Buah Rosella dan Bunga Songler (16)

Dalam ikhtiarku mendapatkan kegembiraan, keindahan, dan kebahagiaan dengan mencandra bahasa, ada saat-saat aku kehilangan motivasi untuk menulis bila apa yang kutulis kurasa (dan pikiran ini acapkali muncul tiba-tiba) tak lebih baik dari apa yang pernah ditulis oleh para penulis sebelumnya. Meski begitu, tentu saja, aku berusaha meyakinkan diri kembali bahwa bagaimana pun, jika pun tidak lebih baik dari tulisan para penulis sebelumnya, aku tetap menghadirkan keunikan suara dan narasiku sendiri.

Pernah pula saat aku memikirkan apakah bahagia itu, aku duduk di antara cahaya matahari dan angin yang berlari. Aku mengembarakan pikiran, khayalan, dan angan-angan kesepianku sembari duduk menghadap meja tempatku merenung dan menulis. Biasanya aku akan mencurahkan kegelisahan-kegelisahan, rasa bosan, dan kegundahan yang merundung hatiku di lembar-lembar catatan harian kesayangan, mungkin sebagai topeng dan selubung untuk menutupi kesepianku sebagai seorang lelaki yang tak punya pekerjaan resmi dengan gaji yang akan mencukupi hidup sehari-hari. Atau mungkin hanya sekedar mencurahkan agar tidak menjadi beban hati dan pikiranku yang acapkali terdesak rasa asing tanpa kutahu apa sebab sesungguhnya. Sementara itu, seperti yang telah kukatakan berulang-ulang, di waktu-waktu pagi dan sore hari, aku berusaha menyibukkan diri dengan menanam dan menyirami tanaman yang telah kutanam jika aku sedang ada di rumah. Kesibukan tambahan itu kulakukan dan kupilih sebagai penghiburan diri, mungkin juga untuk mengalihkan kesepian dan kebosananku agar aku tidak terlampau menyibukkan diri dengan membaca buku-buku atau terpaku merenung.

Sempat juga terpikir di saat-saat aku membaca, merenung, dan menulis bahwa mungkin saja orang-orang yang selama ini tidak membaca buku-buku filsafat lebih merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka. Yah orang-orang bersahaja seperti para petani yang sesekali kuperhatikan secara seksama yang menurutku lebih terlihat tulus ketika mereka bekerja di sawah-sawah dan di ladang-ladang. Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang siang, dari sore hari hingga di ujung senja. Aku memandangi mereka bekerja di waktu-waktu jeda ketika aku sedang menulis atau membaca di gubuk yang memang tak jauh dari hamparan sawah-sawah. Sebagian adalah ibu-ibu dan beberapa di antara mereka adalah perempuan-perempuan yang masih terhitung muda.

Yah mereka, para petani itu, menurutku tentu saja tidak pernah menyibukkan dirinya dengan persoalan-persoalan epistemologis dan pertanyaan-pertanyaan axiomatik seperti halnya seorang pemikir atau pun penulis. Jikalau pun mereka berpikir, tentu sebatas bagaimana memenuhi kebutuhan wajib keseharian mereka untuk menghidupi diri dan keluarganya, dan itu memang sama terhormatnya dengan para sarjana dan penulis yang mencari nafkah dan gengsi sosial dari pengetahuan dan keterampilan mereka. Sebenarnya, aku tengah dirundung dan digundahkan sejumlah pertanyaan, yang barangkali muncul dari kegelisahan dan kebosananku. Pertanyaan-pertanyaan tentang apakah bahagia itu, bagaimana pun, muncul silih berganti dalam benakku ketika aku meragukan apa yang kulakukan selama ini dengan menulis dan membaca.

Dulu kala, Montaigne yang dikagumi Nietzsche itu, pernah pula mempertanyakan soal dan masalah yang merisaukanku itu, dan lalu melebar ke isu sejumlah hal dalam hidup. Di sebuah ruang perpustakaan kastil indah di Bordeaux, seperti yang diceritakan kembali oleh Alain de Botton, Michel de Montaigne menulis tentang Thales, yang terdengar sebagai sebuah sindiran dengan jalan memuji sahabat sang filsuf, ketimbang filsuf itu sendiri: “Aku selalu merasa senang pada gadis dari Miletus yang memandangi sang filsuf, ketika sang filsuf dengan matanya yang menerawang ke atas mengukur kubah langit, seolah hendak mengingatkan sang filsuf bahwa sudah cukup waktu untuk menentukan sesuatu di atas awan bila ia telah menghitung segala sesuatu yang berada di depan kakinya”, ujar Montaigne dalam Essays-nya, “Kau pun dapat melakukan celaan yang sama sebagaimana gadis dari Miletus itu melakukannya kepada Thales, untuk menghadapi setiap orang yang mendalami filsafat dalam pelupaan, orang yang gagal melihat dan menyaksikan kenyataan yang terletak di depan kakinya”.

Orang yang membaca fragmen yang ditulis Montaigne tersebut tanpa terlebih dahulu mengetahui siapa sesungguhnya Montaigne, mungkin akan terlalu dini menilainya sebagai orang yang anti-teori atau pun anti-pemikiran. Tetapi Montaigne sendiri tentulah tidak demikian, ekstremitas kejujuran Montaigne biar bagaimana pun lahir dari seseorang yang cukup lama menggeluti dunia baca dan pemikiran. Di usia tujuh tahun ia telah menamatkan Metamorphoses-nya Publius Ovidius Naso atau Ovid, dan sejak usia enam belas tahun, ia telah menamatkan seri lengkap karya-karya Publius Virgilius Maro si penulis Aeneid. Dengan demikian, skeptisisme Montaigne tetaplah didasarkan pada pengalaman pembacaan dan empirisisme perjalanan hidupnya yang memang kemudian menggemari petualangan dan bepergian ke daerah-daerah terpencil dan pegunungan. Masa-masa muda Montaigne dijalani dengan membaca karya-karya Plautus, Homer, Plutarch, dan tentu saja Al-Kitab terutama Kitab Si Pengchotbah.

Aku seperti mendapatkan pembenaran bagi kegelisahanku sendiri ketika membaca pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan Montaigne. Bahwa apa yang aku pertanyakan juga merupakan sesuatu yang tak hanya kegelisahanku saja.

Montaigne memang ingin menginstropeksi pemikiran yang malah menjauhkan manusia dari kehidupan dan hasratnya untuk bebas dari penderitaan yang tidak produktif. Bahwa manusia menginginkan kebahagiaan dan acapkali menyembunyikan penderitaan dengan kemunafikan. Meski demikian, kesangsian dan instrospeksi Montaigne itu tetap merupakan ikhtiar dan kerja intelektual demi mencari perspektif dan paradigma baru pemikiran dan kerja-kerja intelektual, memberinya relevansi pragmatis dan kesepadanan dengan kenyataan keseharian yang dijalani manusia, hingga dapat mengurangi kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan kehidupan keseharian manusia itu sendiri. Bertahun-tahun kemudian, soal dan masalah yang ditulis Montaigne itu dibaca dan disuarakan kembali oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche si filsuf yang penyair itu.

Dalam Essays-nya, Montaigne memang seringkali berbicara tentang celah, kerentanan, dan bahkan ketidakmemadaian ilmu pengetahuan yang terlampau menjauhkan diri dari kenyataan kehidupan manusia itu sendiri: paradigma yang kadang sepihak, perspektif yang kadang memilih dan semena-mena. Instropesksi dan kritik Montaigne itu mengingatkanku pada Epicurus dalam hal penekanannya untuk mempertimbangkan dan tidak mengabaikan sisi manusiawi dari ilmu pengetahuan dan kerja intelektual. Sebuah anjuran yang belakangan ini menjadi wawasan filosofis-nya Richard Rorty dalam konteks masyarakat demokratis-liberal.

Montaigne bertanya: “Apakah kita berani mengakui bahwa manfaat akal yang kita junjung tinggi dan karenanya kita menganggap diri kita sebagai penguasa segala makhluk? Apakah manfaat pengetahuan, jika demi dirinya sendiri, kita kehilangan ketenangan dan kepercayaan diri yang mestinya kita miliki? Apa guna akal jika sikap kita tak lebih baik dari babi yang diceritakan Pyrrho?”. Seberapa pun ekstrem dan kekanakkannya pertanyaan-pertanyaan Montaigne tersebut, tetaplah merupakan kejujuran untuk mengakui unsur-unsur yang begitu akrab dengan kondisi manusiawi kita: “Kita telah menunjukkan ketidakkonsistenan, kekhawatiran, keraguan, kepedihan, takhayul, ketakutan mengenai apa yang terjadi”, tulisnya.

Apa yang dilancarkan Montaigne salah-satunya merupakan upayanya untuk mengkritik pandangan-pandangan konvensional yang dia baca dan yang dia alami dalam keseharian yang dia saksikan dan yang dia dengar. Bahkan menurutnya apa yang dipercayai orang-orang semasa hidupnya tak lebih merupakan sejumlah kekeliruan yang diiyakan begitu saja tanpa pemeriksaan. Bahkan Montaigne berbicara layaknya seorang antropolog-naturalis bahwa kehidupan manusia seperti halnya makhluk-makhluk hidup lainnya dapat juga dipahami sebagai sejumlah adaptasi-adaptasi yang berkesinambungan, dan pemikiran hanyalah salah-satu caranya. Nada-nada yang disuarakan Montaigne tersebut di kemudian hari kembali didengungkan Nietzsche dengan bentuk yang aforistis, yang adalah salah-seorang pengagum kecerdasan Montaigne sebagai pengamat dan penulis yang nakal dan tangkas dalam mencerap pemikiran dan kenyataan keseharian.

Setelah beberapa tahun menghabiskan waktu-waktu kesehariannya di ruang perpustakaan pribadinya, Montaigne yang ingin mengisi masa-masa pensiunnya dengan membaca dan mendedikasikan dirinya demi ilmu pengetahuan, merasa gelisah dan tak puas dengan buku-buku yang dibacanya, lalu mengekspresikan kejengkelan dan kegelisahannya dengan menulis esai, mengkritik Cicero yang menurutnya kurang memperhatikan hal-hal remeh dalam keseharian kehidupan manusia itu sendiri: “Lelaki adalah makhluk celaka yang cuma mendengar dirinya sendiri dengan angkuh”, keluhnya, “pada kenyataannya, ribuan perempuan desa hidup lebih cerdas dan bahagia, lebih meyakinkan dan lebih konsisten ketimbang Cicero”.

Di ruang perpustakaan pribadi yang terletak di lantai tiga kastil indah miliknya, Montaigne tiba-tiba dibanjiri skeptisisme setelah melahap buku-buku kanon yang dibacanya selama berjam-jam di hampir setiap hari kehidupan masa pensiunnya, ia meragukan keabsahan dan relevansi tulisan-tulisan para pemikir dan filsuf yang dikaguminya, dan ia berusaha menengok ke aspek-aspek manusiawi itu sendiri, hingga ia pun sempat menulis sebuah puisi yang sarkastis: “Di atas singgasana tertinggi di dunia, kita bertahta, tetapi tetap di atas anus kita”.

Buah Rosella dan Bunga Songler (15)

Perlukah aku memikirkan apa itu kebahagiaan dalam rangka menemukan kesadaran dan pencerahan itu? Aku termenung sendiri dan bercakap dengan seseorang yang tak ada. Seseorang yang hanya kukhayalkan sebagai temanku berbincang dalam sunyi kesepian.

“Apakah aku bahagia?”

“Aku tak tahu……….”

Hari-hari di bulan Oktober tahun ini bagiku terasa panjang dan melelahkan. Di siang hari, panas terasa menyengat. Berbeda dengan tahun sebelumnya. Kukira musim kemarau akan berakhir di akhir Agustus, namun hingga akhir Oktober hujan belum juga datang. Cuaca yang selalu demikian membuatku mudah lelah dan menjadikanku malas untuk berjalan-jalan di luar. Meski begitu, aku masih melakukan apa yang senang untuk kulakukan. Menyirami tanaman. Kadang di pagihari. Kadang di sorehari. Juga menanam dan memindahkan tanaman dari satu media ke media lainnya jika usia mereka menurutku memerlukan tempat yang tak lagi sama. Memerlukan media yang lebih besar dan lebih luas agar mereka dapat tumbuh dengan bebas dan bahagia.

“Tapi, apakah aku sendiri bahagia?”

“Aku tak tahu………..”

Kubaca buku-buku filsafat dan sastra. Juga sejumlah majalah dan jurnal. Kurasa dalam rangka mengalihkan kebosanan dan kejenuhanku ketika aku menyibukkan diri dengan apa saja yang bisa kulakukan agar tak terjerembab dalam lamunan sia-sia. Namun, semua hal itu pun tetap saja membuatku malah kembali bertanya.

“Apakah banyaknya pengetahuan juga dapat membuatku bahagia?”

Mungkin saja, bila pengetahuan yang kudapatkan dari buku-buku itu menyenangkanku atau memuaskan rasa ingin tahuku. Atau berguna untuk kebutuhan praktis hidupku sehari-hari. Seperti ketika aku mencari tahu lewat youtube dan mesin pencari bernama google apa yang membuat bunga-bunga dan tanaman-tanaman yang kutanam dapat tumbuh dengan baik dan terlihat bahagia sehingga mereka pun dapat memberiku rasa bahagia karena rasa senang dari keindahan yang mereka hadirkan dengan ragam warna bunga-bunga mereka yang merekah dan berkembang.

Jadi, kadang aku menjawab ‘tak tahu’ ketika ada yang bertanya ‘apakah aku bahagia?’ karena terkadang ada saja rasa jenuh dalam hidup, bahkan ketika aku telah melakukan apa yang membuatku senang.

Aku duduk di bangku kayu di depan rumah. Di pinggir jalan dan sungai yang kering karena sengaja dikeringkan sebab sedang dilaksanakan proyek pengecoran tepiannya. Kupandangi barisan tiang-tiang lampu yang menunduk demi menerangi jalan dengan cahaya mereka. Meski belum terlampau padat dan sering, kini ragam kendaraan transportasi umum dan pribadi dan kendaraan pengangkut komoditas melintas setiap waktu tanpa henti. Tak seperti dulu ketika mereka tak melintas di tengah malam, hingga ketika itu malam akan terasa sangat sepi dan lengang tanpa suara-suara mesin atau kendaraan.

Kukenang masa kecilku berenang dan bermain-main di sungai bersama teman-teman. Menaiki sampan yang kubuat bersama teman-temanku dari gelondongan pohon-pohon pisang yang kami satukan dengan bilah-bilah bambu dengan cara menusukkan bilah-bilah bambu tersebut ke gelondongan-gelondongan batang-batang pohon pisang. Dan kami tak perlu mengayuhnya karena sampan itu akan berjalan sendiri terbawa arus sungai. Lalu kami akan mengangkatnya bersama-sama dari sungai bila jarak kami sudah cukup jauh untuk kemudian menceburkannya kembali di tempat semula di mana kami mulai menaikinya bersama-sama.

Kupikir kebahagiaan manusia hadir di masa kanak-kanak. Ketika mereka hanya tahu bermain dan melakukan apa yang mereka senang untuk melakukannya. Bukan karena tuntutan atau karena arahan dan perintah orang lain atau karena instruksi dan aturan pekerjaan. Ketika kebebasan mereka sungguh tulus dan tak dibuat-buat. Mungkin karena itu pulalah, ingatanku acapkali ingin mengembarai kembali kehidupan masa kanak itu.

“Apakah aku bahagia?”

“Yah! Aku bahagia…….”

Jika kebahagiaan adalah selagi aku masih sanggup menjalani hidup ini dengan jujur dan ikhlas. Seperti ketika aku melakukan apa saja bersama teman-temanku di masa kanak-kanak. Di masa kecil itu pula, aku dan teman-temanku pernah mengintip seorang bocah perempuan desa kami saat ia sedang mandi di sungai. Kami bersembunyi di rimbun pohon songler dan semak belukar yang tumbuh di pinggir sungai yang sekaligus tepi jalan. Saat itu sore hari hampir jelang magrib ketika kami pulang selepas mencari burung-burung di rumah-rumah mereka dengan jalan memanjat pohon-pohon besar yang menjadi tempat para burung membuat rumah-rumah mereka. Beberapa bulan kemudian, bocah perempuan yang usianya tak jauh berbeda dengan kami itu, meninggal terbawa arus sungai dan jasadnya baru ditemukan keesokan harinya di tempat yang sangat jauh dari desa kami. Sebagian orang desa kami yang turut serta mencari jasadnya percaya bahwa hantu sungai yang disebut Kekep adalah penyebab kematiannya. Hantu sungai itulah menurut mereka yang menyeretnya hingga ia tenggelam dan terbawa arus sungai.

Sebelum kematiannya yang tragis di sungai, yang kupandangi karena memberi lanskap unik sebab cahaya lampu-lampu jalan, ia kadangkala ikut bermain bersama kami. Seperti bermain gatrik dan permainan lainnya. Aku sendiri merasa berdosa kepadanya setelah ia dijemput ajal yang tak terduga.

Permainan-permainan yang kami lakukan itu membuat kami merasa senang dan bahagia. Kami bersaing, berlomba, dan beradu tanpa harus saling menyakiti dan menyingkirkan. Permainan bukanlah perang dan penjagalan yang kejam dan menyebabkan hadirnya penderitaan dan kesulitan. Dengan bermain, kami melampiaskan sisi gelap kami sebagai manusia ke dalam laku dan bentuk yang tidak merusak. Bertahun-tahun kemudian, hal itu juga kupahami pada olahraga yang juga sebagiannya merupakan permainan-permainan. Ada makna di dalamnya. Barangkali benarlah jika dikatakan bahwa kebahagiaan juga muncul dari sikap dan tindakan bermakna yang kita lakukan dalam hidup. Seperti dalam banyak permainan yang kami lakukan di masa kanak yang kini sebagian besarnya sudah tidak dimainkan lagi oleh anak-anak sekarang. Dan akhirnya:

“Apakah aku bahagia?”

“Yah aku bahagia ketika kebahagiaan kupahami dan kumengerti sebagai petualangan untuk menjelajahi dunia-dunia baru dalam bahasa.”