Buah Rosella dan Bunga Songler (13)

Tanah kelahiranku adalah kisah kegembiraan dan kebahagiaan masa kanakku bersama alam. Tanah kelahiranku adalah juga tempatku melakukan pembacaan. Aku pun kadangkala menegur diri sendiri: Kenapa engkau tak pernah merenung dan berpikir? Sekedar mempertanyakan apa yang ingin kau mengerti tentang segala yang tak kau pahami. Engkau bukan mesin. Engkau punya hati dan jiwa yang ingin bebas sesuai kehendakmu sendiri, bukan kehendak dan keinginan orang lain.

Di pematang kering kemarau yang panjang, aku masih beruntung memetik buah-buah ceri dari empat pohon ceri yang tumbuh berbaris. Seperti dulu di masa kecil. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, pematang yang kini ditumbuhi pohon-pohon jati yang ditanam para pekerja dari sebuah pabrik kertas yang kuintimi ini dulunya adalah hamparan sawah tempatku berkejaran dengan para belalang bersama teman-temanku. Tubuh dan pikiranku lelah, karenanya kuputuskan untuk berjalan-jalan menyusuri pematang dan semak belukar. Masih banyak yang tumbuh dan tak mati di saat kemarau panjang, seperti pohon-pohon songler yang berbunga. Aku tahu perbedaan desa dan kota yang kutinggali. Tapi manusia tak dapat lepas dari rasa sepi. Aku pernah bertahun-tahun hidup di kota. Manusia-manusia yang bagiku telah menjadi mesin. Terjadwal. Sikap dan tindakannya ditombol birokrasi. Betapa menjemukan dan membosankan hidup mereka. Bangun pagi. Sarapan makanan cepat saji. Menunggu dan berdesak-desakan di halte. Terus-menerus seperti itu saat pergi dan pulang.

Aku dapat mencium bedanya aroma pagi dan sore di desa dan kota yang pernah kutinggali. Tak ada aroma wangi udara di kota. Yang ada adalah bau pembakaran bahan bakar kendaraan. Itu bukan kehidupan. Dan yang pasti, tak ada para serangga, tak ada kupu-kupu di kota, tak ada semilir angin dari rimbun bambu dan ranting-ranting pohon ceri. Tak ada bunyi lirih arus air yang mengasah keintiman dan kepekaan hati seseorang kepada semesta. Dan lagi-lagi, teringat di masa kanak-kanakku, beberapa itik dan unggas bercanda dengan air dan cahaya matahari yang tenggelam dan memantul. Ketika itu aku duduk di pematang setelah membantu ibuku, tepi kali kecil irigasi.

Kunasehati diriku sendiri: Kenapa engkau tak membiarkan hati dan jiwamu mengembarai semesta? Mencandai angin. Menjumpai remah-remah matahari. Merenungi kanak-kanak matahari yang menyentuhi segala yang ada dan tumbuh di bumi. Engkau bukan boneka yang dikendalikan orang lain. Engkau harus menjadi apa yang kau inginkan yang membuatmu bahagia dan tak merana. Ada yang hidup di dalam jiwamu yang tak ingin terpenjara karena aturan dan birokrasi yang membuatmu menjadi mesin.

Yah memang di jaman ini manusia telah menjadi mesin. Menjadikan televisi sebagai tempat ritual terpercaya. Tidakkah manusia selalu mencipta dogma-dogma baru yang membelenggu? Bahkan ketika mereka yang tak mempercayai adanya dan eksistensi Tuhan pun senantiasa menciptakan ritual-ritual jaman sekuler mereka. Memberhalakan komoditas dan produk-produk industri kapitalisme contohnya. Aku ingin berpikir dan merenung. Karena itu aku langkahkan kedua kakiku menyusuri pematang kering ini. Juga, betapa banyak para pengkhutbah yang lebih mirip para pedagang. Mereka membual. Mereka tak mengajak manusia berpikir dan merenung. Bahkan mereka lebih mirip penjual obat murahan di emperan pasar-pasar di pinggir jalan atau di kawasan-kawasan dan lokasi pusat perbelanjaan.

Betapa aku selalu teringat ibuku di masa kanak-kanak. Bagaimana kesabarannya tak pernah dikalahkan. Ia rapihkan batang-batang padi yang dicerai-berai para unggas dan itik. Ia urai biji-biji padi dengan tenaga dan kesabarannya. Dan saat cahaya matahari mulai terasa menyengat, kami pun pulang ke rumah. Menyusuri petak-petak sawah. Berjalan kaki menempuh jalan setapak yang dirimbuni pohon-pohon di pinggir sungai. Pematang dan jalan setapak adalah bagian dari kisah dan riwayat hidupku. Dan pematang yang kutapaki dengan langkah-langkah kedua kakiku ini mengingatkanku pada pematang di seberang sungai yang dulu kulalui bersama ibuku. Aku duduk. Aku berteduh. Aku berpikir. Menyendiri. Menghayati angin. Merasakan cahaya matahari yang singgah di kulit. Membiarkan hatiku mendengarkan suara samar-samar. Dan tanpa terasa, buah-buah ceri yang kupetik telah habis. Biar kutunggu beberapa hari lagi akan ada buah-buah ceri matang berwarna merah yang dapat kupetik lagi. Seperti dulu di masa kecil.

Namun saat ini, mestilah kuterima dan kusadari bahwa banyak yang tak lagi sama dan telah berubah di tanah kelahiranku. Sebagai contohnya di masa-masa aku masih kanak-kanak hingga remaja, aku harus menempuh jalan yang belum diaspal atau dibeton bila hendak menuju ke tempat di mana sekolah menengah pertamaku berada. Bersama Sungai Irigasi, jalan yang kutempuh itu, hanya dipisahkan oleh rumput, ilalang, pohon-pohon kecil dan besar yang tumbuh subur di tepi jalan yang sekaligus tentu saja tepi Sungai Irigasi tersebut. Dan sebagaimana telah kukatakan juga, di masa-masa itu, kami akrab dengan beberapa hal yang kini telah hilang. Contohnya kunang-kunang, yang cahaya-cahaya mungil tubuh mereka, merupakan keindahan dan keajaiban tersendiri di waktu malam yang hening dan sepi. Persis ketika aku memandangi mereka yang tengah mengambang di atas jalan, di halaman, atau di antara petak-petak sawah di belakang rumah. Rupa-rupanya, kehadiran dunia yang baru, pada akhirnya memang menyingkirkan dunia yang lama, baik secara ekonomis, kultural, dan sosiologis, atau pun secara antropologis dan ekologis. Kehadiran perubahan fisik (ekonomi dan infrastruktur) berdampak pula pada perubahan sikap dan mental orang-orang.

Ketakhadiran kunang-kunang itu sendiri untuk saat ini, yang dulu ada dan menjadi tamu-tamu malam kami, tak lain karena tempat di mana aku dilahirkan dan aku tinggali telah berubah secara ekologis dan ekonomis. Persis ketika sawah-sawah telah menjadi raungan mesin-mesin pabrik dan infrastruktur-infrastruktur industri yang mengepulkan asap dan memproduksi limbah dan racun setiap hari. Dan pada saat bersamaan, secara antropologis, juga telah mengubah sikap dan prilaku masyarakat, mengubah pandangan dan gaya hidup mereka saat ini, yang kontras berbeda di masa-masa ketika infrastruktur-infrastruktur industri dan teknosains belum hadir di desaku.

Yang ingin kukatakan adalah bahwa, kehadiran industri turut pula memberikan perubahan yang ternyata tidak kecil dan memiliki dampak multidimensi: material dan spiritual, meski jarak industri tersebut beberapa kilometer dari kampungku. Contohnya, kini banyak orang kampungku yang terpacu menyekolahkan anak-anak mereka, karena bila anak-anak mereka tidak memiliki ijazah dari sekolah, maka mereka tak bisa melamar pekerjaan, melamar kerja menjadi karyawan (buruh). Hal itu sangat berbeda ketika dulu orang-orang tua di kampungku menganggap remeh pendidikan formal. Sekedar tambahan, di desaku yang pertama-kali mengenyam pendidikan perguruan tinggi adalah almarhum pamanku (adiknya almarhumah ibuku) dan disusul oleh sepupuku dari pihak almarhumah ibuku.

Dengan contoh-contoh yang kukatakan itu, aku hanya ingin mengatakan bahwa perubahan yang dihadirkan oleh keberadaan infrastruktur-infrastruktur industri dan tekno sains, tak hanya memberi dampak perubahan ekonomis semata, namun turut pula mengubah aspek sosial-budaya masyarakat, selain tentu saja, kehadiran infrastruktur-infrastruktur industri juga berdampak pada kerusakan ekosistem alami atau berdampak secara ekologis, yang terbilang “berbahaya”. Singkatnya, acapkali kemajuan dalam beberapa hal harus “dibayar” dengan kerusakan hal-hal lain. Bahkan, kerusakan-kerusakan yang merupakan dampak kehadiran infrastruktur-infrastruktur industri itu sebenarnya tidak sepadan dengan kebaikan “ekonomis” yang telah diberikannya jika tak ada perbaikan pengelolaan limbah dan sampah yang ramah lingkungan. Misalnya, limbah beracun yang “membunuh” sungai yang dulu asri dan merupakan jiwa kehidupan bagi tanah dan makhluk-makhluk hidup yang dihidupi olehnya.

Sedangkan secara kultural, atau katakanlah secara antropologis, kehadiran televisi dan tekno sains lainnya, semisal internet, selain telah memberi manfaat positif dan kecerdasan bagi anak-anak muda, juga telah melakukan impor “kultural” dan pandangan hidup yang akhirnya mengubah pandangan dan perilaku masyarakat, terutama generasi muda, bahkan menyangkut hal-hal yang dulu dianggap tabu dan dosa tak lagi dianggap demikian oleh mereka.