Arsip Kategori: Roman Sulaiman Djaya

Buah Rosella dan Bunga Songler (17)

Di saat kesepian, apa yang membuatku merasa senang dan gembira adalah ketika aku teringat moment-moment romantik di pedesaan tempatku hidup di masa kanak-kanak seperti yang telah mendominasi risalahku ini.

Dan ingatan itu selalu memungut waktu. Karena itu, aku tak pernah percaya bila kesunyian memiliki nama. Aku tak percaya bila kepedihan dan kegembiraan punya nama. Aku hanya percaya bahwa nama-nama milik ingatan. Kaki-kaki angin yang berlari untuk pagihari selepas hujan. Dinding cuaca yang luruh karena tatapan matahari untuk senja. Suara-suara para katak dan serangga yang riang memukul tamborin dan rebana untuk malam-malam basah dan dingin ketika aku duduk di meja belajarku bertemankan semungil nyala lampu minyak yang setia mengepulkan asap hitam. Kepedihan dan kegembiraan bisa berganti, datang dan pergi. Tetapi ingatan seperti angka-angka di almanak yang tetap sama meski tahun-tahun datang dan tahun-tahun lainnya menunggu.

Ketika itu langit dan pepohonan sepanjang jalan tampak riang berkibar, bebas sekehendak mereka. Jika aku ingin membuat sebuah perumpamaan, ingatan itu seperti komposisi-komposisi musik yang tetap gembira. Seperti kanak-kanak yang terus berjalan dan melangkah dalam terang atau pun gelap.

Tentu saja, sesamar apapun, selalu terdengar suara di kejernihan pagi setelah pada waktu malamnya hujan turun dan masih merintik hingga subuh. Tentu ada getar yang memiliki beragam nama dalam situasi seperti itu: wajah embun yang luntur, cahaya matahari pagi yang meretakkan dinding cuaca, atau buih-buih yang bermain dengan tangan-tangan udara selepas fajar. Tapi aku akan lebih suka menyebutnya kesahajaan dan kesederhanaan di mana aku bisa belajar kesetiaan pada hidup dan kesabaran dari alam itu sendiri, bukan dari berita-berita seperti sekarang ini. Ibuku akan menamainya sebagai kejujuran.

Tentu saja, siapa pun bisa lupa pada apa saja yang memang tidak pernah singgah di dalam jiwa dan ingatannya. Dan karena itu, aku senantiasa akan mengingat masa-masa ketika suara-suara burung dari arah bukit pematang yang mulai terdengar bersahutan bersamaan dengan cahaya matahari yang menyeruak. Juga, bersamaan dengan itu, para ibu dan beberapa perempuan belia, akan mulai terlihat berjalan di antara padi-padi yang menguning dan di atas rumput-rumput pematang-pematang yang basah.

Pada masa-masa itu, pohon-pohon Rosella mulai menghimpit gugusan buah merahnya dengan daun-daun basahnya karena hujan malam dan rintik-rintik subuh di desa kami itu. Sementara, dari kejauhan di mana hembusan angin dan gerak langkah-langkah mereka mulai tak begitu cepat lagi, matahari pelan-pelan mulai terbangun di pagi yang dingin itu, lambat-laun tapi pasti. Meski kadangkala tertidur lagi dan diganti mendung yang tak pernah bisa kami duga. Sembari duduk termenung, aku dapat menjelajahkan mataku ke arah mana saja yang kuinginkan ketika itu.

Ada banyak nama untuk itu semua: tangan-tangan pagi yang mulai bekerja, kesetiaan yang senantiasa tumbuh mekar karena keriangan setelah mimpi indahnya dalam keheningan, atau dapat juga diberi nama gairah yang kembali menyala karena sentuhan-sentuhan angan-angan, atau seorang perempuan yang bahagia selepas percintaannya dengan hujan selama separuh malam hingga subuh itu.

Tetapi aku akan lebih suka menamainya sebagai ketulusan, sebuah nama lain dari doa dan kedekatan kita pada apa pun yang selalu menyapa kita dalam kebisuan dan diamnya.  Aku pun masih punya banyak nama-nama lainnya untuk pagihari: unggas-unggas yang mengepak-ngepakkan sayap mereka di sebatang sungai yang tak jauh dari tempatku berada dan duduk saat istirahat menjelang jam sembilan. Saat matahari mulai terang dan pelan-pelan mulai terasa menyengat. Saat itu, dengan sesekali mengarahkan kedua mataku ke langit, tanpa terasa keringat di punggung dan di baju pun mengering karena hembusan angin yang datang dari sela-sela ranting dan dedaunan di pinggir sungai di mana aku berada.

Pada saat-saat seperti itulah jiwaku menjadi bergembira dan terjaga. Pada saat itu pulalah ingatan diam-diam tengah tumbuh mekar meski aku tak sadar.

Aku tak tahu atau lebih tepatnya tak lagi ingat: “Apakah masa kanak-kanakku bahagia ataukah kesepian?”. Namun aku masih ingat bahwa aku pernah akrab dengan samar kepakan. Dengan grafik-grafik warna dan cahaya senjahari. Di saat-saat aku merasa damai ketika memandangi gerak-gerak dan gelombang keheningan setiap kali aku asik membayangkan diri bergembira bersama mereka. Bersama para belalang yang adakalanya berjingkat-jingkatan di rumputan dan pematang. 

Bila mengingat itu semua, aku selalu saja tergoda untuk menjadi seorang bocah yang tak pernah dewasa. Wajar saja bila Protagoras, si filsuf Yunani itu, pernah mengatakan bahwa keabadian dan ingatan adalah milik kanak-kanak. Kata-kata Protagoras itu tiba-tiba aku percayai begitu saja ketika aku memikirkan dan merenungkannya. 

Di masa-masa itu, aku tak perlu malu untuk menangis atau pun melampiaskan rasa kesal dan kecewa dengan kekanak-kanakkan. Namun sekarang, ketika aku mulai mengenal buku-buku, di saat aku telah berusia puluhan tahun, rasa malu seperti menjelma sebuah kewajiban. 

Aku pernah membaca sebuah tulisan seorang penyair sufi, bahwa airmata dan kesedihan dapat membuat dua mata seseorang menjadi bening dan terang. Dan dua mata yang bening itu akan juga mencerminkan keindahan, kelembutan, dan kepekaan hati dan jiwa seseorang. Tetapi luka dan kesedihan yang berlebihan hanya akan menumbuhkan kegilaan, kekejaman, dan ketakutan. Karena itulah, aku percaya, seseorang hanya boleh bersedih seperlunya dan mestilah bergembira dengan sikap yang wajar saja.

Ingatan-ingatan akan masa kanak-kanak itulah yang membuatku tegar dalam kesunyian, kepapaan dan kerapuhan. Ingatan yang mengembalikan pada sebaris pepohonan rindang sepanjang jalan yang mirip terowongan kota-kota metropolitan yang kukenal kemudian, sepanjang aku berjalan kaki dalam kesendirian di bawah naungan senjahari, sembari sesekali memandangi burung-burung kuntul yang beterbangan, dan yang sebagian dari mereka sibuk mencucukkan paruh-paruh mereka pada air dan lumpur rawa-rawa. 

Dengan itu semua, aku dapat mengatakan bahwa keindahan memanglah milik ingatan, justru ketika kita telah tak ada di dalamnya, di saat kita telah berjarak dan berpisah dengan mereka semua. Sementara itu, dari sisi lain dan sudut pandang yang berbeda, dan ini mungkin benar atau mungkin juga keliru, apa yang membuat aku bisa juga bertahan hidup dan menjalani keseharian yang minim fasilitas di pedesaan, tak lain karena rahim-rahim keheningan pedesaan-lah yang mengendapkan benih-benih kegundahan dan kegelisahan setelah hidup di kota selama bertahun-tahun. 

Di pedesaan-lah aku memiliki waktu yang leluasa untuk merenung dan menulis. Di pedesaan-lah, aku justru bisa mendengarkan dan merenungi musik-musik keheningan yang berbisik lembut, tidak seperti di kota yang hanya selalu menghadirkan desing dan bising ke mana pun aku berada dan menginjakkan kaki bila keluar kamar.

Buah Rosella dan Bunga Songler (16)

Dalam ikhtiarku mendapatkan kegembiraan, keindahan, dan kebahagiaan dengan mencandra bahasa, ada saat-saat aku kehilangan motivasi untuk menulis bila apa yang kutulis kurasa (dan pikiran ini acapkali muncul tiba-tiba) tak lebih baik dari apa yang pernah ditulis oleh para penulis sebelumnya. Meski begitu, tentu saja, aku berusaha meyakinkan diri kembali bahwa bagaimana pun, jika pun tidak lebih baik dari tulisan para penulis sebelumnya, aku tetap menghadirkan keunikan suara dan narasiku sendiri.

Pernah pula saat aku memikirkan apakah bahagia itu, aku duduk di antara cahaya matahari dan angin yang berlari. Aku mengembarakan pikiran, khayalan, dan angan-angan kesepianku sembari duduk menghadap meja tempatku merenung dan menulis. Biasanya aku akan mencurahkan kegelisahan-kegelisahan, rasa bosan, dan kegundahan yang merundung hatiku di lembar-lembar catatan harian kesayangan, mungkin sebagai topeng dan selubung untuk menutupi kesepianku sebagai seorang lelaki yang tak punya pekerjaan resmi dengan gaji yang akan mencukupi hidup sehari-hari. Atau mungkin hanya sekedar mencurahkan agar tidak menjadi beban hati dan pikiranku yang acapkali terdesak rasa asing tanpa kutahu apa sebab sesungguhnya. Sementara itu, seperti yang telah kukatakan berulang-ulang, di waktu-waktu pagi dan sore hari, aku berusaha menyibukkan diri dengan menanam dan menyirami tanaman yang telah kutanam jika aku sedang ada di rumah. Kesibukan tambahan itu kulakukan dan kupilih sebagai penghiburan diri, mungkin juga untuk mengalihkan kesepian dan kebosananku agar aku tidak terlampau menyibukkan diri dengan membaca buku-buku atau terpaku merenung.

Sempat juga terpikir di saat-saat aku membaca, merenung, dan menulis bahwa mungkin saja orang-orang yang selama ini tidak membaca buku-buku filsafat lebih merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka. Yah orang-orang bersahaja seperti para petani yang sesekali kuperhatikan secara seksama yang menurutku lebih terlihat tulus ketika mereka bekerja di sawah-sawah dan di ladang-ladang. Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang siang, dari sore hari hingga di ujung senja. Aku memandangi mereka bekerja di waktu-waktu jeda ketika aku sedang menulis atau membaca di gubuk yang memang tak jauh dari hamparan sawah-sawah. Sebagian adalah ibu-ibu dan beberapa di antara mereka adalah perempuan-perempuan yang masih terhitung muda.

Yah mereka, para petani itu, menurutku tentu saja tidak pernah menyibukkan dirinya dengan persoalan-persoalan epistemologis dan pertanyaan-pertanyaan axiomatik seperti halnya seorang pemikir atau pun penulis. Jikalau pun mereka berpikir, tentu sebatas bagaimana memenuhi kebutuhan wajib keseharian mereka untuk menghidupi diri dan keluarganya, dan itu memang sama terhormatnya dengan para sarjana dan penulis yang mencari nafkah dan gengsi sosial dari pengetahuan dan keterampilan mereka. Sebenarnya, aku tengah dirundung dan digundahkan sejumlah pertanyaan, yang barangkali muncul dari kegelisahan dan kebosananku. Pertanyaan-pertanyaan tentang apakah bahagia itu, bagaimana pun, muncul silih berganti dalam benakku ketika aku meragukan apa yang kulakukan selama ini dengan menulis dan membaca.

Dulu kala, Montaigne yang dikagumi Nietzsche itu, pernah pula mempertanyakan soal dan masalah yang merisaukanku itu, dan lalu melebar ke isu sejumlah hal dalam hidup. Di sebuah ruang perpustakaan kastil indah di Bordeaux, seperti yang diceritakan kembali oleh Alain de Botton, Michel de Montaigne menulis tentang Thales, yang terdengar sebagai sebuah sindiran dengan jalan memuji sahabat sang filsuf, ketimbang filsuf itu sendiri: “Aku selalu merasa senang pada gadis dari Miletus yang memandangi sang filsuf, ketika sang filsuf dengan matanya yang menerawang ke atas mengukur kubah langit, seolah hendak mengingatkan sang filsuf bahwa sudah cukup waktu untuk menentukan sesuatu di atas awan bila ia telah menghitung segala sesuatu yang berada di depan kakinya”, ujar Montaigne dalam Essays-nya, “Kau pun dapat melakukan celaan yang sama sebagaimana gadis dari Miletus itu melakukannya kepada Thales, untuk menghadapi setiap orang yang mendalami filsafat dalam pelupaan, orang yang gagal melihat dan menyaksikan kenyataan yang terletak di depan kakinya”.

Orang yang membaca fragmen yang ditulis Montaigne tersebut tanpa terlebih dahulu mengetahui siapa sesungguhnya Montaigne, mungkin akan terlalu dini menilainya sebagai orang yang anti-teori atau pun anti-pemikiran. Tetapi Montaigne sendiri tentulah tidak demikian, ekstremitas kejujuran Montaigne biar bagaimana pun lahir dari seseorang yang cukup lama menggeluti dunia baca dan pemikiran. Di usia tujuh tahun ia telah menamatkan Metamorphoses-nya Publius Ovidius Naso atau Ovid, dan sejak usia enam belas tahun, ia telah menamatkan seri lengkap karya-karya Publius Virgilius Maro si penulis Aeneid. Dengan demikian, skeptisisme Montaigne tetaplah didasarkan pada pengalaman pembacaan dan empirisisme perjalanan hidupnya yang memang kemudian menggemari petualangan dan bepergian ke daerah-daerah terpencil dan pegunungan. Masa-masa muda Montaigne dijalani dengan membaca karya-karya Plautus, Homer, Plutarch, dan tentu saja Al-Kitab terutama Kitab Si Pengchotbah.

Aku seperti mendapatkan pembenaran bagi kegelisahanku sendiri ketika membaca pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan Montaigne. Bahwa apa yang aku pertanyakan juga merupakan sesuatu yang tak hanya kegelisahanku saja.

Montaigne memang ingin menginstropeksi pemikiran yang malah menjauhkan manusia dari kehidupan dan hasratnya untuk bebas dari penderitaan yang tidak produktif. Bahwa manusia menginginkan kebahagiaan dan acapkali menyembunyikan penderitaan dengan kemunafikan. Meski demikian, kesangsian dan instrospeksi Montaigne itu tetap merupakan ikhtiar dan kerja intelektual demi mencari perspektif dan paradigma baru pemikiran dan kerja-kerja intelektual, memberinya relevansi pragmatis dan kesepadanan dengan kenyataan keseharian yang dijalani manusia, hingga dapat mengurangi kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan kehidupan keseharian manusia itu sendiri. Bertahun-tahun kemudian, soal dan masalah yang ditulis Montaigne itu dibaca dan disuarakan kembali oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche si filsuf yang penyair itu.

Dalam Essays-nya, Montaigne memang seringkali berbicara tentang celah, kerentanan, dan bahkan ketidakmemadaian ilmu pengetahuan yang terlampau menjauhkan diri dari kenyataan kehidupan manusia itu sendiri: paradigma yang kadang sepihak, perspektif yang kadang memilih dan semena-mena. Instropesksi dan kritik Montaigne itu mengingatkanku pada Epicurus dalam hal penekanannya untuk mempertimbangkan dan tidak mengabaikan sisi manusiawi dari ilmu pengetahuan dan kerja intelektual. Sebuah anjuran yang belakangan ini menjadi wawasan filosofis-nya Richard Rorty dalam konteks masyarakat demokratis-liberal.

Montaigne bertanya: “Apakah kita berani mengakui bahwa manfaat akal yang kita junjung tinggi dan karenanya kita menganggap diri kita sebagai penguasa segala makhluk? Apakah manfaat pengetahuan, jika demi dirinya sendiri, kita kehilangan ketenangan dan kepercayaan diri yang mestinya kita miliki? Apa guna akal jika sikap kita tak lebih baik dari babi yang diceritakan Pyrrho?”. Seberapa pun ekstrem dan kekanakkannya pertanyaan-pertanyaan Montaigne tersebut, tetaplah merupakan kejujuran untuk mengakui unsur-unsur yang begitu akrab dengan kondisi manusiawi kita: “Kita telah menunjukkan ketidakkonsistenan, kekhawatiran, keraguan, kepedihan, takhayul, ketakutan mengenai apa yang terjadi”, tulisnya.

Apa yang dilancarkan Montaigne salah-satunya merupakan upayanya untuk mengkritik pandangan-pandangan konvensional yang dia baca dan yang dia alami dalam keseharian yang dia saksikan dan yang dia dengar. Bahkan menurutnya apa yang dipercayai orang-orang semasa hidupnya tak lebih merupakan sejumlah kekeliruan yang diiyakan begitu saja tanpa pemeriksaan. Bahkan Montaigne berbicara layaknya seorang antropolog-naturalis bahwa kehidupan manusia seperti halnya makhluk-makhluk hidup lainnya dapat juga dipahami sebagai sejumlah adaptasi-adaptasi yang berkesinambungan, dan pemikiran hanyalah salah-satu caranya. Nada-nada yang disuarakan Montaigne tersebut di kemudian hari kembali didengungkan Nietzsche dengan bentuk yang aforistis, yang adalah salah-seorang pengagum kecerdasan Montaigne sebagai pengamat dan penulis yang nakal dan tangkas dalam mencerap pemikiran dan kenyataan keseharian.

Setelah beberapa tahun menghabiskan waktu-waktu kesehariannya di ruang perpustakaan pribadinya, Montaigne yang ingin mengisi masa-masa pensiunnya dengan membaca dan mendedikasikan dirinya demi ilmu pengetahuan, merasa gelisah dan tak puas dengan buku-buku yang dibacanya, lalu mengekspresikan kejengkelan dan kegelisahannya dengan menulis esai, mengkritik Cicero yang menurutnya kurang memperhatikan hal-hal remeh dalam keseharian kehidupan manusia itu sendiri: “Lelaki adalah makhluk celaka yang cuma mendengar dirinya sendiri dengan angkuh”, keluhnya, “pada kenyataannya, ribuan perempuan desa hidup lebih cerdas dan bahagia, lebih meyakinkan dan lebih konsisten ketimbang Cicero”.

Di ruang perpustakaan pribadi yang terletak di lantai tiga kastil indah miliknya, Montaigne tiba-tiba dibanjiri skeptisisme setelah melahap buku-buku kanon yang dibacanya selama berjam-jam di hampir setiap hari kehidupan masa pensiunnya, ia meragukan keabsahan dan relevansi tulisan-tulisan para pemikir dan filsuf yang dikaguminya, dan ia berusaha menengok ke aspek-aspek manusiawi itu sendiri, hingga ia pun sempat menulis sebuah puisi yang sarkastis: “Di atas singgasana tertinggi di dunia, kita bertahta, tetapi tetap di atas anus kita”.