Sekalipun para peneliti melakukan berbagai usaha, kera-kera bonobo tidak pernah dapat bicara atau menciptakan perkakas batu yang mirip dengan alat-alat primitif yang dulu diciptakan nenek moyang manusia. Perbedaan genetik yang dua persen antara manusia dan simpanse menandai lompatan kualitatif dari hewan menuju manusia. Hal ini dicapai, bukan oleh tangan seorang Pencipta, tapi dari perkembangan otak yang didorong oleh kerja-kerja fisik.

|

Keterampilan untuk membuat perkakas-perkakas batu yang paling sederhana pun menuntut sebuah tingkat kemampuan mental dan pemikiran abstrak yang amat tinggi. Kemampuan untuk memilih jenis batu yang tepat dan menolak jenis yang lain; pemilihan sudut pukulan yang tepat untuk mengukir ujung batu menjadi tajam, dan penggunaan kekuatan pukulan yang tepat agar batu itu tidak rusak – hal-hal ini adalah tindakan-tindakan yang menuntut intelektualitas yang sangat rumit. Rangkaian tindakan ini menuntut derajat perencanaan dan kemampuan memperkirakan masa depan yang tidak didapati bahkan di antara primata yang paling maju sekalipun. Sekalipun demikian, penggunaan dan pembuatan perkakas-perkakas batu bukanlah hasil dari perencanaan yang sadar, tapi merupakan sesuatu yang terpaksa dilakukanoleh nenek moyang manusia oleh kebutuhan-kebutuhan yang dihadapinya. Bukan kesadaran yang menghasilkan umat manusia, melainkan desakan kehidupan manusia yang mendorong membesarnya ukuran otak, kemampuan bicara dan kebudayaan, termasuk agama.

|

Kebutuhan untuk memahami dunia terkait erat dengan kebutuhan untuk bertahan hidup. Makhluk-makhluk hominid pertama, yang menemukan penggunaan keping-keping batu untuk memotong daging hewan yang berkulit tebal, mendapat keuntungan yang sangat besar untuk bertahan hidup ketimbang makhluk-makhluk lain yang tidak sanggup meraih sumber protein dan lemak yang luar biasa itu. Mereka yang sanggup menyempurnakan perkakas-perkakas batu mereka dan sanggup mencari tempat yang menyediakan batu-batu terbaik akan punya peluang lebih besar untuk bertahan hidup. Dengan perkembangan teknik itu, muncullah pula perkembangan nalar, dan kebutuhan untuk menjelaskan berbagai gejala alam yang mengatur hidup mereka. Selama jutaan tahun, melalui usaha coba-coba (trial and error), nenek moyang kita mulai menetapkan berbagai hubungan antar benda-benda. Mereka mulai membuat abstraksi, yaitu, menggeneralisasi pengalaman dan praktek yang mereka temui sehari-hari.

|

Selama berabad-abad, pertanyaan mendasar dari filsafat adalah hubungan antara pemikiran dan eksistensi. Kebanyakan orang hidup dengan cukup bahagia tanpa perlu memikirkan persoalan ini. Mereka berpikir dan bertindak, bicara dan bekerja, tanpa secuilpun kesulitan. Lebih jauh lagi, mustahil bagi mereka untuk menganggap dua aktivitas dasar manusia itu sebagai dua hal yang terpisah, karena dalam praktek keduanya saling tergantung satu sama lain. Bahkan tindakan-tindakan yang paling sederhana, jika kita mengabaikan tindakan-tindakan yang didorong semata oleh insting biologis, membutuhkan pemikiran. Sampai tingkat tertentu, hal ini benar bukan hanya untuk manusia tapi juga untuk hewan, seperti ketika seekor kucing bersembunyi untuk menyergap sang tikus. Akan tetapi, untuk manusia jenis pemikiran dan perencanaan yang dimilikinya memiliki karakter yang secara kualitatif lebih tinggi daripada segala aktivitas mental hewan lain, bahkan dari kera-kera yang paling maju sekalipun.

|

Fakta ini terkait erat dengan kapasitas berpikir abstrak, yang memungkinkan manusia untuk melampaui kondisi-kondisi mendesak yang dialaminya melalui indera-inderanya. Kita dapat menimbang situasi, bukan hanya yang terjadi di masa lalu (hewan juga memiliki ingatan, seperti seekor anjing yang merasa takut seketika ia melihat sebatang tongkat) tapi juga apa yang mungkin terjadi di masa depan. Kita dapat mengantisipasi situasi yang kompleks, merencanakan, dan dengan demikian menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya. Termasuk, sampai titik tertentu, menentukan nasib kita sendiri. Sekalipun kita tidak biasanya berpikir tentang hal ini, sebenarnya ini adalah satu penaklukan mahabesar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. “Apa yang khas dari cara berpikir manusia,” ujar Profesor Gordon Childe, “adalah cara berpikir manusia dapat menjelajah jauh melebihi situasi yang sedang dihadapinya, lebih jauh daripada nalar hewan manapun.”[3] Dari kemampuan ini, lahirlah berbagai peradaban, kebudayaan, kesenian, musik, literatur, ilmu pengetahuan, filsafat dan agama. Kita juga menganggap wajar bahwa semua itu tidak jatuh dari langit, melainkan hasil dari perkembangan selama jutaan tahun.

|

Filsuf Yunani, Anaxagoras (500-428 SM), dalam sebuah deduksi yang gemilang, menyatakan bahwa perkembangan mental manusia tergantung dari terbebaskannya tangan. Dalam artikelnya yang penting, The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man, Engels menjelaskan dengan rinci transisi ini. Ia membuktikan bahwa posisi badan yang berdiri tegak, yang lantas membebaskan tangan untuk kerja-kerja, bentuk tangan manusia, dengan posisi ibu jari yang berseberangan dengan jari lainnya, yang memungkinkan tangan manusia menggenggam dengan erat, adalah prasyarat fisiologi untuk pembuatan perkakas. Pembuatan perkakas ini, pada gilirannya, adalah perangsang utama untuk perkembangan otak manusia. Kemampuan berbicara itu sendiri, yang tidak terpisahkan dari pemikiran, muncul dari kebutuhan untuk produksi sosial, kebutuhan untuk menjalankan berbagai fungsi kerjasama yang rumit. Teori-teori Engels ini telah dibuktikan secara mencolok oleh penemuan-penemuan terbaru dalam bidang paleontologi, yang menunjukkan bahwa kera-kera hominid muncul di Afrika jauh lebih dahulu dari apa yang diperkirakan sebelumnya, dan mereka memiliki otak yang jauh lebih kecil daripada simpanse modern. Maka dapat dikatakan bahwa perkembangan otak muncul setelah dihasilkannya perkakas-perkakas batu, dan merupakan hasil dari proses penciptaan perkakas-perkakas itu. Jadi, tidaklah benar bahwa “Pada awalnya adalah Sabda,” tapi seperti yang dikemukakan oleh penyair Jerman, Goethe – “Pada awalnya adalah Kerja.”

|

Kemampuan untuk bergelut dengan pemikiran abstrak terkait erat dengan bahasa. Sejarawan ternama Gordon Childe menyatakan: “Nalar, dan segala yang kita sebut berpikir, termasuk proses berpikir seekor simpanse, harus melibatkan sebuah operasi mental dengan apa yang disebut oleh para psikolog sebagai citra. Satu citra visual, satu gambaran mental dari, katakanlah, sebuah pisang, selalu merupakan citra sebuah pisang tertentu yang berada dalam sebuah lingkungan tertentu. Sebuah kata, seperti yang telah dijelaskan, adalah lebih umum dan abstrak, setelah menyingkirkan kondisi-kondisi aksidental yang membedakan satu pisang dengan pisang yang lain. Gambaran mental dari kata-kata (gambaran dari bunyi atau gerakan otot yang dibutuhkan untuk mengutarakannya) membentuk satu tanggapan yang merangsang proses berpikir. Berpikir dengan bantuan kata-kata, dengan demikian, mengandung persis kualitas abstraksi dan generalisasi yang tidak dimiliki oleh proses berpikir hewan. Manusia dapat berpikir, dan juga bicara, tentang kelas benda-benda yang dikenal sebagai ‘pisang’; simpanse tidak pernah dapat berpikir lebih jauh dari ‘pisang di dalam kantung yang itu’. Dengan cara ini, alat sosial yang dinamakan bahasa berperan serta dalam apa yang secara bombastis digambarkan sebagai ’emansipasi umat manusia dari keterikatan menuju kekonkretan’.”[4]

|

Manusia-manusia pertama, setelah jangka waktu yang panjang, membentuk ide umum tentang, katakanlah, sebatang tanaman atau seekor hewan. Ide ini tumbuh dari pengamatan konkret terhadap berbagai tanaman atau hewan. Tapi ketika kita tiba pada konsep umum “tanaman”, kita tidak lagi melihat di hadapan kita tanaman ini atau itu secara khusus, tapi apa yang jamak menjadi sifat umum di antara mereka. Kita menyerap makna hakikat tanaman, keberadaannya yang paling mendasar. Bila dibandingkan dengan hakikat ini, ciri-ciri khusus dari tanaman tertentu tampak sekunder dan tidak stabil. Apa yang selalu permanen dan universal terkandung dalam pandangan umum tentang tanaman. Kita tidak akan pernah melihat “tanaman” seperti gambaran tertentu, seperti ketika kita menyebut satu jenis tanaman atau semak tertentu. Konsep itu adalah abstraksi yang dilakukan oleh nalar manusia. Namun demikian, abstraksi itu justru merupakan pernyataan yang lebih dalam dan lebih sejati tentang apa yang hakiki di dalam sifat tanaman setelah sifat-sifat yang sekunder dilucuti daripadanya.

|

Walau demikian, abstraksi dari manusia-manusia awal masih jauh dari watak-watak ilmiah. Abstraksi itu adalah penjelajahan yang tentatif sifatnya, seperti kesan yang didapat anak-anak kecil – yakni bersifat terkaan dan hipotesis, yang kadang keliru, tapi selalu berani dan imajinatif. Bagi nenek moyang kita tempo dulu, matahari adalah satu makhluk agung yang kadang menghangatkan mereka, kadang membakar mereka. Bumi adalah seorang raksasa yang sedang tidur. Api adalah hewan buas yang menggigit mereka ketika mereka menyentuhnya. Manusia-manusia pertama mengamati kilat dan guntur. Kedua hal itu pasti menakutkan bagi mereka, seperti ketakutan yang masih dialami baik oleh hewan atau manusia sampai sekarang. Tapi, tidak seperti hewan, manusia mencari satu penjelasan umum atas gejala-gejala itu. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan ilmiah, penjelasan itu niscaya akan berupa penjelasan yang supernatural – dewa-dewa tertentu, yang menghantam landasan tempa dengan palu godamnya. Bagi kita, penjelasan itu kelihatannya lucu, seperti penjelasan naif yang diberikan oleh anak-anak kecil. Walau demikian, pada masa itu, penjelasan-penjelasan itu adalah hipotesis yang sangat penting – satu upaya untuk menemukan sebab rasional dari fenomena yang diamatinya. Penting untuk manusia agar dapat membedakan antara berbagai pengalaman hidup yang dihadapinya, dan melihat sesuatu yang berdiri di luar pengalaman-pengalaman itu.

|

Bentuk yang paling berciri dari agama-agama pertama adalah animisme – pandangan bahwa segala hal, yang hidup maupun yang tidak hidup, memiliki roh. Kita melihat reaksi yang sama dari seorang anak kecil ketika ia, setelah terbentur pada sebuah meja, memukul meja itu. Dengan cara yang sama, manusia-manusia pertama, dan juga beberapa suku tertentu sampai sekarang, akan memohon maaf pada pohon-pohon sebelum mereka menebangnya. Animisme berjaya dalam satu masa ketika manusia masih belum terpisah jauh dari dunia hewan dan alam secara umum. Kedekatan manusia pada dunia hewan dibuktikan oleh kesegaran dan keindahan dari gambar-gambar gua, di mana kuda, kijang dan bison digambarkan dengan satu kealamian yang tidak akan pernah lagi dapat diguratkan oleh artis-artis modern. Masa itu adalah masa kecil dari peradaban manusia, yang telah pergi dan tak akan kembali. Kita hanya dapat membayangkan psikologi dari nenek moyang jauh kita itu. Tapi, dengan menggabungkan penemuan-penemuan paleontologi dengan antropologi, dimungkinkan bagi kita untuk merekonstruksi, setidaknya secara garis besar, dunia yang telah memunculkan peradaban umat manusia itu.

|

Dalam studi antropologi klasiknya tentang asal-usul sihir dan agama, Sir James Frazer menulis: “Seorang barbar hampir sama sekali tidak membuat pembedaan yang biasanya dibuat oleh orang-orang yang lebih maju antara apa yang natural dan yang supernatural. Baginya, dunia ini secara umum digerakkan oleh unsur-unsur supernatural, yaitu, oleh makhluk-makhluk yang digambarkan mirip manusia, yang bekerja dengan dorongan impuls dan motif seperti yang dimilikinya, seperti dirinya juga tergerak oleh belas kasihan dan permohonan-permohonan, harapan dan juga ketakutan. Dalam sebuah dunia yang digambarkan seperti itu, ia tidak melihat batasan bagi kekuatan ini untuk mempengaruhi jalannya alam bagi keuntungannya sendiri. Doa-doa, janji-janji, atau ancaman-ancaman dapat menjaminkan baginya cuaca yang baik dan panen yang melimpah sebagai berkat dewata; dan jika dewa-dewa sampai menitis ke dalam dirinya, seperti yang kadang dipercaya demikian, maka ia tidak lagi perlu memohon pada sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya; ia, orang barbar itu, memiliki di dalam dirinya seluruh kekuatan yang diperlukan untuk memajukan kesejahteraannya sendiri maupun bagi sesamanya.”[5]

|

Pandangan bahwa jiwa hadir terpisah dan tersendiri dari tubuh diwariskan dari masa paling lampau dari jaman kebiadaban. Basis untuk pandangan itu sangatlah jelas. Ketika kita tidur, jiwa nampak meninggalkan tubuh dan mengembara di dalam mimpi. Jika pandangan ini dikembangkan lebih jauh, kemiripan antara kematian dan tidur (“saudara kembar dari Kematian”, seperti kata Shakespeare) menimbulkan ide bahwa jiwa akan terus hadir sesudah kematian. Maka manusia-manusia pertama menyimpulkan bahwa terdapat sesuatu di dalam tubuh yang terpisah dari tubuh itu sendiri. Inilah jiwa, yang menguasai tubuh, dan dapat melakukan segala macam hal yang luar biasa, bahkan ketika tubuh sedang tertidur. Mereka juga mengamati bagaimana sabda-sabda kebijaksanaan diucapkan oleh para tetua, dan menyimpulkan bahwa, sekalipun tubuh mati, jiwa akan terus hidup. Bagi orang-orang yang terbiasa dengan ide-ide tentang migrasi, kematian dilihat sebagai migrasi jiwa, yang membutuhkan makanan dan peralatan lain untuk perjalanannya.

|

Pada awalnya, roh tidak memiliki kediaman tertentu. Mereka hanya mengembara, biasanya membuat kekacauan, yang memaksa semua yang hidup untuk menempuh berbagai kesulitan untuk menenangkan roh-roh itu. Di sini kita mendapati asal-usul upacara-upacara keagamaan. Pada akhirnya, muncullah satu ide bahwa kita dapat memohon pula bantuan dari para roh melalui doa-doa. Pada tingkatan ini, agama (sihir), seni dan ilmu tidak dibedakan satu sama lain. Karena mereka tidak memiliki alat untuk benar-benar mengendalikan lingkungan mereka, manusia-manusia pertama mencoba menundukkan lingkungan itu melalui penyatuan sihir dengan alam. Sikap manusia-manusia pertama terhadap dewa-dewa dan pemujaan-pemujaan sangat praktis. Doa-doa ditujukan untuk mendapatkan hasil. Seseorang akan membuat gambar dengan tangannya lalu berlutut menyembah gambar itu. Tapi jika tindakan itu tidak membawa hasil ia akan mengutuk gambar itu dan menginjak-injaknya. Jika permohonan tidak membawa hasil ia akan menggunakan kekerasan. Dalam dunia aneh yang penuh dengan hantu dan mimpi ini, dunia agamawi ini, pemikiran-pemikiran primitif melihat segala peristiwa sebagai karya dari roh yang tak kasat mata. Tiap semak dan aliran sungai dilihat sebagai makhluk yang hidup, yang bersahabat atau bermusuhan. Tiap kejadian, tiap mimpi, rasa sakit atau sensasi, disebabkan oleh roh. Penjelasan religius mengisi kekosongan yang disebabkan tiadanya penjelasan yang ilmiah tentang hukum-hukum alam. Bahkan kematian tidak dilihat sebagai satu kejadian yang alami, melainkan sebagai satu akibat dari pelanggaran-pelanggaran tertentu terhadap perintah dewata.

|

Selama sebagian besar masa keberadaan umat manusia, pikiran manusia terisi penuh dengan hal-hal semacam ini. Dan bukan hanya di dalam apa yang dianggap orang sebagai masyarakat primitif. Jenis takhayul yang sama terus hadir dalam kedok yang agak berbeda saat ini. Di bawah tabir tipis peradaban merunduklah satu kecenderungan dan ide-ide irasional primitif yang memiliki akar jauh di masa lalu, masa-masa yang telah lama terlupakan tapi belum sepenuhnya ditinggalkan. Dan juga tidak akan sepenuhnya dapat ditinggalkan selama umat manusia masih belum berhasil menegakkan kendali sepenuhnya atas kondisi kehidupannya sendiri.

|

PEMBAGIAN KERJA

Frazer menunjukkan bahwa pembagian antara kerja-kerja fisik dan mental dalam masyarakat primitif, mau tidak mau, terkait pada pembentukan kasta pendeta, shaman (dukun) atau tukang sihir. “Kemajuan sosial, seperti yang kita tahu, terutama terdiri dari berbagai diferensiasi fungsi yang terjadi berturutan, atau, dalam bahasa yang lebih sederhana, pembagian kerja. Kerja-kerja yang dalam masyarakat primitif dikerjakan oleh semua orang tanpa kecuali, termasuk oleh orang-orang yang tidak sanggup mengerjakan pekerjaan itu, semakin hari semakin dibagi ke dalam berbagai kelas pekerja dan dikerjakan dengan semakin sempurna; selama hasil kerja terspesialisasi itu, baik yang material atau imaterial, dimiliki bersama oleh semua orang, keseluruhan masyarakat masih akan terus mendapat keuntungan yang semakin tinggi sejalan dengan meningkatnya spesialisasi. Para tukang sihir dan dukun kelihatannya tampaknya adalah kelas artifisial atau profesional pertama dalam evolusi masyarakat. Karena para tukang sihir itu ditemui di berbagai suku primitif yang masih kita kenal saat ini; dan di antara masyarakat yang paling primitif, seperti suku Aborigin Australia, merekalah satu-satunya kelas profesional yang ada.”[6]

|

Dualisme yang memisahkan jiwa dari tubuh, nalar dari materi, pikiran dari perbuatan, mendapat impuls yang maha kuat dari perkembangan pembagian kerja dalam tahap tertentu dari evolusi sosial. Pemisahan antara kerja-kerja fisik dan mental adalah sebuah fenomena yang terjadi berbarengan dengan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas. Hal itu menandai kemajuan besar dalam perkembangan umat manusia. Untuk pertama kalinya sekelompok kecil orang dalam masyarakat terbebaskan dari keharusan untuk bekerja untuk memperoleh apa-apa yang dibutuhkannya untuk bertahan hidup. Kepemilikan dari komoditas yang paling mahal harganya itu –yakni waktu luang – berarti bahwa sejumlah manusia dapat mengabdikan hidupnya untuk mempelajari bintang-bintang. Seperti yang diterangkan oleh Ludwig Feuerbach[7], filsuf materialis Jerman itu, ilmu pengetahuan teoritik dimulai dengan astrologi: “Hewan hanya dapat memahami berkas-berkas sinar yang langsung mempengaruhi kehidupannya; sementara manusia memberi tanggapan terhadap berkas-berkas sinar, yang sebenarnya tidak berbeda satu sama lain secara fisik, yang datang dari bintang-bintang. Hanya Manusia yang memiliki kegembiraan dan gairah yang murni intelektual dan tanpa kepentingan; hanya mata manusia yang dapat menangkap festival-festival teoritik. Mata yang menjelajah langit berbintang, yang menatap sinar dari mereka, yang tidak mengandung kegunaan maupun bahaya, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan segala yang di bumi dan apa yang dibutuhkan di sini – mata ini melihat dalam berkas-berkas sinar itu karakternya sendiri, asal-usulnya sendiri. Mata itu dari sifat dasarnya terikat pada langit. Dengan demikian manusia mengangkat dirinya terbang di atas bumi hanya dengan menggunakan matanya; dengan demikian teori dimulai dengan perenungan atas langit. Para filsuf yang pertama adalah para ahli perbintangan.”[8]

|

Sekalipun pada tahap awalnya ini teori masih tercampur aduk dengan agama, dan terikat oleh kebutuhan dan kepentingan dari kasta pendeta, perkembangan ini juga menandai kelahiran peradaban manusia. Hal ini telah disadari oleh Aristoteles, yang menulis: “Seni-seni teoritik ini, lebih jauh lagi, dikembangkan di tempat-tempat di mana manusia memiliki banyak waktu luang: matematika, contohnya, berasal dari Mesir, di mana satu kasta pendeta menikmati waktu luang yang dibutuhkan untuk mengembangkannya.”[9]

|

Pengetahuan adalah sumber kekuasaan. Di masyarakat manapun di mana seni, ilmu pengetahuan dan pemerintahan dimonopoli oleh segelintir orang, kaum minoritas itu akan terus menggunakan dan menyalahgunakan kekuasaan di tangannya itu demi kepentingannya sendiri. Meluapnya sungai Nil adalah persoalan hidup-mati bagi banyak orang, yang hasil panennya bergantung dari tingkat luapan sungai itu. Kemampuan para pendeta Mesir untuk meramalkan, berdasarkan pengamatan atas bintang-bintang, kapan sungai Nil akan meluap pasti telah mengangkat tinggi prestise dan kekuasaan yang mereka nikmati di dalam masyarakat. Seni menulis, penemuan yang paling dahsyat itu, adalah satu rahasia yang dijaga maha ketat oleh kasta pendeta. Seperti yang menjadi komentar Ilya Prigogine dan Isabelle Stenger: “Orang-orang Sumeria menemukan seni menulis; para pendeta Sumeria berspekulasi bahwa masa depan mungkin tertulis secara rahasia dalam peristiwa-peristiwa masa kini. Mereka bahkan menyusun secara sistematis kepercayaan mereka itu, mencampur elemen-elemen magis dan rasional.”[10]

|

Perkembangan lebih jauh dari pembagian kerja menimbulkan jurang yang tak terseberangi antara kaum elit intelektual dan mayoritas umat manusia, yang dikutuk untuk bekerja sepanjang hidup dengan kedua tangannya. Kaum intelektual, baik para pendeta Babilonia maupun para ahli fisika teori di jaman modern ini, hanya mengenal satu jenis pekerjaan, kerja mental. Setelah melalui puluhan milenia, superioritas kerja mental atas kerja fisik yang “kasar” menjadi semakin terukir dan akhirnya membangun semacam kekuatan prasangka. Bahasa, kata-kata dan pemikiran akhirnya memperoleh berkah kekuatan mistis. Kebudayaan menjadi monopoli dari kaum elit yang teristimewakan, yang dengan maha ketat menjaga rahasia mereka, dan menggunakan dan menyalahgunakan posisi mereka demi kepentingan mereka sendiri.

|

Di jaman kuno, kaum aristokrasi intelektual tidak berupaya untuk menyembunyikan kejijikan mereka akan kerja-kerja fisik. Kutipan berikut berasal dari teks Mesir yang dikenal sebagai The Satire on the Traders (Satire mengenai Pedagang), yang ditulis sekitar tahun 2000 SM dan diperkirakan berisi nasihat dari seorang ayah kepada anaknya, yang ia kirim ke Sekolah Menulis untuk berlatih menjadi seorang juru tulis: “Saya telah melihat bagaimana seorang pekerja kasar melakukan kerja kasar– kamu harus mengeraskan hati kamu dalam mempelajari tulisan. Dan saya telah mengamati bagaimana seseorang dapat menghindari pekerjaannya [sic!] – lihatlah, tidak sesuatupun yang dapat melebihi tulisan….Saya telah melihat bagaimana seorang pandai besi bekerja di depan mulut tungku apinya. Jari-jarinya menjadi mirip jari-jari buaya; bau tubuhnya melebihi bau seekor ikan busuk….Seorang kuli pembangun rumah mengusung lumpur…. Ia lebih kotor dari seorang gelandangan atau babi karena ia mengarungi lumpur. Bajunya kaku karena dilumuri tanah liat….Para pembuat anak panah, kasihan sekali nasibnya ketika ia harus berjalan mengarungi padang pasir [untuk mencari batu-batu tajam]. Lebih agung apa yang ia berikan pada keledainya daripada apa yang setelah itu dikerjakannya …Para pencuci pakaian mencuci di tepi sungai, bertetangga dengan buaya….Lihatlah, tidak ada pekerjaan yang tidak memiliki majikan – kecuali para juru tulis: ia adalah majikan….Lihatlah, tidak ada juru tulis yang kekurangan makan dari harta Istana Para Raja – kehidupan, kemakmuran, kesehatan! … Ayah dan ibunya memuja para dewa, ia dibebaskan dari keharusan mencari penghidupan. Lihatlah hal-hal ini – saya [telah menguraikannya] di hadapanmu dan anak cucumu.”[11]

|

Sikap yang sama berkembang pula di tengah orang-orang Yunani, seperti yang ditulis oleh Xenophon: “Apa yang disebut seni mekanik menanggung sebuah stigma sosial yang patut dicela di tengah kota-kota kita, karena seni semacam ini merusak tubuh mereka yang bekerja di dalamnya atau yang bekerja sebagai mandornya, karena kerja-kerja ini mengutuk mereka ke dalam hidup yang malas dan terkungkung dan, kadang-kadang menghabiskan seluruh hari di depan tungku-tungku api. Pembusukan fisik itu menghasilkan pula pembusukan jiwa. Lebih jauh lagi, para pekerja dalam bidang-bidang ini tidak akan pernah memiliki waktu untuk menjalankan kerja-kerja pemerintahan atau perkawanan. Sebagai akibatnya mereka dilihat sebagai kawan yang buruk atau warga negara yang buruk, dan di beberapa kota, terutama yang gemar berperang, adalah hal yang ilegal bagi seorang warga negara untuk terlibat dalam kerja-kerja mekanik.”[12]

|

Perceraian radikal antara kerja-kerja mental dan fisik memperdalam ilusi bahwa ide, pemikiran dan kata-kata memiliki keberadaan yang mandiri. Pandangan yang keliru ini terpancang dalam jantung semua agama dan filsafat idealisme.

|

Bukanlah dewa yang menciptakan manusia sesuai dengan citranya, tapi, sebaliknya, manusialah yang menciptakan dewa-dewa sesuai dengan citra dan keinginan mereka. Ludwig Feuerbach pernah berkata bahwa jika burung memiliki agama, Tuhan mereka akan bersayap. “Agama adalah sebuah mimpi, di mana pandangan dan emosi kita muncul di hadapan kita sebagai satu keberadaan yang mandiri, yang hadir di luar diri kita. Pemikiran religius tidaklah membedakan mana yang subjektif, mana yang objektif – pemikiran itu tidak memiliki keraguan; ia memiliki berkah, bukan dalam kemampuan memahami hal-hal lain di luar dirinya, tapi dalam melihat dirinya sesuai pandangannya sendiri sebagai satu keberadaan yang khusus dan istimewa.”[13] Hal ini juga dipahami oleh orang-orang semacam Xenophanes dari Colophon (565-c.470 SM), yang menulis “Homer dan Hesiod telah membebankan pada para dewa setiap tindakan yang memalukan dan tidak terhormat di kalangan manusia: pencurian dan perzinaan dan penipuan satu di antara yang lain… Orang-orang Etiopia membuat dewa-dewa mereka berkulit hitam dan berhidung pesek, dan orang-orang Thracia membuat dewa-dewa mereka bermata pucat dan berambut merah…. Jika hewan dapat melukis dan menciptakan benda-benda, kuda-kuda dan sapi-sapi juga akan membuat dewa-dewa mereka sesuai dengan citra mereka sendiri.”[14]

|

Mitos tentang Penciptaan yang ada di hampir setiap agama selalu mengambil kisahnya dari kehidupan sehari-hari, contohnya, citra seorang tukang keramik yang “menghidupkan” seonggok tanah liat tak berbentuk. Menurut pendapat Gordon Childe, kisah Penciptaan dalam buku pertama Kejadian mencerminkan fakta bahwa, di Mesopotamia daratan memang terpisah dari lautan “pada Awal Jaman,” tapi bukan karena intervensi ilahi: “Daratan di mana kota-kota Babilonia yang agung itu didirikan telah secara harfiah diciptakan; pendahulu prasejarah dari kota Erech yang tercantum di kitab-kitab suci didirikan di atas semacam platform dari jerami, yang disusun silang-menyilang di atas gundukan lumpur aluvial. Buku Kejadian kaum Yahudi telah mengakrabkan kita dengan tradisi yang jauh lebih tua dari kondisi alami orang-orang Sumeria – satu keadaan ‘chaos’ di mana batas antara air dan tanah kering masih terus maju-mundur. Satu insiden yang esensial dalam “Penciptaan” adalah pemisahan dari unsur-unsur ini. Walau demikian, bukanlah para dewa, melainkan orang-orang Sumeria sendirilah yang menciptakan daratan; mereka menggali saluran-saluran untuk mengairi ladang dan mengeringkan rawa; mereka membuat parit-parit dan gundukan-gundukan untuk melindungi manusia dan ternak dari air dan menghindari banjir; mereka membuka rawa-rawa ganggang dan menjelajah daratan di antara rawa-rawa itu. Kemampuan bertahan yang membuat ingatan akan perjuangan ini terus hidup dalam tradisi Sumeria adalah satu ukuran akan beratnya perjuangan yang dihadapi oleh orang-orang Sumeria kuno. Imbalan bagi mereka adalah satu jaminan akan pasokan bahan makanan bergizi, panen yang melimpah dari ladang yang telah mereka keringkan, dan ladang penggembalaan yang subur bagi ternak dan piaraan mereka.”[15]

|

Upaya pertama Manusia untuk menjelaskan dunia ini dan posisinya di dalamnya bercampur aduk dengan mitologi. Orang-orang Babilonia percaya bahwa dewa Marduk menciptakan Keteraturan dari Kekacauan, memisahkan daratan dari air, langit dari bumi. Mitos Penciptaan Alkitab ini diambil oleh orang Yahudi dari orang Babilonia, dan di kemudian hari diambil oleh orang Kristen. Sejarah pemikiran ilmiah yang sesungguhnya dimulai ketika manusia mulai menyingkirkan mitologi, dan mencoba untuk memperoleh satu pemahaman yang rasional atas alam, tanpa campur tangan dewa-dewa. Baru setelah itulah, perjuangan yang sesungguhnya untuk membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu material dan spiritual dapat dimulai.

|

Munculnya filsafat merepresentasikan sebuah revolusi sejati dalam pemikiran manusia. Seperti kebanyakan peradaban modern, kita berhutang budi pada orang-orang Yunani kuno untuk hal itu. Walaupun kemajuan-kemajuan besar dicapai pula oleh orang-orang India dan Tiongkok, dan juga kemudian orang-orang Arab, orang-orang Yunanilah yang mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan sampai tingkatan yang tertinggi sebelum Renaisans (Jaman Pencerahan). Sejarah pemikiran Yunani dalam masa empat ratus tahun, sejak pertengahan abad ke-7 SM, merupakan salah satu bab terpenting dalam kitab sejarah umat manusia.

|

MATERIALISME DAN IDEALISME

Seluruh sejarah filsafat dari jaman Yunani sampai hari ini tersusun atas pergulatan antara dua aliran pemikiran yang persis berseberangan – materialisme dan idealisme. Di sini kita mendapati satu contoh yang sempurna tentang bagaimana kedua istilah yang dipergunakan dalam filsafat ini berbeda makna secara hakiki dengan maknanya yang dipergunakan sehari-hari.

|

Ketika kita merujuk seseorang sebagai “idealis”, kita biasanya berpikir tentang seseorang yang memiliki ideal-ideal yang tinggi dan moralitas yang tak bercacat. Seorang materialis, sebaliknya, dipandang sebagai seorang yang tidak punya prinsip, seorang pengeruk uang, seorang individualis yang hanya memikirkan diri sendiri, dengan nafsu serakah untuk makanan dan benda-benda duniawi lain – pendeknya, karakter yang benar-benar tidak disukai.

|

Kedua pemaknaan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan materialisme dan idealisme di dunia filsafat. Dalam makna filosofis, idealisme memiliki akar dari pandangan bahwa dunia ini hanyalah cerminan dari ide, pikiran, roh atau, lebih tepatnya Ide, yang hadir sebelum segala dunia ini hadir. Benda-benda material kasar yang kita kenal melalui indera kita, menurut aliran idealisme, hanyalah salinan yang kurang sempurna dari Ide yang sempurna itu. Para pendukung filsafat ini yang paling konsisten sepanjang sejarah kuno adalah Plato. Walau demikian, ia bukan pencipta idealisme, yang telah lahir sebelum jamannya.

|

Para pengikut Pitagoras percaya bahwa hakikat dari segala hal adalah Angka (satu pandangan yang agaknya dimiliki pula oleh beberapa ahli matematika modern). Para Pythagorean ini memandang rendah dunia material secara umum dan tubuh manusia secara khusus, yang mereka pandang sebagai penjara di mana jiwa terperangkap. Pandangan ini memiliki kemiripan yang mengejutkan dengan pandangan-pandangan para biarawan abad pertengahan. Benar, mungkin saja bahwa Gereja mengambil banyak ide mereka dari kaum Pythagorean, Platonis dan Neo-Platonis. Hal ini tidaklah mengejutkan. Semua agama niscaya berakar dari pandangan idealis terhadap dunia. Perbedaannya adalah bahwa agama mempengaruhi emosi, dan mengaku menyediakan satu pemahaman yang mistis dan intuitif terhadap dunia (“Penglihatan”), sementara kebanyakan filsuf idealis berupaya menyajikan satu argumen yang logis untuk teori-teori mereka.

|

Pada dasarnya, bagaimanapun juga, akar dari segala bentuk idealisme adalah religius dan mistis. Kejijikan terhadap “dunia material kasar” dan pengangkatan “Ide” ke posisi yang tinggi mengalir langsung dari fenomena yang telah kita lihat dalam hubungannya dengan agama. Bukanlah sebuah kebetulan jika idealisme Plato berkembang di Athena ketika sistem perbudakan sedang berada dalam puncak kejayaannya. Kerja-kerja fisik, pada saat itu, dilihat secara harfiah sebagai sebuah penanda perbudakan. Satu-satunya kerja yang dapat dihargai adalah kerja-kerja intelektual. Secara hakiki, filsafat idealisme adalah satu produk dari pembedaan yang ekstrem antara kerja-kerja fisik dan mental yang telah hadir dari sejak menyingsingnya fajar sejarah sampai hari ini.

|

Sejarah filsafat Barat, walau demikian, tidak dimulai dengan idealisme melainkan dengan materialisme. Filsafat ini menunjukkan kepada kita persis kebalikan dari idealisme: bahwa dunia material, yang kita kenal dan jelajahi melalui ilmu sains, nyata adanya; bahwa satu-satunya dunia yang nyata adalah dunia material; bahwa pikiran, ide, dan perasaan adalah hasil dari materi yang terorganisir dalam cara tertentu (sistem syaraf dan otak); bahwa pikiran tidak dapat hadir dari dirinya sendiri, tapi hanya dapat timbul dari dunia objektif yang menyatakan dirinya kepada kita melalui alat-alat indera kita.

|

Para filsuf Yunani yang paling awal dikenal sebagai “hylozois” (dari bahasa Yunani, yang berarti “mereka yang percaya bahwa materi itu hidup”). Di sini kita mendapati sederetan panjang pahlawan-pahlawan yang memelopori perkembangan pemikiran. Orang-orang Yunani menemukan bahwa dunia itu bulat, jauh sebelum Columbus. Mereka menerangkan bahwa manusia berevolusi dari ikan jauh sebelum Darwin. Mereka membuat penemuan-penemuan luar biasa dalam bidang matematika, yang tak diubah banyak selama satu setengah milenia. Mereka menemukan mekanika dan bahkan membuat satu mesin uap. Hal baru yang mengejutkan dalam cara memandang dunia ini adalah bahwa cara itu tidaklah religius. Berseberangan mutlak dengan orang-orang Mesir dan Babilonia, dari mana mereka banyak belajar, orang-orang Yunani tidaklah menyerahkan penjelasan atas gejala alam kepada para dewa dan dewi. Untuk pertama kalinya, manusia mencoba menerangkan bagaimana alam bekerja murni dengan mempelajari alam itu sendiri. Ini adalah satu dari titik balik terbesar dalam seluruh sejarah perkembangan pemikiran manusia. Sains yang sejati bermula di sini.

|

Aristoteles, yang terbesar dari seluruh filsuf jaman kuno, dapat dianggap seorang materialis, sekalipun ia tidaklah sekonsisten para hylozois pertama. Ia membuat serangkaian penemuan ilmiah yang merupakan basis bagi pencapaian-pencapaian besar sepanjang masa-masa Alexander.

|

Abad pertengahan yang menyusul runtuhnya Jaman Kuno adalah satu padang tandus di mana pemikiran ilmiah mandek selama berabad-abad. Bukan satu kebetulan bahwa masa ini didominasi oleh Gereja. Idealisme adalah satu-satunya filsafat yang diperbolehkan, apakah itu dalam bentuk karikatur Platonis atau bahkan, lebih buruk lagi, penyimpangan atas filsafat Aristoteles.

|

Sains muncul kembali dengan jaya dalam masa Jaman Pencerahan atau Renaisans. Di sana ia dipaksa untuk melancarkan perang yang ganas terhadap pengaruh agama (bukan hanya Katolik, melainkan juga Protestan). Banyak martir yang harus membayar harga kebebasan ilmiah dengan nyawanya sendiri. Giordano Bruno[16] dibakar hidup-hidup di tiang bakaran. Galileo dua kali diadili oleh Pengadilan Inkuisisi, dan dipaksa dengan siksaan untuk menyangkal pandangan-pandangannya.

|

Kecenderungan filosofis yang dominan dalam Jaman Pencerahan adalah materialisme. Di Inggris, kecenderungan ini mengambil bentuk empirisme, aliran pemikiran yang menyatakan bahwa semua pengetahuan merupakan turunan dari pengamatan indrawi. Pelopor dari aliran ini adalah Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran materialis berkisar dari Inggris ke Prancis di mana ia mendapatkan konten revolusioner. Di tangan Diderot, Rousseau, Holbach, dan Helvetius, filsafat menjadi satu alat untuk mengkritik seluruh tatanan masyarakat yang ada. Para pemikir besar ini menyiapkan jalan untuk penggulingan revolusioner atas monarki feodal di tahun 1789-93.

|

Pandangan filosofis yang baru ini merangsang perkembangan ilmu pengetahuan, mendorong dilakukannya percobaan-percobaan dan pengamatan-pengamatan. Di abad ke-18 terjadilah satu kemajuan yang luar biasa dalam ilmu sains, terutama di bidang mekanika. Tapi fakta ini memiliki sisi negatif, seiring dengan sisi positifnya. Materialisme lama di abad ke-18 bersifat sempit dan kaku, suatu cerminan dari perkembangan ilmu pengetahuan yang masih terbatas. Newton mengekspresikan keterbatasan dari empirisme dalam kalimatnya yang terkenal, “Saya tidak membuat hipotesis apapun.” Pandangan mekanis yang sepihak ini akhirnya terbukti fatal bagi materialisme lama. Secara paradoks, perkembangan terbesar dalam filsafat setelah 1700 justru dibuat oleh para filsuf idealis.

|

Di bawah pengaruh revolusi Prancis, filsuf idealis Jerman Immanuel Kant (1724-1804) meletakkan semua filsafat yang hadir sebelum jamannya ke bawah hujan badai kritik. Kant membuat penemuan-penemuan penting bukan hanya dalam filsafat dan logika tapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan. Hipotesisnya tentang asal-usul alam semesta yang diperkirakannya berasal dari kabut gas nebula (yang kemudian diberi basis matematika oleh Laplace) sekarang secara umum diterima sebagai kebenaran. Di bidang filsafat, adikarya Kant The Critique of Pure Reason adalah karya pertama yang menganalisa bentuk-bentuk logika yang tak pernah berubah semenjak dirumuskan pertama kali oleh Aristoteles. Kant menunjukkan kontradiksi yang secara implisit terdapat dalam kebanyakan proposisi mendasar filsafat. Walau demikian, ia gagal menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi ini (“Antinomies”), dan akhirnya menarik kesimpulan bahwa mustahil kita mendapatkan kebenaran yang sejati tentang alam semesta. Walau kita dapat mengetahui apa yang nampak, kita tidak akan pernah tahu “benda dalam dirinya sendiri” (things in themselves).

|

Ide ini bukanlah sesuatu yang baru. Ide ini adalah tema yang telah berulang kali muncul dalam sejarah filsafat, dan merupakan apa yang dikenal dengan istilah idealisme subjektif. Ini dikemukakan sebelum Kant oleh seorang uskup dan filsuf dari Irlandia pada abad ke-18, George Berkeley, dan digemakan juga oleh seorang empiris klasik Inggris, David Hume. Argumen dasarnya dapat diringkaskan sebagai berikut: “Saya menginterpretasi dunia melalui indera saya. Dengan demikian, semua yang saya tahu benar-benar ada adalah citra yang ditangkap oleh indera saya. Dapatkah saya, contohnya, bersumpah bahwa sebuah apel benar-benar ada? Tidak. Apa yang saya dapat katakan adalah saya melihatnya, saya merasakannya, saya menciumnya, saya mengecapnya. Dengan demikian, saya tidak dapat benar-benar menyatakan bahwa dunia material benar-benar ada.” Logika dari idealisme subjektif adalah bahwa, jika saya menutup mata saya, dunia ini akan menghilang. Pada ujungnya, filsafat ini akan membawa kita pada solipsisme (dari bahasa Latin “solo ipsus” – “saya sendiri”), ide bahwa hanya saya sendiri yang ada, yang lain tidak ada.

|

Ide-ide ini mungkin tidak masuk nalar bagi kita, tapi anehnya mereka masih tetap ada. Melalui satu atau lain cara, prasangka idealisme subjektif telah merasuki bukan hanya filsafat tapi juga sains pada sebagian besar abad ke-20. Kita akan melihat kecenderungan ini lebih lanjut di belakang.

|

Terobosan terbesar datang dalam dekade pertama abad ke-19 melalui George Wilhelm Hegel (1770-1831). Hegel adalah seorang filsuf idealis Jerman, seorang yang kejeniusannya menjulang setinggi langit, yang telah meringkas dalam tulisan-tulisannya seluruh kesejarahan filsafat.

|

Hegel menunjukkan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi “Antinomi” Kant adalah dengan menerima bahwa kontradiksi itu benar-benar ada, bukan hanya dalam pikiran, tapi juga dalam dunia nyata. Sebagai seorang idealis objektif, Hegel tidak memedulikan argumen kaum idealis subjektif bahwa pikiran manusia tidak mungkin memahami dunia nyata. Bentuk-bentuk pikiran harus mencerminkan dunia objektif semirip mungkin. Proses pengetahuan mengandung satu penetrasi yang semakin lama semakin dalam menerobos realitas, maju dari yang abstrak ke yang konkret, dari yang diketahui ke yang tidak diketahui, dari yang khusus menuju yang umum.

|

Metode berpikir yang dialektik ini telah memainkan satu peran besar di Jaman Kuno, khususnya dalam ujar-ujar yang naif tapi brilian dari Heraclitus (c. 500 SM), tapi juga dalam pemikiran Aristoteles dan yang lain-lain. Metode ini ditinggalkan di Abad Pertengahan, ketika Gereja mengubah logika formal Aristoteles menjadi dogma yang kaku dan mati. Metode ini tidak muncul-muncul lagi sampai Kant mengembalikannya ke tempat yang terhormat. Walau demikian, dalam filsafat Kant dialektika tidak menerima perkembangan yang cukup. Tugas untuk membawa ilmu berpikir dialektika ke tingkat perkembangannya yang tertinggi jatuh ke tangan Hegel.

|

Kehebatan Hegel ditunjukkan oleh fakta bahwa hanya dia sendiri yang siap menantang filsafat mekanisme yang dominan pada masa itu. Filsafat dialektika Hegel melihat segala sesuatunya sebagai proses, bukan hal-hal yang saling terisolasi satu sama lain. Filsafat ini melihat segala hal dalam proses kehidupannya, bukan dalam kematiannya, dalam kesalingterhubungannya, bukan dalam kesalingterpisahannya. Ini adalah cara memandang dunia yang benar-benar modern dan ilmiah. Sesungguhnya, dalam banyak aspek, Hegel maju jauh lebih dahulu dari jamannya. Walau demikian, sekalipun ia memiliki banyak pandangan gemilang, filsafat Hegel pada akhirnya tidaklah cukup memuaskan. Kekurangannya yang utama adalah sudut pandangnya yang idealis, yang menghalanginya dalam menerapkan metode dialektika pada dunia nyata dengan cara yang ilmiah dan konsisten. Bukannya mendapat dunia material, kita malah mendapat dunia Ide Absolut, di mana benda-benda nyata, proses dan manusia digantikan oleh bayangan-bayangan tak berbentuk. Mengutip Frederick Engels, dialektika Hegelian adalah keguguran terbesar sepanjang sejarah filsafat. Ide-ide yang tepat di sini terlihat berdiri di atas kepala mereka sendiri. Untuk menempatkan dialektika di atas fondasi yang kukuh, sangatlah penting untuk memutarbalikkan filsafat Hegel, untuk mengubah dialektika idealis menjadi materialisme dialektik. Yang ini adalah pencapaian besar dari Karl Marx dan Frederick Engels. Studi kita dimulai dengan satu ulasan ringkas tentang hukum-hukum dasar materialisme dialektik yang mereka kemukakan.

|

CATATAN KAKI

[1] Perang Saudara di Yugoslavia (1991-1999) adalah perang yang berkecamuk di Yugoslavia setelah runtuhnya Uni Soviet dan blok Timur. Pada 1991 rejim komunis Yugoslavia runtuh dan langsung disusul dengan perang sipil antar etnis dan kebangsaan yang sebelumnya tersatukan dalam Yugoslavia.Lebih dari 130 ribu orang, kebanyakan rakyat sipil, menjadi korban dalam perang sipil ini yang menyaksikan kekerasan antar etnis dan agama yang sangat kejam. Yugoslavia hari ini pecah menjadi 8 negara. Inilah harga yang harus dibayar oleh rakyat Yugoslavia dalam menyambut datangnya kapitalisme.

[2] Genosida Rwanda (1994) adalah kekerasan etnis antar suku Hutu dan Tutsi yang mengakibatkan lebih 500 ribu rakyat Rwanda terbunuh dan jutaan lainnya mengungsi.

[3] Gordon Childe, What Happened in History, hal. 19.

[4] Gordon Childe, What Happened in History, hal. 19-20.

[5] Sir James Frazer, The Golden Bough, hal. 10.

[6]Sir James Frazer, The Golden Bough, hal. 105.

[7] Ludwid Feuerbach (1804-1872) adalah filsuf Jerman terkemuka. Dia adalah salah satu filsuf yang memiliki andil mengembangkan materialisme dialektik. Marx dan Engels menyempurnakan materialisme dialektik dengan mengkritik Feuerbach yang menurut mereka setengah-setengah dalam mengembangkan filsafat ini. Menurut Engels, “bagian bawah tubuh Feuerbach adalah materialis, bagian atasnya idealis”. Feuerbach tidak mampu membersihkan idealisme dari dialektika.

[8] Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, hal. 5.

[9] Aristotle, Metaphysics, hal. 53.

[10] I. Prigogine dan I. Stengers, Order Out of Chaos, Man’s New Dialogue with Nature, hal. 4.

[11] Dikutip di Margaret Donaldson, Children’s Minds, hal. 84.

[12] Oeconomicus, iv, 203, dikutip di B. Farrington, Greek Science, hal. 28-9.

[13]Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, hal.204-5.

[14] Dikutip di A. R. Burn, Pelican History of Greece, hal. 132.

[15] G. Childe, Man Makes Himself, hal. 107-8. [16] Giodarno Bruno (1548-1600)adalah seorang pendeta, filsuf, ahli matematika, ahli astronomi dari Italia. Karena pemikiran-pemikiran ilmiahnya yang tidak sejalan dengan doktrin gereja, dia dituduh klenik dan dibakar di tiang hidup-hidup.

Lembar Sastra dan Forum Diskusi Sulaiman Djaya