Arsip Kategori: Kolom Lepas

Posisi Sosial Politik Sastra

(Sumber: Radar Banten, 17 Oktober 2015)

|

Pentingnya dunia intelektual dan kepenulisan (yang tentu saja di dalamnya adalah sastra), sembari meneropong dan melihatnya dalam keterkaitannya dengan aspek tradisi dan institusi, akan mengingatkan kita pada kerja yang telah dilakukan Rabindranath Tagore yang gigih hingga akhir hayatnya memperjuangkan tradisi keaksaraan, sampai-sampai ia mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Santiniketan meski ketika itu ia dalam kesulitan finansial, dan juga akan mengingatkan kita pada Amartya Sen, yang seperti halnya Rabindranath Tagore, juga memandang dunia pendidikan dan keaksaraan sebagai fondasi utama kekuatan dan kemajuan sebuah masyarakat atau pun bangsa, sebagaimana yang ia sampaikan dalam ceramahnya di Southeast Asian Studies di Singapura pada tahun 1999.

|

Dua tokoh pemikir tersebut sama-sama melihat kerja intelektualisme dan kepenulisan atau keaksaraan akan sangat terkait dengan upaya pembangunan tradisi dan institusi itu sendiri sebagai penjaga dan penyelenggaranya. Bila kita tambahkan, salah-satu wujud penciptaan tradisi dan institusi tersebut adalah juga keberlangsungan komunitas yang konsen dalam bidang kepenulisan dan ihktiar intelektualisme. Tradisi membaca dan kerja kepenulisan, juga penerjemahan tentu saja, akan menyumbang pada peningkatan kapasitas kemampuan masyarakat dalam memajukan diri mereka, terutama dalam kontestasi global saat ini, yang mengandaikan kecakapan dan kekayaan pengetahuan untuk menyikapi dan menghadapinya.

|

Buku dan kata, seperti yang dikiaskan dengan indah dan jernih oleh Vaclav Havel melalui esainya yang berjudul Ein Wort uber das Wort, bahkan bisa mengubah dan membalikkan sejarah ummat manusia, semisal kata demokrasi yang telah meruntuhkan kekuasaan politik otoriter yang dirasa lebih banyak memberikan ketakbebasan dan kurang menyumbang produktivitas hidup manusia yang meniscayakan kebebasan dan terbukanya ruang-ruang publik yang tidak lagi berada dalam tekanan dan kontrol kekuasaan politik yang berlebihan dan menindas masyarakat (Vaclav Havel, Menata Negeri dari Kehancuran, YOI 1995).

|

Karena itulah kita sadar bahwa persoalan pembangunan literasi bisa dibilang kompleks, ia memang mengandaikan hadirnya institusi-institusi pendukung yang akan menjaga kelangsungan kerja-kerja kepenulisan dan keaksaraan, termasuk menciptakan pasar dan menyelaraskan kepentingan antara intelektualisme dan sumbangannya bagi pencerahan dan peningkatan kualitas hidup yang merupakan keinginan dan aspirasi banyak orang. Sementara itu, di luar persoalan membangun institusi dan tradisi, persoalan kepenulisan seringkali lahir dari individu-individu yang tekun dan memang dengan sungguh-sungguh mencintai kepenulisan dan kerja-kerja intelektual, sehingga seberapa pun banyak buku-buku panduan dan wawasan menulis, buku-buku hanya menjadi teori yang tidak produktif bila setiap pembacanya tidak langsung memulai dan melakukannya dengan langsung mempraktekkan kerja-kerja kepenulisan dan keaksaraan yang dimaksud. Juga sebaliknya, buku-buku teori dan panduan menjadi berguna bagi mereka yang membutuhkan bimbingan dan wawasan tentang apa dan bagaimana menulis yang baik dan layak mendapatkan sambutan publik dan pasar.

|

Di sini, kita tentu dapat bercermin dari Restorasi Meiji di Jepang 1868-1911 yang memprioritaskan anggaran dan prioritas pendidikan dan keaksaraan hingga mencapai angka 43% (Amartya Sen, Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan, Mizan 2000). Itu karena para penentu kebijakan dan para founding fathers di Jepang ketika itu sepenuhnya sadar bahwa sebelum menggalakan industrialisasi dan pembangunan ekonomi lainnya, yang pertama-tama harus dilakukan adalah mempersiapkan kemampuan, skill, dan pengetahuan manusianya supaya siap bekerja dalam bidang-bidang kerja modern hingga dapat memberdayakan bangsa sendiri secara maksimal.

|

Dengan menggalakkan masyarakat membaca, Jepang sepenuhnya sadar bahwa etos yang dapat disumbangkan kerja keaksaraan salah-satunya adalah menanamkan spirit kerja keras dan mencintai ilmu pengetahuan dalam dan pada masyarakat yang akan memperkaya kecakapan dan kapasitas kemampuan mereka, yang pada akhirnya dapat membantu peningkatan kehidupan mereka, terlebih dalam konteks persaingan global saat ini, sebuah era yang lazim disebut sebagai era kapitalisme lanjut (Late Capitalism) yang mengandaikan kemampuan adaptasi setiap orang akan sangat tergantung atau ditentukan oleh kecakapan diri dan kekayaan pengetahuan dan informasi yang dimiliki masing-masing setiap orang, yang dalam konteks ini, penulis teringat filsafat sosialnya Hegel yang mengatakan bahwa pilihan-pilihan dan kebebasan masyarakat sesungguhnya terbentuk dalam negosiasi-negosiasi yang simultan dengan kekuatan eksternal.

|

Suatu pilihan yang diambil oleh seseorang, contohnya, terkait dengan akses dan resource sejauh yang didapat dan diketahuinya, dan konsekuensinya, kemerdekaan justru diukur oleh derajat kemampuan seseorang itu sendiri dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan eskternal (Giovanna Borradori, Filsafat di Jaman Teror, Penerbit Kompas 2005). Dengan demikian, kerja-kerja intelektual dan kebudayaan secara umum mengandaikan ketersediaan sarana dan prasarana alias mengandaikan ketersediaan infrastruktur yang akan mampu membiayainya dan yang akan juga menciptakan pasar-nya.

|

PENTINGNYA PENERJEMAHAN

Kemudian, sedikit mencoba berbicara dunia penerjemahan, terutama soal penerjemahan buku-buku kesusasteraan, haruslah diakui masih adanya kesenjangan kultural dan kapital, ketika kita selama ini menerjemahkan banyak karya-karya dari negara-negara lain, sementara karya-karya kita masih sangat sedikit yang diterjemahkan oleh mereka. Memang benar bahwa dengan menerjemahkan banyak literatur dan buku-buku dari bahasa asing, setidak-tidaknya kita mendapatkan banyak khazanah dan wawasan kultural yang akan berguna bagi kita, tetapi bukan berarti kita juga tidak mesti berusaha sungguh-sungguh untuk memperkenalkan khazanah kultural kita sendiri kepada publik dunia.

|

Rasanya kita pun sama-sama tahu, selama sejarah kepenulisan kebudayaan dan kesusasteraan kita, tak satu pun penulis kita yang pernah dianugerahi penghargaan Nobel, padahal satu dua tiga penulis kita sebenarnya sudah sangat layak untuk menerima anugerah tersebut. Konon salah-satu faktornya adalah karena masih minim-nya penerjemahan buku-buku kita atau khazanah kultural-kesusasteraan bangsa kita ke bahasa asing, atau katakanlah ke bahasa Ingris, sehingga banyak buku-buku yang dihasilkan penulis-penulis kita tidak diketahui, tidak dibaca oleh publik dunia.

|

Atas dasar pandangan tersebutlah, kita tentu tak hanya memahami kerja-kerja intelektual dan penerjemahan sebagai kerja-kerja penngalih-bahasaan khazanah kultural dan buku-buku asing ke bahasa kita, tetapi juga sebaliknya, adalah juga kerja-kerja penerjemahan khazanah kultural dan buku-buku yang dihasilkan para penulis kita ke bahasa asing. Artinya, sudah merupakan kewajaran ketika kita nantinya memiliki para penerjemah yang handal, di mana mereka tak hanya menerjemahkan karya-karya para penulis asing ke dalam bahasa kita, tetapi mereka juga mestilah menerjemahkan karya-karya dari negeri sendiri ke bahasa asing, agar kita dapat mengkomunikasikan karya-karya kepenulisan kita kepada dunia sembari kita saling belajar dari khazanah asing dengan menerjemahkan karya-karya mereka. Dan itulah salah-satu fungsi sosial-politik kerja intelektual, yaitu mengangkat dan memperkenalkan kebudayaan dan karya-karya intelektual bangsa kita kepada publik dunia.

| Sulaiman Djaya,  peminat kajian filsafat dan kebudayaan

Agama, Puisi, Sejarah

Sejauh menyangkut agama, demikian menurut Jacques Derrida, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dapat diidentifikasi atau pun yang identik dengan dirinya sendiri untuk apa yang disebut “agama”. Secara historis “agama” merupakan ciptaan Romawi kuno yang kemudian diapropriasi oleh kristianitas. Dalam hal ini menurut Cicero, kata “religio” berasal dari “relegere”, suatu modifikasi atas kata kerja Latin: “legere” yang berarti mengumpulkan dan memanen.

|

Selanjutnya Tertulianus yang merupakan seorang muallaf Kristen dari Afrika Utara pada abad kedua kemudian mengemukakan hal yang berbeda. Menurutnya kata “religio” berasal dari “religare” yang berarti mengikat atau simbolisasi ikatan kewajiban atau hutang “primordial” antara manusia dengan Allah. Dalam artian yang kedua inilah menurut Derrida kata “religio” telah menginjeksikan isu-isu yuridis dan mengikat agama kepada lingkaran hukum, yang secara inheren mengandung kekerasan (intoleran) dan cenderung menolak keterbukaan terhadap keberlainan (alteritas). Sebab ia akan menyingkirkan apa yang tidak masuk dalam “ikatan” tersebut, karena menurutnya kata depan “re” menyimbolkan suatu pengulangan dan acuan kepada diri sendiri. Suatu penolakan terhadap pemisahan. Pada moment inilah agama mengandaikan ketertutupan.

|

Penolakan akan pemisahan yang ditunjukkan oleh prefiks “re” dalam kata “religio” menurut Derrida muncul dengan suatu cara yang paralel di dalam “responsibilitas” dan “respons” yang berasal dari kata kerja Latin: spondeo, yang artinya menjamin. Dan arti ini memiliki kedekatan dan kemiripan dengan kata “religare” (mengikat) yang dikemukakan Tertulianus. Sebab “respondeo” atau “responsum” berarti penerjemah para dewa yang memberikan suatu janji sebagai balasan atas “persembahan”. Dan balasan yang diinginkan dari persembahan itu tak lain adalah jaminan keamanan.

|

Karena itulah menurut Derrida kata responsibility berbagi arti dengan religio dalam kepedulian terhadap transaksi ekonomis: suatu imbalan dan jaminan keamanan yang dituntut dari persembahan (sesajen). Dalam hal ini menurut Derrida, jaminan yuridis dan ekonomis tersebut tidak memasukkan inti tanggungjawab di hadapan alteritas (keberlainan), di hadapan yang tak dapat dikalkulasikan, di hadapan orang asing (kafir) dan yang datang tak terduga. Di hadapan orang yang bukan bagian dari komunitas agama tertentu.

|

Asal-usul tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi pemahaman religius terhadap toleransi dan kekafiran. Pada konteks inilah tanggungjawab etis-politis filsafat adalah menganalisis dan menarik konsekuensi-konsekuensi praktis dan efektif antara warisan filosofis dan struktur sistem yuridis-politis.

|

Dalam hal ini relevan untuk menghadirkan kembali apa yang pernah ditegaskan warisan kuno spirit esensi keagamaan yang menekankan welas-asih “Untuk menghabisi banyak bangsa, dengan demikian engkau telah berdosa pada dirimu sendiri” (Habakuk 2:10). “Karena aku menempatkan diri di lapangan kejahatan, dan nasibku berada di kalangan orang-orang yang buruk nasibnya. Maka aku berdiri di tanah terbatas, dan tahu masih ada harapan, karena yang Kau ciptakan dari debu akan bergaul dengan keabadian” (The Dead Sea Scroll).

|

Kesadaran sejarah dalam laku keberagamaan atau pun keagamaan menjadi penting dalam rangka menemukan konteks dan wawasan yang relevan`

|

Pada moment ini sejarah mestilah dipahami sebagai sebuah perjalanan yang berada di seberang dirinya sendiri yang tidak imanen. Bukan sebagai sesuatu yang dapat dikalkulasi. Tetapi lebih berbicara tentang harapan. Merujuk pada kemungkinan dan masa depan untuk melampaui kekinian. Sebentuk kreativitas untuk mengatasi kejumudan. Sebentuk waktu yang berziarah. Sejenis eskatologi yang tak memiliki muara. Suatu ikhtiar untuk memaknai hidup bukan sebagai pemberian, tetapi lebih sebagai anugerah yang harus diperjuangkan ke depan. Sebentuk tanggungjawab dan komitmen pada yang fana.

|

Dengan demikian tanggungjawab religius pada alteritas adalah sebentuk pengalaman ditinggalkan Tuhan. Tapi justru dengan itulah manusia senantiasa menanggung kerinduan yang tak pernah mendapatkan perjumpaan. Dan ketika ia tak pernah menjumpa dan mendapatkan kehadiran Tuhan, maka ia pun mencari muaranya pada sesama dalam wujud tanggungjawab. Dan karena itulah manusia memanifestasikan kerinduannya dengan jalan berkarya untuk menemukan citra Tuhan dalam dan bagi dirinya.

|

Ia tak lagi mempersoalkan ada dan tidak adanya Tuhan. Ia hanya merasa memiliki kewajiban untuk mewujudkan kerinduannya menjadi sebentuk komitmen dan tanggungjawab pada yang fana dan kefanaan.

|

Ikhtiarnya untuk mendapatkan surga justru harus ditebus dengan kerja dan karya, bukan dengan kegandrungan untuk mendakwahkan kekafiran dan membenarkan pembunuhan atas nama iman. Pada konteks ini tanggungjawab religius di hadapan alteritas (keberlainan) adalah seperti Musa yang melepaskan kasutnya atau sandalnya (identitas politisnya) ketika menghadap Tuhan. Ia harus datang sebagai pribadi. Tapi sekaligus juga sebagai orang asing di hadapan Tuhan. Sebagai keberlainan itu sendiri.

|

Manusia tak pernah tahu apa yang diinginkan Tuhan dari dan kepadanya. Ia hanya mampu menduga-duga. Seperti halnya puisi yang melakukan interupsi dan investigasi. Karena itulah ia menjadi kreatif. Yang bersumber dari kepercayaan pada eskatologi yang tak pernah tergenapi. Dan ketika sadar akan ketakmungkinan untuk menggenapi itu, manusia senantiasa mengembangkan dirinya ke arah citra Tuhan yang dirindukannya.

|

Ketakmungkinannya kemudian berubah menjadi sebentuk ikhtiar mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat memberikan kemuliaan pada kefanaannya. Menjadi karya dan kerja yang berguna untuk sesamanya.

| Sulaiman Djaya 2007