Seni (dan tentu juga sastra) hanyalah salah-satu diantara sekian ragam cara mengada manusia untuk meraih kegembiraan atau kebahagiaan, selain bentuk ekspressi dan manifestasi kediriannya. Begitu pun ketika aku mengintimi karya seni atau membaca puisi-puisi yang indah dan menggugah, ada rasa nyaman dan kegembiraan dalam jiwaku. Jika demikian, seni (dan sastra) adalah di antara yang memainkan peran dalam menciptakan dan melahirkan kesenangan dan kebahagiaan bagi kehidupan dan hidupnya manusia. Aku tak ingat kapan mulanya aku mulai bisa mengapresiasi dan menghayati puisi-puisi yang kubaca dan kapan pula aku mulai belajar untuk menulis puisiku sendiri. Namun berdasarkan jejak-jejak buku diariku, ada dua moment di mana aku mulai belajar menulis puisi-puisiku sendiri: momen di saatku bahagia seperti ketika sedang jatuh cinta dan moment di saat dirundung kesedihan dan derita seperti ketika aku kehilangan seseorang yang kukasihi.
Ketika itu aku menangis dan bersembunyi di kebun singkong yang ditanam ibuku. Sepertinya aku tak ingin ada yang tahu kesedihanku dan mungkin juga aku merasa malu bila ada yang tahu bahwa aku menangis. Tentu saja hal itu terasa lucu karena menangis adalah sesuatu yang wajar dan normal bagi lelaki atau pun perempuan selagi manusia memiliki jiwa dan rasa di dalam tubuhnya. Itulah kesedihan pertamaku di masa kanak-kanak yang kutanggung sendirian dan tak mau ada orang lain yang mengetahui. Kesedihan yang menjadi kesepian dan kesunyianku sendiri.
Kami sama-sama menyayangi kelinci yang dibeli bapak kami di masa-masa itu. Kelinci berwarna putih terang itu kami biarkan bebas bermain di kebun dan di antara tanaman-tanaman yang ditanam ibu kami. Ia akan pulang sendiri jika sudah merasa puas bermain. Kami sama-sama paham bahwa tak hanya manusia yang butuh bermain, tetapi juga binatang yang sama-sama menghendaki kebebasan dan bukan keterkekangan dalam hidup. Tepat di sini, kebebasan manusia untuk menentukan menjadi apa ia sesuai dengan panggilan jiwanya adalah juga di antara cara mengadanya untuk meraih kebahagiaan dan kegembiraan ruhaniah. Tetapi meskipun demikian, dalam kesempitan dan keterdesakan, manusia pun acapkali sanggup menciptakan celah-celah kebebasan dan kemerdekaan. Seperti tak sedikit para penulis yang menghasilkan karya-karya besar mereka justru di saat mereka menjalani hidup sehari-hari mereka di dalam penjara.
Aku masih ingat saat aku mulai menulis puisi dan sesekali catatan harian ketika hidup di asrama di sebuah pesantren di mana aku harus belajar ilmu-ilmu agama (Islam) sembari menempuh pendidikan sekuler sekolah menengah atas (umum). Aku pun mulai mencuri-curi kesempatan untuk membaca buku-buku filsafat, seperti Berkenalan dengan Eksistensialisme yang ditulis oleh Fuad Hasan, selain harus mendaras kitab-kitab kuning sebagai daras wajib. Perkenalanku dengan buku-buku filsafat itu berlanjut ketika aku kuliah. Di masa-masa kuliah inilah aku jarang masuk kelas karena lebih asik membaca buku-buku yang kubeli sendiri dari toko-toko buku bekas di kawasan Blok M Jakarta dan di kawasan Senen Jakarta. Seringkali di saat aku sedang membaca buku kukunci pintu kamar kos-ku. Ditemani musik-musik yang kusukai dari sebuah radio tape yang sengaja kubawa ke Jakarta dari rumah, kegandrunganku membaca kemudian dengan cepat ke buku-buku novel dan puisi.
Andai saja aku anak orang kaya, pastilah aku tidak akan mengurung diri dalam kamar dengan membaca buku-buku sastra dan filsafat, tapi lebih memilih merayakan hidup seperti beberapa temanku yang melakukannya dengan cukup sering nongkrong di kafe-kafe atau menonton film-film terbaru di mall-mall dan pusat perbelanjaan. Aku melakukan hal-hal itu jika kebetulan ditraktir saja, selebihnya aku harus memperioritaskan untuk kebutuhan makan sehari-hari karena kondisi keuanganku tak cukup untuk menikmati gaya hidup konsumtif seperti yang dilakukan sedikit saja dari teman-teman kelasku yang kebetulan orangtua-orang tua mereka adalah pejabat dan birokrat.
Dalam keadaan demikian itu, pernah kubandingkan diriku sebagai tokoh Raskolnikov-nya Dostoyevsky dalam novelnya yang berjudul Crime and Punishment. Bahwa peluang dan kemungkinan kehidupan manusia akan menjadi buruk atau akan menjadi lebih baik akan sangat tergantung dalam kondisi lingkungan yang buruk (miskin) ataukah dalam kondisi lingkungan yang makmur di mana anggota masyarakatnya sejahtera dan berkecukupan. Bahwa dunia dan takdir Sonia Marmeladov dalam novel itu adalah dunia dan takdir yang diberikan dan dipaksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan di mana ia harus hidup menjadi seorang pelacur dan jodohnya pun tak jauh-jauh amat dengan orang yang nasibnya sama dan persis seperti dirinya: Rodion Raskolnikov.
Karya-karya sastra yang baik dan berkualitas memang tak ubahnya sebuah perpustakaan dan khazanah-khazanah hikmah dan kearifan yang membuka kepekaan dan wahana baru bagi pemahaman dan pengetahuan manusia di saat tak semua karya fiksi dan imajinasi dapat disebut sastra seperti novel pop dan komik yang hanya menjalankan fungsi banal industri hiburan dan budaya komodifikasi yang menjerembabkan manusia pada oralitas baru bukannya mengasah kepekaan ruhaniah dan kecerdasan aqliyah. Fiksi dan imajinasi sastrawi anehnya telah menjalankan fungsi saintifik dengan cara lain. Cervantes menertawakan dogmatisme dan heroisme melaui novel sadurannya dari karya sejarawan Sayid Hamid, Don Quixote, karena dogma dalam rangka memberikan kesadaran baru bagi humanisme yang dilandasi kejujuran dan kebenaran yang realistis dan bisa dipertanggungjawabkan, bukan kebenaran yang membutakan dan malah melahirkan kebodohan. Dostoyevsky menyadarkan tentang pentingnya kasih-sayang dan solidaritas kepada sesama manusia ketika menggambarkan kepedihan orang-orang miskin seperti Rodion Raskolnikov dan Sonia Marmeladov.
Dalam kadar yang demikian itu pula, pada saat bersamaan, karya-karya sastra yang berhasil dan berkualitas tinggi menjalankan fungsi yang juga dilakukan oleh para filsuf ketika pemikiran-pemikiran mereka membuka cakrwala baru bagi majunya ilmu dan pengetahuan dalam jejak langkah sejarah peradaban manusia. Karya-karya itu mengajakku berlaku reflektif dalam hidup sembari menarasikan dirinya dengan kiasan dan keindahan. Meminjam laku kehidupan dan polah serta watak manusia itu sendiri. Sedangkan puisi mengajakku untuk menyelami aspek terdalam intelek dengan media bahasa yang dikiaskan dan dipadatkan sedemikian rupa.
Karena keasikan berteman dengan buku-buku sastra dan filsafat itu aku terlambat jatuh cinta dan lupa, tepatnya tak sempat, untuk merayakan hidup dengan jalan bersenang-senang seperti yang dilakukan sedikit temanku. Dan tentu saja, alasan yang sesungguhnya adalah karena aku tak punya cukup uang untuk menjalani kehidupan konsumtif sebagaimana anak para pejabat dan para birokrat. Aku tak tahu apakah ayah-ayah mereka mendapatkan banyak uangnya dari korupsi atau bukan.