Buah Rosella dan Bunga Songler (5)

Seni (dan tentu juga sastra) hanyalah salah-satu diantara sekian ragam cara mengada manusia untuk meraih kegembiraan atau kebahagiaan, selain bentuk ekspressi dan manifestasi kediriannya. Begitu pun ketika aku mengintimi karya seni atau membaca puisi-puisi yang indah dan menggugah, ada rasa nyaman dan kegembiraan dalam jiwaku. Jika demikian, seni (dan sastra) adalah di antara yang memainkan peran dalam menciptakan dan melahirkan kesenangan dan kebahagiaan bagi kehidupan dan hidupnya manusia. Aku tak ingat kapan mulanya aku mulai bisa mengapresiasi dan menghayati puisi-puisi yang kubaca dan kapan pula aku mulai belajar untuk menulis puisiku sendiri. Namun berdasarkan jejak-jejak buku diariku, ada dua moment di mana aku mulai belajar menulis puisi-puisiku sendiri: momen di saatku bahagia seperti ketika sedang jatuh cinta dan moment di saat dirundung kesedihan dan derita seperti ketika aku kehilangan seseorang yang kukasihi.

Ketika itu aku menangis dan bersembunyi di kebun singkong yang ditanam ibuku. Sepertinya aku tak ingin ada yang tahu kesedihanku dan mungkin juga aku merasa malu bila ada yang tahu bahwa aku menangis. Tentu saja hal itu terasa lucu karena menangis adalah sesuatu yang wajar dan normal bagi lelaki atau pun perempuan selagi manusia memiliki jiwa dan rasa di dalam tubuhnya. Itulah kesedihan pertamaku di masa kanak-kanak yang kutanggung sendirian dan tak mau ada orang lain yang mengetahui. Kesedihan yang menjadi kesepian dan kesunyianku sendiri.

Kami sama-sama menyayangi kelinci yang dibeli bapak kami di masa-masa itu. Kelinci berwarna putih terang itu kami biarkan bebas bermain di kebun dan di antara tanaman-tanaman yang ditanam ibu kami. Ia akan pulang sendiri jika sudah merasa puas bermain. Kami sama-sama paham bahwa tak hanya manusia yang butuh bermain, tetapi juga binatang yang sama-sama menghendaki kebebasan dan bukan keterkekangan dalam hidup. Tepat di sini, kebebasan manusia untuk menentukan menjadi apa ia sesuai dengan panggilan jiwanya adalah juga di antara cara mengadanya untuk meraih kebahagiaan dan kegembiraan ruhaniah. Tetapi meskipun demikian, dalam kesempitan dan keterdesakan, manusia pun acapkali sanggup menciptakan celah-celah kebebasan dan kemerdekaan. Seperti tak sedikit para penulis yang menghasilkan karya-karya besar mereka justru di saat mereka menjalani hidup sehari-hari mereka di dalam penjara.

Aku masih ingat saat aku mulai menulis puisi dan sesekali catatan harian ketika hidup di asrama di sebuah pesantren di mana aku harus belajar ilmu-ilmu agama (Islam) sembari menempuh pendidikan sekuler sekolah menengah atas (umum). Aku pun mulai mencuri-curi kesempatan untuk membaca buku-buku filsafat, seperti Berkenalan dengan Eksistensialisme yang ditulis oleh Fuad Hasan, selain harus mendaras kitab-kitab kuning sebagai daras wajib. Perkenalanku dengan buku-buku filsafat itu berlanjut ketika aku kuliah. Di masa-masa kuliah inilah aku jarang masuk kelas karena lebih asik membaca buku-buku yang kubeli sendiri dari toko-toko buku bekas di kawasan Blok M Jakarta dan di kawasan Senen Jakarta. Seringkali di saat aku sedang membaca buku kukunci pintu kamar kos-ku. Ditemani musik-musik yang kusukai dari sebuah radio tape yang sengaja kubawa ke Jakarta dari rumah, kegandrunganku membaca kemudian dengan cepat ke buku-buku novel dan puisi.

Andai saja aku anak orang kaya, pastilah aku tidak akan mengurung diri dalam kamar dengan membaca buku-buku sastra dan filsafat, tapi lebih memilih merayakan hidup seperti beberapa temanku yang melakukannya dengan cukup sering nongkrong di kafe-kafe atau menonton film-film terbaru di mall-mall dan pusat perbelanjaan. Aku melakukan hal-hal itu jika kebetulan ditraktir saja, selebihnya aku harus memperioritaskan untuk kebutuhan makan sehari-hari karena kondisi keuanganku tak cukup untuk menikmati gaya hidup konsumtif seperti yang dilakukan sedikit saja dari teman-teman kelasku yang kebetulan orangtua-orang tua mereka adalah pejabat dan birokrat.

Dalam keadaan demikian itu, pernah kubandingkan diriku sebagai tokoh Raskolnikov-nya Dostoyevsky dalam novelnya yang berjudul Crime and Punishment. Bahwa peluang dan kemungkinan kehidupan manusia akan menjadi buruk atau akan menjadi lebih baik akan sangat tergantung dalam kondisi lingkungan yang buruk (miskin) ataukah dalam kondisi lingkungan yang makmur di mana anggota masyarakatnya sejahtera dan berkecukupan. Bahwa dunia dan takdir Sonia Marmeladov dalam novel itu adalah dunia dan takdir yang diberikan dan dipaksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan di mana ia harus hidup menjadi seorang pelacur dan jodohnya pun tak jauh-jauh amat dengan orang yang nasibnya sama dan persis seperti dirinya: Rodion Raskolnikov.

Karya-karya sastra yang baik dan berkualitas memang tak ubahnya sebuah perpustakaan dan khazanah-khazanah hikmah dan kearifan yang membuka kepekaan dan wahana baru bagi pemahaman dan pengetahuan manusia di saat tak semua karya fiksi dan imajinasi dapat disebut sastra seperti novel pop dan komik yang hanya menjalankan fungsi banal industri hiburan dan budaya komodifikasi yang menjerembabkan manusia pada oralitas baru bukannya mengasah kepekaan ruhaniah dan kecerdasan aqliyah. Fiksi dan imajinasi sastrawi anehnya telah menjalankan fungsi saintifik dengan cara lain. Cervantes menertawakan dogmatisme dan heroisme melaui novel sadurannya dari karya sejarawan Sayid Hamid, Don Quixote, karena dogma dalam rangka memberikan kesadaran baru bagi humanisme yang dilandasi kejujuran dan kebenaran yang realistis dan bisa dipertanggungjawabkan, bukan kebenaran yang membutakan dan malah melahirkan kebodohan. Dostoyevsky menyadarkan tentang pentingnya kasih-sayang dan solidaritas kepada sesama manusia ketika menggambarkan kepedihan orang-orang miskin seperti Rodion Raskolnikov dan Sonia Marmeladov.

Dalam kadar yang demikian itu pula, pada saat bersamaan, karya-karya sastra yang berhasil dan berkualitas tinggi menjalankan fungsi yang juga dilakukan oleh para filsuf ketika pemikiran-pemikiran mereka membuka cakrwala baru bagi majunya ilmu dan pengetahuan dalam jejak langkah sejarah peradaban manusia. Karya-karya itu mengajakku berlaku reflektif dalam hidup sembari menarasikan dirinya dengan kiasan dan keindahan. Meminjam laku kehidupan dan polah serta watak manusia itu sendiri. Sedangkan puisi mengajakku untuk menyelami aspek terdalam intelek dengan media bahasa yang dikiaskan dan dipadatkan sedemikian rupa.

Karena keasikan berteman dengan buku-buku sastra dan filsafat itu aku terlambat jatuh cinta dan lupa, tepatnya tak sempat, untuk merayakan hidup dengan jalan bersenang-senang seperti yang dilakukan sedikit temanku. Dan tentu saja, alasan yang sesungguhnya adalah karena aku tak punya cukup uang untuk menjalani kehidupan konsumtif sebagaimana anak para pejabat dan para birokrat. Aku tak tahu apakah ayah-ayah mereka mendapatkan banyak uangnya dari korupsi atau bukan.

Buah Rosella dan Bunga Songler (4)

Menanam dan merawat tanaman bunga dan tanaman lainnya adalah contoh hobi yang bisa membuatku merasa melakukan tindakan bermakna. Keindahan bunga-bunga dengan aneka warna mereka saat mekar memberikan rasa nyaman dan sensansi keindahan bagi kedua mataku yang akhirnya rasa nyaman dan sensasi keindahan itu masuk ke dalam jiwaku. Tentu saja hobi lainnya yang bisa membuatku merasa mengekspressikan dan memanifestasikan kedirianku adalah ketika aku menulis puisi. Puisi bagiku adalah upayaku untuk menghadirkan refleksi dengan jalan mengolahnya dengan keindahan agar sanggup menginspirasi pembacanya karena kesanggupannya menyentuh rasa dan intelek secara bersamaan.

Aku yang lahir dan dibesarkan dalam suasana pedesaan berusaha mengolah alam itu sendiri sebagai kosakata dan bahasaku untuk menyatakan apa yang kupikirkan dan kurasakan melalui puisi. Aku ingin berkata bahwa ada kebahagiaan tersendiri ketika puisi yang kutulis mendapatkan tempat tersendiri di hati para pembacanya. Bagaimana pun upayaku untuk mengekspressikan keindahan tak sekadar untuk diriku sendiri tetapi dalam rangka berbagi dengan orang lain. Adalah alami bagi penyair bahwa ekspressi pertamakali yang mereka ungkapkan melalui puisi adalah ekspressi cinta. Sebab rahim bahasa yang paling jujur sekaligus peka bagi seorang penyair adalah ketika perasaannya begitu membuncah saat jatuh cinta kepada perempuan. Aku pun mengalami hal itu, meski tentu saja tak selamanya seorang penyair harus selalu cuma menulis puisi cinta.

Manusia ingin mendapatkan pengakuan dan kasih-sayang dari manusia-manusia lainnya. Ia butuh dicintai dan merasa aman dan tidak terancam keberadaannya justru karena manusia cenderung selfish dan mengutamakan kebutuhan untuk survivalnya. Kondisi lingkungan, situasi politik, dan bahkan situasi kebudayaan yang baik juga sangat berpengaruh dalam menghadirkan kenyamanan dan kegembiraan bagi kehidupan manusia yang akhirnya akan membuat manusia merasa betah dan bahagia tinggal di lingkungan yang baik tersebut. Manusia akan merasakan derita bila hidup dalam situasi yang terus chaos dan konflik, sebagaimana sebaliknya, kemajuan dan kecerdasan ilmu pengtahuannya terkondisikan pula oleh ketersediaan sistem dan fasilitas yang mendukung dan menopangnya. Lalu bagaimana dengan buku-buku? Tentu membaca buku-buku yang baik dan berkualitas akan menyumbang bagi kemajuan intelek manusia dan bahkan bisa memberikan kepekaan-kepekaan yang sifatnya ruhaniah seperti ketika seseorang membaca karya-karya sastra, semisal puisi, yang menggugah dan mencerahkan.

Kala masih di sekolah dasar, buku-buku yang kusukai adalah buku-buku tentang para penemu dan para ilmuwan. Aku minta ijin kepada ibu guruku untuk membawa pulang buku-buku sekolah itu sebagai temanku dalam kesendirian dalam naungan rimbun bambu ketika ibuku memerintahkanku untuk menunggui padi-padi yang mulai menguning dari serbuan para burung. Biasanya aku melakukan tugas itu selepas makan siang. Sembari menikmati sejuknya semilir angin di rimhun bambu itu, aku pun acapkali merenung dan berkhayal. Contohnya mengkhayalkan bahwa Tuhan ada di langit yang jauh dari tempatku duduk.

Mungkin saja pada saat itu aku sedang berdoa dalam kesepianku. Namun, tentu saja, doa tak selamanya hanya milik mereka yang mengklaim beragama dan mengakui eksistensi Tuhan. Meski demikian aku tak percaya kepada mereka yang berkata bahwa mereka berkuasa sepenuhnya atas hidup dan hari-hari mereka, termasuk tentang bagaimana mereka bisa mendapatkan kebahagiaan tanpa harus menjadi orang-orang yang beriman. Mereka keliru karena iman dan harapan membuat ummat manusia survive dan bertahan dalam petaka dan kemalangan. Utopia memiliki fungsi menjadi perawat dan penjaga kehidupan manusia agar tidak musnah ketika terancam bahaya dan akhirnya menjaganya tetap hadir bagi masa depan.

Aku tak percaya kepada mereka yang mengingkari keajaiban dan kebetulan, sehingga dengan lantang mereka senantiasa mengumandangkan bahwa Tuhan itu tidak ada, bukannya berendah hati bahwa jiwa manusia senantiasa berada dalam kerentanan. Adalah fakta dan kenyataan yang tak teringkari bahwa manusia acapkali dirundung kegelisahan, rasa bosan, kesepian, dan diterkam suatu keadaan dan kebetulan dalam hidup yang berada di luar jangkauan akal dan pemahamannya. Seseorang seringkali terjebak begitu saja dalam rasa asing dan keterasingan, dan karenanya hatinya berdoa dan mengharapkan sesuatu yang menggembirakan akan datang dalam hidupnya di masa yang akan datang. Aku pun mengalami hal itu jika merasa kesepian dan merasa asing dalam kesendirian.

Pernahkah kau merasakan kegelisahan dan keterasingan ketika engkau berada dalam kesulitan dan kepapaan, contohnya? Dan pada saat itu engkau merasa tak berarti dan terjebak dalam rasa ketakbermaknaan dalam hidup. Jika kau pernah mengalami hal itu, maka kau manusia normal. Ketika engkau berharap mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan dalam hidup ini, pada saat itulah engkau tengah berdoa, seperti yang kulakukan di saat kesepian, entah kau mempercayai adanya Tuhan atau tidak. Soal kepada siapa engkau membathinkan harapan di dalam hatimu ketika engkau tidak mempercayai Tuhan, itu bukan urusanku, karena engkau sendiri yang berhak menjawabnya.

Aku hanya ingin berkata ada saat-saat manusia berada dan terjebak dalam situasi yang tak menyenangkan, mengalami kesepian dan kesendirian ketika berada dalam kesulitan dan kejatuhan yang tak ia duga sebelumnya yang membuatnya menderita dan tak nyaman, pada saat itu yang membuat manusia bertahan adalah doa dan harapan yang ada di lubuk jiwanya. Barangkali, itulah iman. Meskipun begitu, aku tak sedang berusaha menjadi seorang dai ketika berbicara tentang iman dan agama. Aku hanya ingin berbicara tentang bagaimana manusia dalam hidupnya menjadikan apa saja sebagai landasan dan alasan untuk survivalnya. Termasuk ketika ia menjadikan agamanya sebagai pedoman dan pegangan dalam rangka mendapatkan kepastian di masa depan. Ia berusaha mendapatkan kesenangan dengan banyak cara dan jalan dalam rangka survival tersebut karena pada dasarnya ia hanya ingin bahagia dan tak ingin menderita. Dan karena itulah ia yang percaya adanya hari kebangkitan berharap dimasukkan ke dalam surga.