Buah Rosella dan Bunga Songler (11)

Membayangkan masyarakat perkotaan berusaha dengan sabar dan tabah menjalani rutinitas mekanik itu, terpikir olehku kenapa mereka membutuhkan penghiburan instan demi menghilangkan kejenuhan dan kebosanan. Tentu saja kehidupan orang-orang kota tak semuanya membuahkan rasa bosan dan jenuh. Mereka selalu punya cara untuk menikmati hidup seperti bercengkerama dan bersua di kafe-kafe atau menikmati hiburan malam di akhir pekan sesuai dengan kemampuan finansial mereka dan juga berlibur di akhir pekan bersama keluarga mereka. Aku mengkhayalkan kehidupan mereka menjadi fiksi melodrama singkat. Sekedar cerita iseng sebagai upayaku untuk mengalihkan kesepian dan kesunyian dengan menulis prosa yang tak terlampau serius demi mendapatkan contoh penggambaran fragmen kehidupan orang-orang kota dan mereka yang menjadi para pekerja harian. Dan kubayangkan tokoh si lelakinya adalah aku sendiri.

Di sore sendu yang dingin dan basah itu, dengan langkah teratur, agak sedikit berlari, sembari menutupi kepalanya dengan salah satu tangannya, ia datang ke halte di mana aku duduk menunggu bus yang akan membawaku pulang ke kontrakanku, dan tanpa berkata sepatah kata pun sekedar untuk menyapaku, ia duduk di sebelahku. Tubuhnya tak terlalu tinggi, tapi juga tak terlalu pendek. Mengenakan rok yang ujungnya menyentuh kedua lututnya. Rambutnya sedikit agak basah karena butir-butir gerimis. Gugusan rambut hitam yang cukup indah dan tertib bagi seorang wanita pekerja.

Awalnya aku ragu untuk memulai menyapanya, sekedar untuk menghilangkan kebosanan dan kejenuhanku dalam keadaan menunggu bus saat hendak pulang magang selama setengah jam lebih itu, namun akhirnya aku memberanikan diri juga untuk memulai perbincangan, sebuah percakapan untuk mengusir kesepian dalam cuaca dingin yang membuat tubuhku menggigil. “Mau pulang ke mana, mbak?” tanyaku mengawali kebekuan dan kebisuan dalam gerimis itu. “Ke Pondok Labu…..” ia menjawab tanpa menolehkan wajahnya ke arahku. “Kebetulan kita satu arah….” Ujarku. “Mas pulang ke mana?” ia akhirnya merasa tertarik juga untuk melakukan perbincangan. “Ke Ciputat….” Jawabku.

Namun, ketika ia mulai menolehkan wajahnya ke arah wajahku, aku dirundung malu yang tak terkira, dan jantungku tiba-tiba berdebar kencang. “Hei…..kamu kan….?” Ia berkata dengan agak berteriak. “Kamu lupa sama aku yah?” Sungguh aku tak menyangka jika ia adalah perempuan teman lamaku. Tiba-tiba saja aku menjadi kikuk dan diserang gundah. Menjadi seorang lelaki tolol tanpa alasan yang jelas. “Tak usah malu sama aku seperti ituh donk…!” Ia malah menggoda, dan saat itu aku bertambah kikuk, sehingga ia malah tersenyum dan hampir menertawaiku karena kecanggunganku yang terjebak dalam situasi yang lebih mirip kecelakaan yang tak kuinginkan.

Ketika itu bagiku ia masih terlihat cantik, malah lebih cantik dibanding saat aku mengenalnya untuk pertama kali di sebuah kampus ketika ia masih seorang mahasiswi, dan kami memang tak bertemu selama sekira sepuluh tahun, sebelum akhirnya datang dan hadir tiba-tiba tanpa kuduga ke halte di mana aku duduk sendirian dalam keadaan kesepian, bosan, dan menunggu. “Kamu masih tetap cantik, dan bahkan semakin cantik dengan pakaian seragam kerjamu yang kau kenakan saat ini,” ujarku demi menutupi kecanggunganku sebagai lelaki yang tiba-tiba jadi tolol dan kikuk. “Sudah lama di Jakarta?” “Tiga bulan lebih…..”

Sungguh aku merasa malu ketika ia menanyakan pekerjaanku, sebab aku memang hanya seorang pekerja magang di sebuah media di kawasan Kebon Sirih, tempat yang tak jauh dari tempatnya bekerja yang kantornya hanya beberapa ratus meter dari Halte Busway Bank Indonesia. Tak kusangka, saatku terjebak dalam hujan di sore itu, aku pun terjebak pada pertemuan dengan seorang perempuan yang tak kuinginkan untuk bertemu dalam situasi seperti itu, karena hanya akan menambah luka kenangan bagiku. Entah perasaan apa yang ada di hati dan benaknya saat itu, hingga ia mengajakku untuk menikmati senja itu dengan sedikit obrolan.

“Boleh kan aku mentraktirmu setelah bertahun-tahun kita tak bertemu?” “Hmmmm…..gimana yah, aku harus sampai di tempat di mana aku ngontrak saat isya…” “Ayolah…..kita kan sudah lama tak bertemu….apa salahnya sekali ini saja kita ngobrol….ada beberapa hal yang ingin kuceritakan padamu setelah sekian lama kita tak bertemu.”

Sialnya adalah saat itu aku tak punya cara dan siasat lagi untuk mengelak ajakannya, dan kami pun akhirnya memilih sebuah kafe kecil, yang tak jauh dari halte di mana kami bertemu tanpa sengaja itu, sekedar menikmati kopi kesukaannya dan kopi kesukaanku untuk menghangatkan tubuh kami yang kedinginan sembari kami berbincang, berbicara secara bergantian, meski ia yang paling banyak berbicara dan menceritakan ihwal dirinya selama kami tak bertemu selama bertahun-tahun.

“Saat ini aku sudah menikah, punya anak dua, dan suamiku untuk saat ini sedang ada proyek di luar Jakarta sampai beberapa bulan ke depan. Ia seorang insinyur sipil dan saat ini ia sedang ada tugas di Semarang untuk membangun sebuah Hotel. Sejak pertemuan terakhir kita, aku sebenarnya masih berharap untuk bertemu denganmu dua tahun setelahnya, dan ternyata harapanku itu sia-sia, sehingga di tahun ketiga sejak pertemuan terakhir kita itu, aku bertemu dengan lelaki yang kini jadi suamiku.” Aku hanya patuh mendengarkan ceritanya sembari sesekali menyeruput kopi Nescafe hitam dan menghisap rokok kretek kesukaanku. “Sebelum kami menikah, kami sempat pacaran dulu selama enam bulan, dan di bulan ketujuh ia mengajakku bertunangan, dan ia datang kepada kedua orang tuaku untuk melamarku…..Kamu sendiri gimana? Apakah kamu masih memikirkanku setelah pertemuan terakhir kita itu?”

Saat itu aku masih saja merasa kikuk dan canggung, bahkan untuk sekedar menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan yang diajukannya. Obrolan itu berlangsung satu jam lebih saja sampai kami menyudahinya karena memang pada akhirnya kami harus pulang ke tujuan kami masing-masing. Tapi pertemuan tak terduga itu akan berlanjut dengan pertemuan rutin kami setiap akhir pekan selepas kerja. Pertemuan dua orang sahabat lama yang pernah saling jatuh cinta.

Fragmen cerita khayalan itu kutulis di saat aku kesepian di kamarku di sebuah kontrakan di suatu malam saat gerimis tak juga berhenti ketika aku ingin keluar. Cerita singkat rekaan itu adalah contoh upayaku sendiri membunuh kesepianku agar tidak melamun di dalam kamarku saat aku merasakan nestapa hidup di Jakarta selama berbulan-bulan di tahun 2011 dengan honor yang hanya cukup untuk makan dengan berusaha menghemat secerdik mungkin. Kecuali aku dapat rizki lebih dari honor menulis, barulah aku bisa nongkrong di kafe yang menyediakan hiburan sembari menikmati panganan dan kopi kesukaanku. Seperti di Café Batavia.