Arsip Kategori: Roman

Solilokui seorang Penulis

Setiap orang, yah engkau dan aku, memiliki kesunyian masing-masing, yang kita tak sanggup saling menerka kesunyian kita masing-masing itu, karena ia merupakan sebuah rahasia personal kita yang tak terselami oleh orang lain selain oleh kita sendiri yang mengalami dan merasakannya. Yang hanya dapat diterka jika dituliskan menjadi sajak dan nada-nada. Harapan dan keinginan kita seperti fajar dan mekar kembang: ada karena kecintaan kita pada hidup yang kita jalani.

|

Aku percaya setiap orang memiliki hasrat untuk mencari atau pun berusaha untuk menemukan apa saja yang dapat membuatnya merasa utuh dan berarti, entah apa pun itu, sesuatu yang mungkin membuatnya merasa lengkap. Artinya, yang tengah ingin kubicarakan ini adalah hasrat setiap orang untuk menjadi apa pun yang dapat membuatnya merasakan hidup yang sesungguhnya dan menjadi seseorang. Menjadi seseorang yang mampu mendapatkan kebahagiaannya sendiri dengan segala apa yang dilakukan dan dijalaninya.

|

Tetapi acapkali kebahagiaan adalah kesadaran dan keintiman kita pada segala yang hadir, ketika kita mensyukuri dan mengakrabinya dengan ikhlas, bukan mengabaikannya, dan lalu mengangankan sejumlah utopia atau harapan-harapan palsu yang hanya akan membuat kita lari dari kenyataan hidup itu sendiri.

|

Soalnya adalah apakah aku sendiri telah mendapatkan dan menemukan apa yang kubicarakan itu? Hingga aku merasa berhak untuk berbicara tentangnya, yang memang barangkali mirip khutbah solipsistik. Sejujurnya aku sendiri tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku selalu mencoba dan berusaha untuk mendapatkan dan menemukannya.

|

Aku, seorang lelaki yang bernama Ahmad Hasan, seorang lelaki yang tengah dan terus mencoba untuk menjadi penulis di saat tak memiliki kesibukan lain. Meskipun demikian, ada satu hal yang setidak-tidaknya dapat meredakan kegelisahanku untuk waktu-waktu sementara, seperti ketika aku memandangi pohon-pohon yang kutanam terlihat segar dan rindang.

|

Itu semua karena ketika aku berpikir dan merenunginya, ada kesadaran yang hadir dalam diriku bahwa kesegaran dan keindahan pohon-pohon yang telah kutanam itu haruslah kuumpamakan sebagai keriangan dan kegembiraan hidup itu sendiri dalam kondisi apa pun, apa pun yang kini tengah kujalani dan kualami.

|

Mungkin saja itu semua pun lebih merupakan upaya-upayaku untuk menciptakan penghiburan dan harapan dalam kesepian dan kesunyianku sebagai penulis, yang acapkali dilanda kebuntuan epistemologis dan mengalami ketersendatan sintagmatik yang kadangkala membuatku harus mengurungkan niatku untuk menulis puisi atau cerita, meski awalnya aku merasa telah memiliki ide, tamsil, dan gagasan yang akan memberiku sebuah puisi indah yang kuinginkan, sebuah puisi romantis, sebagaimana alunan gesekan cello yang dimainkan seorang cellist perempuan yang memainkan komposisi sensual dan membuatku memiliki imajinasi untuk mengembara ke dalam dunia angan-angan, yang berkelana sebagaimana nada-nada komposisi musik yang kudengarkan dan lalu kurenungi.

|

Dan jika itu semua benar adanya, aku takkan mengingkarinya, karena sebenarnya mestilah kuakui, keseharianku di pedesaan ini merupakan pelarian diri, meskipun di sisi lain haruslah kuakui juga, keseharianku di pedesaan ini telah berjasa bagi kehidupan bathinku karena ketenangan dan kesunyiannya yang telah memberikan banyak puisi dan tamsil keindahan. Begitu juga malam-malamnya yang telah memberiku keheningan dan kedamaian di saat-saat aku menulis atau pun membaca dalam kesepian dan kesendirian.

|

Sementara itu, di saat aku menulis catatan harianku ini, hari tampak mendung dan terasa lembab karena cuaca basah selepas hujan menjelang asar tadi, tapi justru hal itulah yang membuatku merasa nyaman, merasakan ketenangan setelah di waktu malam sebelumnya kegelisahan dan kegundahan menguasaiku selama berjam-jam, hingga membuatku larut dalam diam dan lamunan, sementara rasa bosan dan kegundahan yang samar hampir menenggelamkan pikiranku.

|

Haruslah kuakui, bulan Juli kali ini terasa berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya. Dalam perasaanku bulan Juli kali ini lebih mirip bulan Januari dan Februari, November dan Desember, ketika malam dan senjanya yang sendu dan petangnya yang bagaikan sang perawan yang dirundung rindu dan dendam, terasa hening dan senyap, kesenyapan dan keheningan yang dapat saja memabukkan seseorang yang putus-asa.

|

Barangkali perlu juga kau ketahui, itu pun jika kau ikhlas membaca catatan harianku ini, sebelum hatiku terbangun dan terjaga di senja ini setelah terendam dalam lamunan karena rasa bosan yang menghunjam kalbu, selama berjam-jam tadi malam aku hanya terdiam di kursiku, seperti yang telah kukatakan dan harus kukatakan lagi, agar kau ingat dan menandainya dengan sepenuh hati, sembari mendengarkan alunan-alunan violin dan denting-denting piano dari beberapa komposisi yang kusuka, dari Debussy hingga Chopin, dari Mozart hingga Beethoven, dari Haydn hingga Paganini, dari Shostakovich hingga Vivaldi.

|

Hal itu kulakukan setiap kali aku ingin mendapatkan tamsil dan suasana untuk puisi yang akan kutulis di waktu-waktu malam atau pun di pagihari dan sorehari bila aku terbangun dalam keadaan segar, dan pikiranku merasa tercerahkan karena cuaca fajar dan kedamaian senja yang seperti perempuan nan mempesona.

|

Demikianlah aku menjelmakan kesunyianku sendiri dalam komposisi kata-kata dan paragraf atau dalam parafrase dan nada-nada musik yang kususun dari kata-kata, menyalinnya dan meminjamnya untuk sementara, sebelum aku menemukan suasana-suasana yang lainnya, sebelum aku menemukan alibi-alibi, kebohongan-kebohongan yang berbeda, yang mungkin juga sama saja, melakukan pengulangan-pengulangan, sebab betapa rentan dan rapuh seorang lelaki yang kadang merasa diri sabar dan tegar menjalani kesepian dan kesendirian.

|

Yah, aku tengah mengenakan topeng ketika aku terus menulis, terus-menerus mengenakan topeng demi memenuhi apa yang tak bisa kudapatkan dalam kehidupan yang sebenarnya, dalam keseharian yang biasa seperti yang dijalani dan dilakukan kebanyakan orang yang terbebas dari pretensi dan tendensi estetis dan kesombongan artistik. Dengan ini aku hanya ingin mengatakan bahwa hasrat pada keindahan adalah upaya untuk mengobati diri sendiri. Sejumlah ikhtiar untuk mengatasi atau pun mengalihkan kesepianku sendiri menjadi seni.

|

(Sulaiman Djaya 2007)

Kappa Bagian XV-XVII

oleh Ryunosuke Akutagawa

SEKITAR sepekan kemudian, aku mendengar cerita aneh dari Dokter Chack bahwa rumah Tock ada hantunya. Ketika itu istrinya telah pindah entah ke mana, dan rumah itu dijadikan studio foto. Masih menurut Chack, dalam setiap potret yang diambil di studio itu selalu ada bayangan Tock di belakangnya. Tapi karena Dokter Chack materialis, ia tidak percaya dengan kehidupan setelah mati. Bahkan ketika ia menceritakan hal ini kepadaku, ia juga menambahkan, “Rupanya arwah tampak eksis secara material,” ungkapnya sambil tersenyum meledek.

Aku sendiri pun sama saja, tidak percaya dengan hantu. Hanya karena merasa akrab dengan Penyair Tock, segera saja aku buru-buru ke toko buku membeli berbagai koran dan majalah yang memuat artikel dan potret-potret hantu Tock. Benar saja, setelah melihat foto-foto itu samar-samar terlihat sosok seekor kappa yang mirip Tock di belakang baik kappa jantan, betina, tua, maupun muda. Tapi yang lebih mengejutkanku adalah artikel yang ada didalamnya, khususnya laporan Asosiasi Ilmu Kebatinan. Akan kuterjemahkan garis besarnya secara harafiah seperti di bawah ini. Catatan-catatan di dalam kurung adalah tambahan dariku….

LAPORAN TENTANG ARWAH PENYAIR TOCK
Jurnal Asosiasi Ilmu Kebatinan No. 8274

ASOSIASI Ilmu Kebatinan telah mengadakan pertemuan darurat untuk mengadakan penyelidikan di daerah…no. 251, yang sebelumnya adalah tempat tinggal Penyair Tock, yang telah bunuh diri beberapa waktu lalu. Saat ini rumah ini menjadi studio foto Tuan….Anggota yang hadir seperti tersebut di bawah ini. (Nama-nama dihilangkan.)

Kami, 17 anggota Asosiasi Ilmu Kebatinan yang diketuai Tuan Peck, dengan didampingi medium kami yang sangat terpercaya, Nyonya Hop, telah berkumpul di salah satu kamar alamat tersebut di atas pada 17 September pukul 10.30 pagi.

Begitu Nyonya Hop memasuki studio, ia langsung merasakan hawa mistis, sekujur tubuhnya kejang-kejang dan muntah beberapa kali. Menurutnya ini disebabkan Tuan Tock perokok berat sehingga udara spiritual di situ pun bercampur nikotin.

Kami para anggota Asosiasi dan Nyonya Hop duduk diam mengitari sebuah meja bundar. Setelah berlalu 3 menit 25 detik, Nyonya Hop tak sadarkan diri dan kesurupan roh Tock. Lalu kami berkomunikasi dengan arwah Tock yang merasuki Nyonya Hop itu sesuai dengan urutan usia, seperti tercantum di bawah ini.

Tanya: Kenapa roh kamu muncul?
Jawab: Karena ingin tahu reputasi saya setelah meninggal.
Tanya: Kamu… apakah para arwah masih juga memikirkan reputasi?
Jawab: Ya, setidaknya aku. Tapi aku bertemu dengan seorang penyair Jepang yang telah menjadi arwah sepertiku; ia memandang rendah reputasi setelah meninggal.
Tanya: Apa kau tahu nama penyair itu?
Jawab: Sayang aku lupa. Aku hanya ingat sajak kegemarannya yang terdiri atas 17 suku kata.
Tanya: Bagaimana bunyi sajak itu?
Jawab: “Furu ike ya, Kawazu tobi komu, Mizu no oto” [1]
Tanya: Apakah menurutmu sajak itu bagus?
Jawab: Menurutku, tidak buruk. Hanya saja sajak itu tentu akan menjadi lebih hebat jika ia mengganti kata “katak” dengan “kappa.”
Tanya: Apa alasannya?
Jawab: Karena kita, kappa, sangat senang kalau menjumpai hal-hal yang berhubungan dengan kappa dalam berbagai macam seni.

Ketika itu Ketua Peck menekankan bahwa yang sedang mereka lakukan adalah pertemuan luar biasa Asosiasi Ilmu Kebatinan, dan bukan pertemuan para kritikus seni.

Tanya: Bagaimana dengan kehidupan para roh?
Jawab: Sama saja dengan kehidupan kalian.
Tanya: Apakah kamu menyesal telah bunuh diri?
Jawab: Tidak, saya tidak menyesal. Jika aku bosan dengan kehidupan dunia arwah, aku dapat mengambil pistol dan bunuh diri lagi.
Tanya: Apakah mudah bagimu kembali ke dunia ini?

Arwah Tock menjawab pertanyaan ini dengan pertanyaan lain. Bagi mereka yang telah mengenal Tock sudah tak asing dengan caranya ini.

Jawab: Apakah bagimu gampang melakukan bunuh diri?
Tanya: Apakah kehidupan arwah itu abadi?
Jawab: Banyak pendapat berbeda-beda mengenai kehidupan kami, sehingga sangat sulit mengatakan pendapat mana yang benar. Jangan lupa, di antara kami ada yang beragama Kristen, Buddha, Islam, dan sebagainya.
Tanya: Kamu sendiri beragama apa?
Jawab: Saya orang skeptis.
Tanya: Tapi setidaknya kamu tidak ragu dengan keberadaan arwah, bukan?
Jawab: Tidak seyakin Anda sekalian.
Tanya: Bagaimana dengan sebagian teman-temanmu?
Jawab: Kawan-kawanku dari berbagai penjuru, dari zaman dulu hingga sekarang. Paling tidak ada 300, di antara mereka yang terkenal adalah Kleist [2], Mainlander [3], Weininger [4]….
Tanya: Apakah semua kawanmu mati bunuh diri?
Jawab: Tidak semuanya. Misalnya saja Montaigne, yang membela perkara bunuh diri, adalah salah satu teman yang kukagumi. Hanya saja aku tak pernah bergaul dengan orang semacam Schopenhouer, seorang pesimis yang tidak bunuh diri.
Tanya: Schopenhouer masih ada?
Jawab: Ia mendirikan mazhab pesimis spiritual, sekarang masih terus memperdebatkan bisa-tidaknya hidup kembali ke dunia. Tapi setelah mengetahui bahwa wabah kolera disebabkan oleh bakteri, sepertinya ia merasa lega.

Kami, para anggota bertanya kepadanya tentang kabar arwah Napoleon, Kong Hu Chu, Dostojevsky, Darwin, Cleopatra, Buddha, Demosthenes, Dante, Senno Rikyu, dan lainnya. Tapi sayangnya Tock tidak menjawab dengan memuaskan. Sebaliknya ia menanyakan tentang gosip dirinya.

Tanya: Bagaimana reputasi saya setelah mati?
Jawab: Seorang kritikus menyebut kamu sebagai salah seorang penyair yang tak begitu penting.
Tanya: Ia pasti salah seekor kritikus yang kesal karena saya tidak mengirim buku sajak kepadanya. Apakah buku kumpulan sajak-sajakku yang lengkap sudah terbit?
Jawab: Sudah, sudah diterbitkan, namun tampaknya kurang laku.
Tanya: 300 tahun lagi, setelah hak ciptanya berakhir pasti semua akan berbondong-bondong membelinya. Bagaimana keadaan teman betina yang dulu kumpul kebo denganku?
Jawab: Ia telah kawin dengan Tuan Lack, pemilik toko buku.
Tanya: Kasihan sekali, ia pasti tak tahu kalau mata Lack palsu. Bagaimana dengan anak saya?
Jawab: Aku dengar ia tinggal di Panti Asuhan Nasional.

Setelah terdiam sejenak, Tock mengajukan pertanyaan lagi.

Tanya: Bagaimana dengan rumah saya?
Jawab: Dijadikan studio foto.
Tanya: Lalu, meja tulis saya?
Jawab: Tak ada yang tahu nasibnya.
Tanya: Saya punya segepok surat-surat penting di dalam salah satu laci meja….Tapi untung saja kalian terlalu sibuk untuk mengurusnya. Baiklah, saya harus pergi ke dunia arwah sekarang. Sebentar lagi gelap akan menjelang. Kita harus berpisah. Selamat tinggal, Kawan-kawan. Selamat berpisah, Kawan-kawan yang baik.

Bersamaan dengan kata-kata terakhir itu tiba-tiba Nyonya Hop sadarkan diri. Kami 17 anggota perkumpulan ini bersumpah di hadapan Dewa kami akan kebenaran tanya-jawab di atas.

(Catatan tambahan: Kami membayar kepada Nyonya Hop, sang medium terpercaya kami itu, sesuai dengan imbalan harian yang diterimanya manakala menjadi aktris.)

Bagian XVI

SETELAH membaca artikel tentang arwah Tock seperti di atas, aku jadi gundah dan tak betah lagi tinggal di negeri kappa. Kuputuskan untuk kembali ke negeri manusia. Tapi aku tak dapat menemukan lubang tempat aku jatuh terperosok ke dunia kappa ini, meski sudah berjalan mencarinya ke segenap penjuru.

Suatu ketika, Bag, kappa nelayan, mengatakan kepadaku bahwa di suatu tempat di luar kota ada seekor kappa tua yang hidup tenang dengan membaca buku dan meniup seruling.

Aku segera pergi ke tempatnya untuk menanyakan kalau-kalau ia tahu jalan keluar dari negeri ini. Tapi aku tidak menemukan kappa tua itu di rumahnya yang sangat kecil. Di situ hanya kutemukan kappa bocah dengan piringan kepala yang masih lembek. Agaknya usianya baru sekitar 12 atau 13 tahun. Dia sedang meniup seruling dengan tenang. Tentu saja aku mengira sudah salah rumah. Tapi setelah Coba menanyakan namanya, ternyata ia adalah kappa yang diceritakan oleh Bag.

“Tapi, Anda seperti masih bocah….”

“Sepertinya Anda belum tahu, ya? Entah nasib apa yang membawaku terlahir dengan rambut sudah memutih.

“Sejak itu makin lama aku menjadi makin muda, dan sekarang jadi anak kecil seperti ini. Tapi kalau Anda tanyakan usiaku, mungkin sekarang sekitar 115 atau 116 tahun, dengan anggapan bahwa aku lahir pada usia 60 tahun.”

Aku mengamati sekeliling kamarnya. Menurut intuisiku, ada suatu kesucian dan kebahagiaan yang menyelinap di antara meja dan kursi sederhana di kamar itu.

“Sepertinya Anda lebih bahagia dibandingkan kappa lain?”

“Ya, mungkin saja. Aku telah tua ketika masih muda dan muda pada usia tua, sehingga aku tidak serakah seperti kappa tua lainnya dan tidak tenggelam dalam nafsu seperti pemuda. Kalaupun tidak bahagia selama hidupku, setidaknya yang pasti aku merasa tenteram.”

“Pantas saja. Dengan begitu tentu Anda akan merasa lebih tenteram.”

“Bukan begitu. Kalau hanya itu tentu tidak akan dapat hidup tenteram. Saya memiliki tubuh yang sehat dan punya cukup uang. Mungkin yang paling membahagiakan adalah aku telah tua ketika lahir.”

Beberapa lama kami berbicara tentang Tock yang mati bunuh diri dan tentang Gael yang memeriksakan diri ke dokter setiap hari. Tapi tampaknya kappa tua itu tidak tertarik dengan pembicaraan ini.

“Jadi Anda tidak punya keinginan khusus untuk hidup seperti kappa lain?”

Sambil menatap wajahku kappa tua itu menjawab dengan tenang.

“Ya, seperti kappa lainnya aku dilahirkan setelah menjawab pertanyaan ayahku, apakah aku mau dilahirkan atau tidak?”

“Tapi aku terjatuh ke negeri ini hanya karena suatu kecelakaan tiba-tiba. Sudikah Anda memberitahuku jalan keluar dari negeri ini?”

“Hanya ada satu jalan keluar.”

“Yang mana?”

“Jalan yang membawamu ke negeri ini.”

Saat mendengar jawaban itu entah mengapa bulu di sekujur tubuhku meremang.

“Sayang sekali aku tak dapat menemukannya.”

Kappa tua itu menatap wajahku dengan mata segar berkilau. Akhirnya ia bangkit berdiri, berjalan ke sudut ruangan, lalu menarik seutas tali yang menjulur dari langit-langit. Terbukalah jendela langit yang tak kuduga sebelumnya. Melalui jendela langit yang bundar itu aku dapat melihat cabang-cabang pohon cemara dan hinoki dan di kejauhan tampak langit biru membentang luas. Tampak Juga puncak Gunung Yarigadake yang menjulang bagai anakpanah. Aku melompat kegirangan seperti anak-anak yang melihat kapal terbang di angkasa.

“Sekarang Anda bisa keluar melalui jendela itu,” kata kappa tua itu, sambil menunjuk tali yang tadi. Tali itu kini tampak seperti tali tangga.

“Kalau begitu aku akan keluar lewat situ.”

“Tunggu dulu. Aku hanya ingin mengatakan, jangan sampai kau menyesal meninggalkan negeri ini.”

“Tidak, tidak akan. Aku tidak akan menyesal.”

Sejurus kemudian aku sudah memanjat tangga tali, sambil memandang piringan kepala kappa tua yang terlihat semakin jauh.

Bagian XVII

SETELAH kembali dari negeri kappa, untuk beberapa lama aku merasa terganggu oleh bau manusia. Dibandingkan manusia, kappa sejujurnya lebih bersih. Bahkan aku merasa aneh melihat kepala manusia, karena selama ini hanya melihat kepala kappa. Mungkin saja kau tidak dapat memahaminya. Selain itu mata dan mulut, juga hidung manusia, membangkitkan rasa takut. Tentu saja sedapat mungkin aku berusaha agar tak bertemu manusia.

Akan tetapi lama kelamaan aku terbiasa lagi melihat manusia, dan setelah setengah tahun berlalu aku mulai dapat pergi ke mana saja aku mau. Yang sering membuatku repot adalah karena aku sering tanpa sadar mengucapkan kata-kata bahasa kappa ketika sedang bercakap-cakap.

“Apa kau besok ada di rumah?”

“Qua,” jawabku.

“Apa?”

“Ya, maksudku besok aku ada di rumah.”

Kira-kira seperti itulah kejadiannya.

Sekitar satu tahun sejak aku kembali dari negeri kappa, perusahaanku pun bangkrut….

(Saat ia mengatakan hal ini, Dokter S. menyela dan memperingatkannya. “Tak usah kau ceritakan hal itu.” Menurut Dokter S., pasien ini biasa menjadi kasar dan tak terkendali setiap kali membicarakan masalah ini, sampai-sampai para perawat pun tak sanggup menahannya.)

Baiklah, aku tak akan menyinggung hal itu. Tapi karena kegagalan usahaku, aku merasa ingin kembali ke negeri kappa. Ya, aku ingin “kembali”, bukan ingin “pergi”. Bagiku negeri kappa ketika itu bagaikan kampung halamanku sendiri.
Diam-diam aku meninggalkan rumah dan hampir saja aku naik kereta jalur Chuo. Sialnya aku tertangkap polisi dan mereka akhirnya memasukkanku ke rumah sakit ini. Sementara berada di rumah sakit ini, aku terus saja memikirkan negeri kappa. Bagaimana Dokter Chack sekarang, ya? Apakah Filsuf Mag seperti biasa sedang berpikir sesuatu di bawah lampu kaca tujuh warna? Terutama, bagaimana dengan sahabat baikku, Lap, yang paruhnya membusuk itu.

Pada suatu sore berawan seperti sekarang ini, ketika sedang tenggelam dalam kenangan pada negeri kappa, aku dikagetkan oleh kemunculan Bag, kappa nelayan. Tiba-tiba ia berdiri di hadapanku dan berkali-kali menganggukkan kepalanya. Hampir saja aku berteriak saking kagetnya. Setelah agak tenang, aku tak ingat lagi apakah ketika itu aku tertawa atau menangis. Tapi yang pasti aku sangat terharu karena dapat berbicara dalam bahasa kappa lagi setelah begitu lama.

“Hei, Bag, apa yang membawamu datang ke sini?”

“Aku menjengukmu. Karena katanya Anda sakit, maka aku datang kemari.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Melalui berita di radio.”

Bag tersenyum bangga.

“Bagaimanapun juga, kau hebat bisa sampai kemari?”

“Ah, itu hal sepele. Sungai dan saluran air di Tokyo bagi kappa sama saja dengan jalan raya.”

Aku baru ingat kalau kappa adalah makhluk amfibi seperti katak.

“Tapi di sekitar sini tak ada sungai.”

“Tidak, saya datang ke sini melalui pipa air minum. Lalu sedikit membuka saluran semprotan air pemadam kebakaran….”

“Kau membuka saluran air pemadam?”

“Apakah Anda lupa, banyak juga ahli mekanik di antara para kappa?”

Sejak itu, dua atau tiga hari sekali, sejumlah kappa berkunjung. Menurut Dokter S., aku menderita gangguan jiwa, tapi kata Chack, dokter kappa, aku tidak menderita gangguan jiwa. (Bagi Anda ini pasti sangat tidak sopan.) Ia mengatakan bahwa pasien yang menderita gangguan jiwa sesungguhnya adalah Dokter S. dan kalian sendiri. Kalau Chack datang menjenguk, biasanya kappa pelajar Lap dan Filsuf Mag juga datang. Tapi tidak ada kappa yang datang di siang hari, kecuali si nelayan, Bag. Mereka datang dua atau tiga ekor bersama-sama pada malam hari, terutama pada malam terang bulan. Semalam, saat terang bulan aku mengobrol dengan direktur pabrik kaca Gael dan Filsuf Mag. Tak hanya mereka, Craback, sang musisi, pun datang memainkan satu komposisi dengan biola. Lihat, karangan bunga lili hitam di atas meja itu. Craback yang membawanya semalam sebagai buah tangan.

(Aku menoleh ke belakang. Tapi, tentu saja tidak ada apapun di atas meja itu.)

Buku itu juga dari Filsuf Mag yang khusus membawakannya untukku. Silakan baca sajak yang pertama ini. Oh, maaf. Engkau tidak bakalan paham bahasa kappa. Biar aku terjemahkan. Ini adalah salah satu jilid dari kumpulan lengkap karya Tock yang baru-baru ini diterbitkan.

(Ia membuka sebuah buku telepon tua, dan mulai membaca sajak di bawah ini dengan suara keras.)

Di antara rumpun bunga dan bambu.
Buddha sudah lama tertidur.
Agaknya Kristus pun telah mati.
Bersama batang ara yang layu di sepanjang jalan.
Tapi kita semua harus beristirahat,
Meski di bawah kelir belakang panggung sandiwara.

(Kalau dilihat, di balik kelir itu hanyalah kanvas yang penuh sambungan compang-camping.)

Tapi aku tidak pesimis seperti penyair ini. Selama para kappa kawanku menengokku sesekali….Ah…aku lupa satu hal. Kau ingat temanku Hakim Pep, bukan? Ia menjadi gila setelah kehilangan pekerjaan. Kudengar sekarang ia di rumah sakit jiwa kappa. Aku ingin sekali membesuknya ke sana, kalau saja Dokter S. menyetujuinya.

[1] Sepotong haiku karya Matuo Basho yang artinya “Di sebuah kolam tua, seekor katak melompat, terdengar percik air.”
[2] Heinrich von Kleist (1777-1811), dramawan dan novelis Jerman.
[3] P. Mainiaender (1841-1876), bernama asli Philipp Batz. Filsuf yang mendapat pengaruh Schopenhauer.
[4] Otto Weininger (1880-1903), pemikir dari Austria.

Ryūnosuke Akutagawa (芥川 龍之介 Akutagawa Ryūnosuke, lahir di Tokyo, 1 Maret 1892 – meninggal di Tokyo, 24 Juli 1927 pada umur 35 tahun) adalah sastrawan Jepang yang dikenal sebagai penulis novel pendek dan cerpen. Pada tahun 1935, Kan Kikuchi mengabadikan namanya untuk hadiah sastra Penghargaan Akutagawa. Sebagian besar karyanya berupa cerpen, seperti Imogayu, Yabu no Naka (Dalam Belukar), Jigokuhen, dan Haguruma. Cerpen-cerpen tersebut diangkat dari kisah-kisah yang terdapat dalam naskah kuno seperti Konjaku Monogatarishū dan Uji Shūi Monogatari. Selain itu, Akutagawa juga menulis cerita untuk anak-anak, misalnya: Kumo no Ito (Jaring Laba-laba) dan Toshishun. Akutagawa tidak pernah menulis novel panjang. Novel berjudul Jashūmon dan Rojō tidak pernah diselesaikannya. Akira Kurosawa menyutradarai film Rashomon (1950) yang didasarkan pada cerpen berjudul sama karya Akutagawa. Walaupun demikian, sebagian besar kejadian dalam film diambil dari cerpen lain, Yabu no Naka (Dalam Belukar). Akutagawa meninggal di usia muda, 35 tahun, akibat overdosis obat. Pesan terakhir yang ditinggalkan kepada sahabatnya berbunyi, “Hanya kegelisahan yang usulnya tidak jelas” (ただぼんやりした不安 Tada bonyarishita fuan?).