Arsip Kategori: Tahun 2013

Pantun, Lirik, dan Mantra “Api Bawah Tanah”

Raudal Tanjung Banua di Serang, BantenDisampaikan pada Diskusi Bedah Buku “Api Bawah Tanah” Karya Raudal Tanjung Banua di Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 22 November 2013 yang Diselenggarakan Oleh Bengkel Menulis dan Sastra (Belistra) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

“Lewat tangan daratan
yang terulur ke laut
Kami memandang tanah seberang
bangsa-bangsa, aneka suku
membayang. Juga benua jauh
dan nasib yang disisihkan.”

Seorang penyair yang telah bertahun-tahun bergelut dengan penulisan puisi dan “pengembaraan batin” serta “ziarah intelektual” tentulah memiliki fondasi dan prinsip yang didasarkan dan dilandasi oleh pilihan sadar ketika menjadikan “bentuk dan material estetika” tertentu bagi dan dalam kerja kreatif kepenulisannya. Seorang penyair memang bekerja dan berkarya berdasarkan pilihan “rasa” dan “imajinasi”, namun bukan berarti tidak ada logika dan “keteraturan” dalam karya-karya puisi yang ditulisnya. Bila kita meminjam telaah Nietzsche tentang seni dan teater Yunani kuno, contohnya, estetika dan sastra adalah perwujudan dimensi spirit apollonian dan spirit dionisian.

Yang pertama adalah keteraturan, logika, dan ciri yang tenang, sedangkan yang kedua merupakan unsur-unsur keliaran, gairah, spontanitas, dan ketakteraturan. Puisi dan seni biasanya merupakan hasil kompromi (perpaduan), bahkan konfrontasi antara keduanya. Ada saat-saat tertentu seorang penyair menulis puisinya dengan spontan seakan ia sedang mendapatkan ilham yang deras dan membuncah. Namun, tak jarang seorang penyair menulis puisi tak ubahnya seorang pengukir yang berusaha memahat kata-kata, kalimat, dan bahasa. Kedua hal itu lazim dialami dan dilakukan seorang penyair, sehingga puisi-puisi seorang penyair biasanya lahir dan ditulis dalam dua “moment” tersebut, karena inspirasi yang kuat dan karena ketekunan (craftsmanship), atau bahkan gabungan keduanya: inspirasi dan ketekunan.

Meskipun demikian, puisi tidaklah lahir dari “kekosongan” di luar dunia. Ia lahir dan ditulis dari “sebuah dunia” yang diamati, dilihat, dan dirasakan seorang penyair, entah menyangkut pengalaman dan kenangan penyairnya atau menyangkut ikhtiar intelektualnya yang kemudian di-rekonstruksi dan di-imajinisasi dengan daya pikir dan daya rasa, yang lalu ditulis dan disuarakan dengan rima dan bahasa. Saat mengimajinasi itulah seorang penyair berusaha “memahat” dan “mengukir” kata, kalimat, frase menjelma kiasan dan narasi.

Ia bisa saja menggunakan pilihan bentuk yang sudah ada dengan berusaha memperbaharuinya secara segar berdasarkan perkembangan bahasa dan ujaran mutakhir yang tidak lagi klise dan aus. Pengalaman pembacaan dengan karya-karya sebelumnya atau yang sezamannya, intertekstualitas, atau jam terbang “ziarah”-nya atas karya-karya orang lain dan dirinya sendiri biasanya akan memperkaya dan mematangkannya. Hal-hal tersebut, saya kira, telah ada dan dimiliki oleh Raudal Tanjung Banua, ketika puisi-puisinya berusaha melakukan penyegaran dan “penulisan ulang” pantun, lirik, dan mantra, utamanya dalam buku puisi keduanya setelah Gugusan Mata Ibu, yaitu Api Bawah Tanah, seperti ketika penyairnya berusaha melakukan parodi santun atas pesimisme lirik dan pantun Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke:

mereka yang tak berumah
tak akan membangun lagi
tapi di bantul,
mereka yang tak membangun
tentu tak akan berumah lagi.

maka dengarlah suara
bambu, bata, dan paku-paku
gergaji dan palu
pada berlagu
tentang rumah kecil papa
menjengkal segala lupa.

Puisi yang berjudul Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi itu adalah suatu narasi tentang masyarakat Bantul paska gempa Jogja tahun 2006. Puisi tersebut memberitahu kepada kita, para pembaca, bahwa saat kejadian gempa di Jogja itu, penyairnya teringat paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke,

“Mereka yang tak berumah,
tak akan membangun lagi.
Mereka yang sendiri, akan lama menyendiri,
akan jaga, membaca, menulis surat panjang
dan akan melangkah hilir mudik di jalanan
gelisah, bila dedaunan beterbangan”

(Terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Krista Saloh-Forster).

Bila kita baca sekilas, paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke dan puisi Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi-nya Raudal Tanjung Banua tersebut seakan tidak ada perbedaan yang penting secara stilistik dan dari sudut “dunia” dan “kosmologi”-nya. Tetapi, bila kita simak secara seksama, nampaklah bahwa puisinya Raudal Tanjung Banua lebih kuat bunyi pantun-nya, sedangkan puisinya Rilke menggabungkan keseimbangan bunyi lirik dan pantun.

Tentu saja, dua puisi tersebut juga berbicara tentang konteks dan peristiwa yang berbeda: Rilke bercerita tentang seseorang, yang dalam hal ini Rilke sendiri, sebagai orang asing yang merasa kesepian, yang pada saat bersamaan ia bandingkan dengan nasib orang-orang yang terasing dan terusir, sementara Raudal Tanjung Banua berusaha menghadirkan makna dan arti rumah sebagai “ruang tinggal” atau space of staying sekaligus sebagai space of going (ruang kepergian) ketika si penyair melakukan komparasi pada dirinya sendiri sebagai seorang yang “hijrah” dari tanah kelahiran pada satu sisi, dan pada sisi lainnya tentang pentingnya rumah bagi para settler, bagi orang-orang yang telah lama “tinggal” yang menjadikan dan memaknakan rumah sebagai tempat berlindung satu-satunya yang sekaligus makna “rumah” bagi si penyair sebagai sesuatu dan ruang yang intim sekaligus asing.

Dalam puisi tersebut, penyairnya juga tampak sengaja mengaburkan makna “rumah” sebagai tempat dan ruang tinggal dan sebagai “kampung halaman”. Namun, baik puisinya Rilke dan Raudal Tanjung Banua sama-sama “mengimajinasikan” dan “menggambarkan” rumah sebagai “ruang batin”:

“kemarau dengan lebuh debu
telah berlalu di langit dukuh
bersama rumah-rumah yang dulu
tak kuasa menanggung berat derita bumi
kini semua tegak kembali
merekat yang lama dan yang baru
yang manis, retak dan kelabu.

mereka yang sendiri
mungkin akan lama menyendiri
di sudut rumah rindu minta dihuni
dan mereka yang pergi
tentu tak akan membangun lagi
karena rumah, karena rumah,
hanyalah tanda kasih, kecil-papa,
jauh di bumi.”

Teranglah kepada kita, bila kita baca sekali lagi, kita akan menemukan makna “rumah” dalam arti yang lebih luas, yaitu ekologi dan lingkungan, yang dalam sajak tersebut digambarkan sebagai “derita bumi” yang tentu saja dapat kita artikan sebagai “kerusakan ekologi” yang menyebabkan rusaknya keseimbangan dan ekosistem yang berdampak pada “bencana”. Ternyata, dalam puisi, kata “rumah” yang selama ini hanya kita anggap sebagai “kata benda” bisa juga memiliki arti dan makna “kata keterangan” yang memancarkan ragam arti dan “pemaknaan” sesuai dengan konteks puisi dan struktur “teks” puisi itu sendiri. Karena itulah, seringkali dikatakan, sebuah puisi atau teks sastra secara umum, menciptakan “dunia”, “kosmologi”, dan “realitas” sendiri, yang bahkan acapkali lepas dari intensi dan “niat pemakanaan” yang dikehendaki oleh penyairnya.

Tepat, di sini lah, bila kita meminjam wawasan hermeneutika, teks sastra mengalami dan mendapatkan dirinya “otonom” atau terbebas dari penulisnya. Sebab, karya sastra dan “teks” yang telah dituliskan atau “fixed writing” telah memiliki kemungkinan pembacaannya sendiri, meski kita dapat saja menelusuri sejarah konteks penulisan dan latar belakang penulisnya sekedar untuk mengetahui konteks sosiologis atau politis sebuah teks sastra sebelum kita membaca teks sastra itu sendiri.

Secara umum, puisi-puisi Raudal Tanjung Banua yang terkumpul dalam buku Api Bawah Tanah masih setia mempertahankan bentuk dan bunyi pantun dan mantra, sebagaimana dalam buku pertamanya yang berjudul Gugusan Mata Ibu. Kita tahu pantun merupakan bentuk yang tertib dan dapat melahirkan sugesti dan “aura” magis bunyi mantra karena repetisi rimanya, sebuah unsur yang juga lazim ada pada seni musik. Repetisi inilah yang membuat sebuah bunyi dan narasi puisi menjelma musik yang menggunakan kata-kata dan bahasa sebagai instrument musikalnya. Selain unsur musik, yang terkandung dalam pantun adalah juga permainan, terutama permainan bunyi dan rima yang tentu juga mensyaratkan kecerdikan dan kemahiran seorang penyair untuk menulis sebuah puisi pantun yang tidak aus alias sekedar mengulang khazanah lama tanpa melakukan upaya “penulisan” kembali yang sejalan dengan perkembangan bahasa dan ujaran kita saat ini.

Pada konteks inilah puisi-puisi Raudal Tanjung Banua berusaha “mengaktualkan” khazanah pantun dan mantra yang merupakan khazanah warisan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Melayu, yang tentu telah diakrabinya secara sangat baik sebagai seorang penyair yang lahir dari “tradisi” tersebut, sebuah tradisi yang juga telah diakrabi dan diolah para penyair Indonesia di masa lalu semisal Amir Hamzah yang puisi-puisinya juga mencerminkan kematangan “penggabungan” khazanah lirik dan pantun.

Sebagaimana dapat kita baca dalam buku Api Bawah Tanah dan Gugusan Mata Ibu, tanah kelahiran penyairnya, kampung halamannya, yang dapat kita artikan juga sebagai “tradisi” dan “khazanah hidup”, atau tentang tempat-tempat yang minimal telah dianggapnya sebagai “kampung halaman” secara bathin serta ingatan tentang itu semua menjadi bahan material dan perenungan banyak dari puisi-puisinya, meski penyairnya telah lama tinggal dan bergelut di Jogjakarta, yang sebagai perwakilannya dapat kita contohkan dengan puisinya yang berjudul Ziarah Pohon:

“Di Wangka, sepanjang Sungaiiliat dan Belinyu
dari Tanjung Penyusuk ke Tanjung Ru
aku berziarah. Bukan ke Gua Maria
bukit Moh Thian Liang, bukan ke Bakit
makam Hotaman Rasyid, bukan ke Liang San Phak
dan makam keramat Kapitan Bong
di klenteng dan sunyi Benteng Kutopanji.

Aku berziarah ke pohon-pohon masa kecilku
yang berderet mengurung
halaman kampung –kampung halaman
jauh terpencil.

Durian nangka cempedak hutan
daun-daunnya gugur di angin santer
langsat manggis duku
pucuk-rantingnya sayup di awan.
Semak rangsam di pinggir jalan
rumpun sagu di rawa selokan
cengkeh dan mete rimbun daun
di pantai ketapang mencumbu karang
bambu-pimping-paku bergoyangan di tebing
berpakis haji. Jambu-kweni-ambacang
jatuh berdebum di halaman klenteng dan surau kampung
bangunkan lelap muazin dan penggerek lonceng.
Kantong semar memerangkap serangga
dan kupu-kupu, diam-diam,
hingga mumbang jatuh kelapa jatuh
di pantai itu!

Begitulah kuziarahi pohon-pohon hayatku
yang menyatu sebagai liat tubuh ibu
bayang-bayangnya melindap
meneduhi bunga dan akar yang kurawat.”

Seperti terasa jelas kepada kita sebagai pembaca, “ziarah” yang ditawarkan puisi berjudul Ziarah Pohon tersebut adalah ziarah batin, menziarahi segala hal yang telah akrab bagi penyairnya, bukan ziarah kepada monumen-monumen dan tugu-tugu bisu yang tidak berkaitan dengan pengalaman hidup dan pengalaman batin seorang penyair, di mana seorang peziarahnya tak lain adalah seorang penyairnya sendiri. Apa saja yang diziarahinya? Bila kita mengacu kepada puisi Ziarah Pohon tersebut, si penyairnya menziarahi detil-detil tempat dan benda-benda yang pernah dijumpai, dihidupi, dan diintiminya: “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” bathin-nya, sebelum seorang penyairnya akhirnya hijrah dan meninggalkannya, yang karena “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” itu telah sedemikian nyatanya, minimal secara batin, membuatnya tetap nyata dan akrab meski telah ditinggalkan, menjadi ingatan dan kenangan batin, menjadi “space of staying” batin. Ia tidak “menziarahi” tempat-tempat, tugu-tugu, dan monumen-monumen yang tidak “berkenaan” dengan pengalaman hidup dan kenangan serta ingatan batinnya sebagai seorang penyair.

Begitu pun, dalam puisi Ziarah Pohon tersebut, penyairnya hendak memberikan pemaknaan bahwa “ziarah” bukanlah semata “wisata” yang sifatnya sekedar menjumpai “eksotisme” atau “masa silam” yang tidak “menyumbangkan” kosmik subjektif bagi “historiografi personal” si penyairnya.

Sulaiman Djaya

Membaca Perpuisian Mutakhir Indonesia

Hermes Scarves

Disampaikan di Cibutak, Bandung 2 Maret 2013

Estetika, yang dalam hal ini puisi, sebagaimana dimaklumatkan penyair dan kritikus T.S Elliot dalam beberapa esainya, tidaklah lahir dari ruang hampa sejarah, termasuk tradisi. Di mana menurut T.S Elliot, kreativitas individu seorang penyair atau penulis, sebebas apa pun, tak sepenuhnya tanpa sumbangan tradisi. Dalam hal ini, dapat juga dikatakan, estetika dan kesusastraan sebagai sebuah ikhtiar dengan dan bersama sejarah dan pengalaman manusiawi itu sendiri juga dapat melahirkan suara-suara segar, meski masih membicarakan atau menyuarakan tema-tema abadi yang sama dengan abad-abad silam para penulis sebelumnya. Namun tak jarang, hanya melahirkan repetisi yang memang sekedar pengulangan. Berangkat dari aras wawasan yang demikian, sangat mungkin sebuah perkembangan, yang kita namakan kemutakhiran, selain melahirkan progress, juga sengaja atau tanpa sengaja, dihadiri degradasi alias kegagalan, yang mudah-mudahan saja tidak terjadi dalam sejumlah karya yang termuat dalam dua buku antologi ragam penyair yang akan dibahas dalam tulisan ini: Tuah Tara No Ate dan Sauk Seloko.

Dan tentu saja, pemilihan dua buku yang memuat ragam karya penyair tersebut didasarkan pada sejumlah alasan dan pertimbangan. Pertama, sebagai sebuah kumpulan karya hasil kurasi yang dilakukan para penulis dan kritikus, karya-karya dua buku tersebut didasarkan pada argumen atau diargumentasi dengan wawasan dan pandangan, yang meski berbeda, tetapi memiliki nada yang sama: optimisme pada perpuisian mutakhir Indonesia, di mana optimisme tersebut akan menarik untuk “dilihat ulang.” Kedua, para penulis dalam dua buku tersebut cukup mewakili ragam daerah alias domisili para penulisnya, yang semoga saja juga mencerminkan kultur masing-masing, hingga selain kita dapat melihat ragam sekaligus beda suara dalam karya-karya mereka, kita pun dapat menemukan ragam budaya atau bahkan gaya, yang barangkali merupakan ciri khas kepenulisan di setiap daerah dan wilayah yang berbeda. Meskipun demikian, dipilihnya dua buku tersebut lebih merupakan “cermin pinjaman” untuk melihat perpuisian mutakhir Indonesia.

Persinggungan, Lokalitas, Kecendrungan

Jika kita meminjam analisis-teoritik dan prinsip estetiknya T.S. Elliot dalam esainya yang berjudul Tradition and Individual Talent, itu ada beberapa ukuran atau prinsip estetik ketika kita ingin membaca kemutakhiran karya-karya estetik, yang dalam hal ini puisi, dari kelampauan, termasuk di dalamnya adalah tradisi, yang tentulah berkait dengan corak historis dan kultur sebuah bangsa dan masyarakat di mana penyair hidup dan menuliskan karya-karyanya. Sebab, seperti yang diungkapkan langsung T.S. Elliot dalam esainya, itu setiap bangsa dan masyarakat tak hanya memiliki cara berpikir kreatifnya sendiri, namun juga cara berpikir kritisnya sendiri. Di sini, Elliot mengemukakan tiga prinsip estetik ketika kita ingin membaca kemutakhiran tersebut.

Pertama, kemutakhiran perpuisian Indonesia dapat dibaca lewat usaha pembandingan dengan corak dan bentuk karya-karya yang pernah ditulis di masa lalu, yang kemudian pada saat bersamaan kita dapat mengkontraskannya, di mana dengan prinsip estetik ala T.S. Elliot yang Kedua ini, kita lalu dapat juga melihat dan membaca sejauh mana para penulis atau penyair sanggup melakukan penyesuaian kreatif dari dan terhadap karya-karya masa lalu yang mereka baca, hingga karya-karya mutakhir para penyair tak hanya sekedar melakukan pengulangan verbal mentah-mentah, sebab tradisi dalam konteks ini bukanlah ketaatan buta kita kepada formula lama, meski juga tak mesti mencampakkannya secara total. Kemampuan untuk menyesuaikan atau penyesuaian inilah yang ia sebut sebagai prinsip estetik Ketiga.

Membaca sejumlah puisi yang termuat dalam dua buku: Tuah Tara No Ate dan Sauk Seloko, kita akan segera mendapati ranah persinggungan, lokalitas, dan kecendrungan, yang bila kita baca dengan kerangka analisisnya T.S. Elliot, itu merupakan puisi-puisi yang memang berusaha mencari dan menemukan suara-suara baru, bahkan gaya baru, demi membedakan dirinya dengan warisan puisi-puisi lama, semisal maraknya puisi yang bergaya prosa bebas, bahkan naratif, itu tapi pada saat yang sama, ada banyak puisi yang berusaha menghidupkan khasanah lama, terutama para penyair di wilayah dan jazirah Sumatra, yang bangga dengan corak Melayu dan bentuk pantun, dengan memodifikasinya sedemikan rupa, semisal dengan gaya prosaik laiknya sebuah puisi yang mengkisahkan sebuah cerita pendek.

Corak Melayu dan bentuk pantun para penyair yang seakan bangga dengan warisan Melayu-nya itu bahkan sebenarnya kadang tak memodifikasi warisan gaya pengujaran pantun lama itu sendiri, kecuali tema-tema puisinya yang memang berbeda. Beberapa puisi, terutama yang termuat dalam Sauk Seloko itu (yang untungnya bukan puisi-puisi karya para penyair Indonesia), bahkan dapat disebut sebagai kerja estetik yang tak sanggup beranjak jauh dalam persinggungannya dengan warisan estetik Melayu itu sendiri. Terpatah-patah, gagap, hingga hanya menuliskan bunyi dan suara yang sebenarnya dapat disebut sebagai kegagalan kreatif estetik, sejauh upaya untuk memberi warna segar pada apa yang akan kita sebut sebagai Melayu yang bangga.

Namun meskipun demikian, sepertinya memang tidak berlebihan jika kita masih tetap optimis dengan kemutakhiran perpuisian Indonesia, sebab dapatlah dikatakan sejumlah puisi mampu tampil sebagai karya-karya segar atau inventif, meski dikembangkan dari khazanah dan formula lama, semisal dari khazanah pantun dan gurindam. Di sini, kita dapat mencontohkannya (tentu sebagai salah satu contoh) dengan puisi-nya Nazar Shah Alam yang berjudul Madah Mahar, yang ketika bermain-main dengan corak pantun dan gurindam, pada saat bersamaan menghadirkan satir-musikal yang enak dibaca dan didengar, yang tentu saja berbeda dengan puisi-puisi yang “mengkhotbahkan petuah verbal”, baik petuah politik atau pun petuah moral yang lebih terkesan tak ubahnya maklumat kampanye partai politik.

Sejumlah puisi yang termaktub dalam Tuah Tara No Ate dan Sauk Seloko juga rupanya secara sadar mengangkat tema-tema lokalitas, semisal hikayat dan mitos lokal dalam masyarakat di mana penyair hidup dan menuliskan karya-karya puisi mereka, sembari juga berikhtiar menampilkan khazanah corak dan gaya penuturuan puisi itu sendiri. Kecendrungan para penyair dalam mengangkat tema-tema atau pun khazanah corak lokal ini bahkan dapat disebut sebagai sebuah trend, terutama para penyair yang berdomisili di luar Jawa, seakan-akan mereka memang secara sengaja ingin mengangkat “kosmik” dan khazanah lokal itu sendiri, dan seakan-akan mereka pun ingin mengatakan bahwa ada kearifan dan humanisme dalam wawasan dan khazanah lokal, yang di masa kesusastraan Chairil Anwar dipandang sebelah mata.

Meskipun demikian, para penyair yang terutama berasal dari wilayah Jawa, semisal Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur beserta Bali, lebih bebas alias tidak terlampau berambisi untuk hanya terpaku pada yang lokal semata, meski kadang-kadang memunculkan khazanah yang local pula. Penyair-penyair di Jawa dan Bali, rupa-rupanya, lebih terasa lepas dengan persoalan-persoalan lokalitas, meski tak sepenuhnya. Mereka cenderung lebih nyaman dengan upaya mencari suara dan metode-metode baru penuturan sajak, tanpa harus merasa terikat dengan bentuk-bentuk pantun lama atau gurindam, misalnya. Mereka juga tak sungkan-sungkan menyuarakan renungan-renungan yang sifatnya berlatar pengalaman atau renungan personal.

Dapatlah dikatakan, para penyair semisal Pranita Dewi, Ahmad Faisal Imron, Dian Hartati, Ni Made Purnamasari, Wahyu Arya, Na Lesmana, Ni Made Frischa Aswarini, dan yang lainnya, terutama dari kalangan para penyair muda, menjadikan puisi sebagai media untuk mengangkat atau menyuarakan persoalan-persoalan humanisme umum dengan ragam isu, tentu saja, tanpa merasa berambisi untuk mengangkat tema-tema lokal, meskipun kadang-kadang para penyair itu mengangkat juga soal-soal lokalitas, yang sebenarnya dapatlah juga dibaca hanya sebagai peminjaman sementara ketika mereka mengangkat atau menyuarakan tema-tema humanisme umum, entah yang sifatnya sosial-politis atau pun yang eksistensial. Mereka juga tampak berusaha untuk menemukan gaya atau metode penuturan, yang meski belum bisa lepas sepenuhnya dari corak dan gaya lama, demi “mengatasi” keterbatasan bahasa dan penuturan, tanpa mesti terlampau terpaku pada corak dan gaya perpuisian lama, semisal gurindam dan pantun klasik, sebagai contohnya.

Masalah Identitas

Selain persoalan ikhtiar untuk menemukan metode dan gaya penuturan alias pengungkapan puitis itu sendiri, salah-satu hal yang menarik dalam perpuisian mutakhir Indonesia adalah sejumlah ragam tema yang disuarakan karya-karya puisi para penyair, yang sedikit-banyaknya dapat dibaca sebagai upaya para penyair untuk “menggapai” identitas kepenyairan masing-masing dengan upaya mereka dalam ikhtiar menemukan bentuk penulisan dan tema yang mereka angkat atau yang mereka suarakan. Hanna Fransisca, sebagai contohnya, tampak cukup konsisten mengangkat tema-tema seputar persinggungan etnik Tiongkok di Indonesia, semisal gugatan tentang konsep “pribumi” dalam lanskap kewargaan Indonesia di mana menurut Hanna etnik Tiongkok seolah-olah selalu saja dianggap sebagai non-pribumi meski telah menjadi warga Negara Indonesia dan telah tinggal puluhan tahun, terutama yang berkaitan dengan Singkawang. Hanna Fransisca adalah contoh penyair mutakhir Indonesia yang bergelut dengan persoalan identitas seperti ini, berusaha memprotest-nya atau menggugat-nya demi menemukan dan menawarkan wawasan baru persoalan identitas itu sendiri.

Namun, persoalan identitas ini juga adakalanya berkenaan dengan upaya untuk menampilkan lanskap lokal tempat-tempat di mana para penyair tinggal dan menuliskan puisi-puisi mereka. Di sini, sebagai contohnya, karya-karya puisi yang ditulis di NTT, NTB, dan wilayah Timur Indonesia, persoalan identitas ini mencuat sebagai upaya untuk mengangkat atau menyuarakan sejarah lokal atau lanskap etnik tempat atau domisili wilayah para penyair di sejumlah daerah tersebut. Di sini, kita bisa mencontohkannya dengan puisi-puisinya Ishack Sonlay, Dino F. Umahuk, Sindu Putra, Mario F Lawi, Marina Lewier, Mahmud Jauhari Ali, Kiki Sulistyo, dan yang lainnya, yang berusaha menyuarkan lanskap, baik historik maupun mitologik, tanah tinggal dan tanah kelahiran mereka sebagai sejumlah sumber tema dan wawasan dalam penulisan puisi-puisi mereka. Dalam hal ini, lokalitas berkelindan dengan tema atau masalah identitas.

Membaca Perpuisian Mutakhir Indonesia

Eksperimentasi penulisan dan atau penuturan dan keragaman tema yang diangkat dan atau disuarakan, itulah gambaran simpilisistis untuk menggambarkan perpuisian mutakhir Indonesia, yang meski tidak dapat dikatakan sangat tepat, namun setidak-tidaknya dapat menjadi figura sementara dalam membaca “kemutakhiran” perpuisian Indonesia, di mana dalam usahanya untuk melakukan “kompromi”, “perlawanan”, dan “penyesuaian” dari dan terhadap gaya dan bentuk “kelampauan” perpuisian Indonesia, adakalanya hanya beranjak sedikit saja dari tradisi dan khazanah masa silam, dan memang kadang “berhasil” menampilkan diri dengan segar dan “mencengangkan”. Sementara itu, dalam soal tema dan lanskap, banyak sekali para penyair yang dengan percaya diri mengangkat dan menampilkan tema-tema “lokal-partikular” yang berkenaan dengan khazanah historik dan mitologik tentang tempat-tempat di mana penyair tinggal dan menuliskan puisi-puisi mereka, meski tak sedikit pula yang mengangkat dan menyuarakan tema-tema dan lanskap yang sifatnya perenungan personal-eksistensial dan tema-tema atau lanskap sosial-politik yang dikumandangkan dengan puisi-puisi yang menyuarakan ironi dan sindirian sosial.

Akhirnya, “berkah” Perpuisian Mutakhir Indonesia tersebut memang dapatlah dikatakan terletak pada ikhtiar eksperimentatif penuturan dan atau gaya penulisan puisi mereka itu sendiri, yang acapkali sangat prosaik, juga dalam keragaman tema dan lanskap yang menjadi kosmik dan lanskap puisi-puisi mutakhir Indonesia, yang dalam hal ini, puisi-puisi yang termaktub dalam dua buku antologi: Tuah Tara No Ate dan Sauk Seloko.

Sulaiman Djaya