Di saat kesepian, apa yang membuatku merasa senang dan gembira adalah ketika aku teringat moment-moment romantik di pedesaan tempatku hidup di masa kanak-kanak seperti yang telah mendominasi risalahku ini.
Dan ingatan itu selalu memungut waktu. Karena itu, aku tak pernah percaya bila kesunyian memiliki nama. Aku tak percaya bila kepedihan dan kegembiraan punya nama. Aku hanya percaya bahwa nama-nama milik ingatan. Kaki-kaki angin yang berlari untuk pagihari selepas hujan. Dinding cuaca yang luruh karena tatapan matahari untuk senja. Suara-suara para katak dan serangga yang riang memukul tamborin dan rebana untuk malam-malam basah dan dingin ketika aku duduk di meja belajarku bertemankan semungil nyala lampu minyak yang setia mengepulkan asap hitam. Kepedihan dan kegembiraan bisa berganti, datang dan pergi. Tetapi ingatan seperti angka-angka di almanak yang tetap sama meski tahun-tahun datang dan tahun-tahun lainnya menunggu.
Ketika itu langit dan pepohonan sepanjang jalan tampak riang berkibar, bebas sekehendak mereka. Jika aku ingin membuat sebuah perumpamaan, ingatan itu seperti komposisi-komposisi musik yang tetap gembira. Seperti kanak-kanak yang terus berjalan dan melangkah dalam terang atau pun gelap.
Tentu saja, sesamar apapun, selalu terdengar suara di kejernihan pagi setelah pada waktu malamnya hujan turun dan masih merintik hingga subuh. Tentu ada getar yang memiliki beragam nama dalam situasi seperti itu: wajah embun yang luntur, cahaya matahari pagi yang meretakkan dinding cuaca, atau buih-buih yang bermain dengan tangan-tangan udara selepas fajar. Tapi aku akan lebih suka menyebutnya kesahajaan dan kesederhanaan di mana aku bisa belajar kesetiaan pada hidup dan kesabaran dari alam itu sendiri, bukan dari berita-berita seperti sekarang ini. Ibuku akan menamainya sebagai kejujuran.
Tentu saja, siapa pun bisa lupa pada apa saja yang memang tidak pernah singgah di dalam jiwa dan ingatannya. Dan karena itu, aku senantiasa akan mengingat masa-masa ketika suara-suara burung dari arah bukit pematang yang mulai terdengar bersahutan bersamaan dengan cahaya matahari yang menyeruak. Juga, bersamaan dengan itu, para ibu dan beberapa perempuan belia, akan mulai terlihat berjalan di antara padi-padi yang menguning dan di atas rumput-rumput pematang-pematang yang basah.
Pada masa-masa itu, pohon-pohon Rosella mulai menghimpit gugusan buah merahnya dengan daun-daun basahnya karena hujan malam dan rintik-rintik subuh di desa kami itu. Sementara, dari kejauhan di mana hembusan angin dan gerak langkah-langkah mereka mulai tak begitu cepat lagi, matahari pelan-pelan mulai terbangun di pagi yang dingin itu, lambat-laun tapi pasti. Meski kadangkala tertidur lagi dan diganti mendung yang tak pernah bisa kami duga. Sembari duduk termenung, aku dapat menjelajahkan mataku ke arah mana saja yang kuinginkan ketika itu.
Ada banyak nama untuk itu semua: tangan-tangan pagi yang mulai bekerja, kesetiaan yang senantiasa tumbuh mekar karena keriangan setelah mimpi indahnya dalam keheningan, atau dapat juga diberi nama gairah yang kembali menyala karena sentuhan-sentuhan angan-angan, atau seorang perempuan yang bahagia selepas percintaannya dengan hujan selama separuh malam hingga subuh itu.
Tetapi aku akan lebih suka menamainya sebagai ketulusan, sebuah nama lain dari doa dan kedekatan kita pada apa pun yang selalu menyapa kita dalam kebisuan dan diamnya. Aku pun masih punya banyak nama-nama lainnya untuk pagihari: unggas-unggas yang mengepak-ngepakkan sayap mereka di sebatang sungai yang tak jauh dari tempatku berada dan duduk saat istirahat menjelang jam sembilan. Saat matahari mulai terang dan pelan-pelan mulai terasa menyengat. Saat itu, dengan sesekali mengarahkan kedua mataku ke langit, tanpa terasa keringat di punggung dan di baju pun mengering karena hembusan angin yang datang dari sela-sela ranting dan dedaunan di pinggir sungai di mana aku berada.
Pada saat-saat seperti itulah jiwaku menjadi bergembira dan terjaga. Pada saat itu pulalah ingatan diam-diam tengah tumbuh mekar meski aku tak sadar.
Aku tak tahu atau lebih tepatnya tak lagi ingat: “Apakah masa kanak-kanakku bahagia ataukah kesepian?”. Namun aku masih ingat bahwa aku pernah akrab dengan samar kepakan. Dengan grafik-grafik warna dan cahaya senjahari. Di saat-saat aku merasa damai ketika memandangi gerak-gerak dan gelombang keheningan setiap kali aku asik membayangkan diri bergembira bersama mereka. Bersama para belalang yang adakalanya berjingkat-jingkatan di rumputan dan pematang.
Bila mengingat itu semua, aku selalu saja tergoda untuk menjadi seorang bocah yang tak pernah dewasa. Wajar saja bila Protagoras, si filsuf Yunani itu, pernah mengatakan bahwa keabadian dan ingatan adalah milik kanak-kanak. Kata-kata Protagoras itu tiba-tiba aku percayai begitu saja ketika aku memikirkan dan merenungkannya.
Di masa-masa itu, aku tak perlu malu untuk menangis atau pun melampiaskan rasa kesal dan kecewa dengan kekanak-kanakkan. Namun sekarang, ketika aku mulai mengenal buku-buku, di saat aku telah berusia puluhan tahun, rasa malu seperti menjelma sebuah kewajiban.
Aku pernah membaca sebuah tulisan seorang penyair sufi, bahwa airmata dan kesedihan dapat membuat dua mata seseorang menjadi bening dan terang. Dan dua mata yang bening itu akan juga mencerminkan keindahan, kelembutan, dan kepekaan hati dan jiwa seseorang. Tetapi luka dan kesedihan yang berlebihan hanya akan menumbuhkan kegilaan, kekejaman, dan ketakutan. Karena itulah, aku percaya, seseorang hanya boleh bersedih seperlunya dan mestilah bergembira dengan sikap yang wajar saja.
Ingatan-ingatan akan masa kanak-kanak itulah yang membuatku tegar dalam kesunyian, kepapaan dan kerapuhan. Ingatan yang mengembalikan pada sebaris pepohonan rindang sepanjang jalan yang mirip terowongan kota-kota metropolitan yang kukenal kemudian, sepanjang aku berjalan kaki dalam kesendirian di bawah naungan senjahari, sembari sesekali memandangi burung-burung kuntul yang beterbangan, dan yang sebagian dari mereka sibuk mencucukkan paruh-paruh mereka pada air dan lumpur rawa-rawa.
Dengan itu semua, aku dapat mengatakan bahwa keindahan memanglah milik ingatan, justru ketika kita telah tak ada di dalamnya, di saat kita telah berjarak dan berpisah dengan mereka semua. Sementara itu, dari sisi lain dan sudut pandang yang berbeda, dan ini mungkin benar atau mungkin juga keliru, apa yang membuat aku bisa juga bertahan hidup dan menjalani keseharian yang minim fasilitas di pedesaan, tak lain karena rahim-rahim keheningan pedesaan-lah yang mengendapkan benih-benih kegundahan dan kegelisahan setelah hidup di kota selama bertahun-tahun.
Di pedesaan-lah aku memiliki waktu yang leluasa untuk merenung dan menulis. Di pedesaan-lah, aku justru bisa mendengarkan dan merenungi musik-musik keheningan yang berbisik lembut, tidak seperti di kota yang hanya selalu menghadirkan desing dan bising ke mana pun aku berada dan menginjakkan kaki bila keluar kamar.