Arsip Kategori: Roman

Kappa Bagian XIII-XIV

oleh Ryunosuke Akutagawa

KAMI berlari menuju rumah Tock. Ia tergeletak di antara pot tumbuhan gunung, mukanya tengadah dengan tangan kanan menggenggam pistol. Darah segar mengalir dari cekungan kepalanya. Di sebelahnya kappa betina menangis meraung dan membenamkan wajah di dada Tock. Aku memeluk dan mengangkatnya agar berdiri (Sebenarnya aku tidak suka menyentuh kulit kappa yang lengket berlendir.)

“Apa yang terjadi?” tanyaku.

“Entahlah. Aku sendiri tak tahu. Ia sedang menulis dan tiba-tiba ia menembak kepalanya sendiri. Ah…aku harus bagaimana? Qur-r-r-r-r, qur-r-r-r-r!” (Ini adalah suara tangis kappa.)

“Tuan Tock terlalu egois,” kata Gael direktur pabrik kaca kepada Hakim Pep sambil menggeleng sedih. Tapi Pep tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia menyalakan rokok yang pangkalnya dibalut kertas emas. Chack yang sejak tadi berlutut memeriksa luka yang diderita Tock berkata kepada kami berlima (sebenarnya satu orang dan empat ekor kappa) dengan sikap seorang dokter sungguhan.

“Ia sudah mati. Ia menderita penyakit lambung, makanya ia mudah depresi.”

“Ia tadi sedang menulis sesuatu?” Sambil menggumam Filsuf Mag seakan mencari alasan untuk mengambil kertas yang ditinggalkan Tock di atas meja. Semua melongok, kecuali aku. Mereka mencoba mengintip kertas itu melalui pundak Mag yang bidang.

Ayo bangkit dan pergi.
Melintasi dunia ini menuju jurang dalam.
Jurang terjal penuh batu karang.
Tempat air pegunungan mengalir jernih.
Dan tercium wangi bunga rerumputan.

Mag menoleh lagi ke arah kami, lalu menyeringai seraya berkata, “Ini kan jiplakan dari nyanyian Mignon karya Goethe. Agaknya ia bunuh diri karena sudah lelah menjadi penyair.”

Kebetulan tepat pada saat itu Craback, sang musisi, datang dengan mengendarai mobil. Melihat apa yang telah terjadi ia tertegun, berdiri sejenak di depan pintu. Lalu melangkah menghampiri kami dan berteriak kepada Mag seperti sedang marah.

“Apakah itu wasiat Tock?”

“Bukan. Ini sajak terakhirnya.”

“Sajak?”

Dengan tenang Mag mengulurkan kertas berisi coretan sajak itu kepada Craback yang kaget hingga rambutnya berdiri. Craback menatap lekat coretan itu dan membacanya dengan serius. Ia tak begitu hirau dengan pertanyaan Mag.

“Bagaimana pendapatmu mengenai kematian Tock?” tanya Mag.

“Ayo bangkit…Kapan ajal akan menjemput, aku pun tak tahu— Melintasi dunia ini menuju jurang dalam.”

“Tapi bukankah kau salah satu sahabatnya?”

“Sahabat? Tock selalu sendiri tanpa sahabat…Melintasi dunia ini menujujurang dalam….Betapa malang nasibnya…Menuju jurang terjal penuh batu karang….”

“Malang?”

“Air pegunungan mengalir jernih….Menuju jurang terjal penuh batu karang….”

Karena merasa kasihan kepada kappa betina yang tak henti menangis itu, pelan-pelan kuletakkan tanganku di pundaknya lalu kubimbing ia menuju kursi panjang di pojok kamar. Di situ kappa cilik berusia sekitar dua-tiga tahun sedang tersenyum tak mengetahui apa yang terjadi. Sebagai ganti ibunya, kubelai anak kappa itu hingga air mataku terasa menggenang. Selama aku tinggal di negeri kappa baru kali ini menitikkan air mata.

“Sungguh kasihan jadi anggota keluarga kappa yang hanya mementingkan diri sendiri,” ujar sang kapitalis, Gael.

“Benar. Ia sama sekali tak memikirkan akibatnya,” kata Hakim Pep sambil menyalakan sebatang rokok baru seperti biasanya.

Pada saat yang bersamaan kami dikejutkan teriakan Craback yang menggenggam coretan sajak itu. “Aku beruntung! Aku akan menjadikannya lagu pemakaman yang hebat!”

Dengan mata sipit berkilauan Craback menjabat tangan Mag, lantas berlari menghilang di balik pintu. Sementara itu para tetangga telah banyak berkerumun di depan pintu masuk rumah Tock. Mereka berusaha mengintip ke dalam dengan raut penuh tanya. Craback membelah kerumunan orang-orang itu, secepat kilat masuk ke dalam mobilnya. Mobil yang mengeluarkan bunyi meledak-ledak itu sebentar saja telah menghilang entah ke mana.

“Hei! Jangan mengintip!” teriak Hakim Pep sambil mendorong mereka yang penasaran, ingin tahu, sebagaimana laiknya polisi, dan mengunci pintu. Kamar tiba-tiba saja menjadi senyap. Dalam kesenyapan seperti itu…di tengah bau darah Tock yang bercampur bau bunga-bunga, kami berunding mengenai langkah selanjutnya. Tapi, Filsuf Mag lelap memandangi jasad Tock, melamun memikirkan sesuatu. Kutepuk pundaknya dan kutanyakan kepadanya tentang apa yang sedang ia pikirkan. “Aku sedang memikirkan kehidupan kappa,” jawabnya.

“Ada apa dengan kehidupan kappa?”

“Bagaimanapun juga, kalau kami berkeinginan hidup bahagia, maka kami harus…” Mag terlihat agak malu, lalu menambahkan dengan suara lirih, “Pokoknya kami harus percaya pada kekuatan lain, selain kappa.”

Bagian XIV

KATA-KATA Mag inilah yang mengingatkanku pada agama. Karena aku materialis, tentu saja sebelumnya aku memang tak pernah dengan sungguh-sungguh berpikir tentang agama. Karena tergerak oleh sajak Tock, aku jadi terpikir akan agama para kappa. Segera kutanyakan hal ini kepada Lap, kappa pelajar.

“Para kappa ada yang memeluk agama Kristen, Buddha, Islam, Zoroaster, juga agama lain. Tapi yang paling berpengaruh adalah Modernisme atau disebut juga sebagai Seikatsukyo, yakni pemujaan terhadap kehidupan.”

“Mungkin tak ada kata yang tepat untuk menerjemahkan kata ‘Seikatsukyo’, yang memiliki akar kata dari Quemoocha. ‘Cha’ memiliki arti mirip dengan akhiran…isme, sedangkan “queoo” berasal dari kata “quemal” yang berarti ‘hidup’ atau lebih tepat berarti ‘makan nasi’, ‘minum alkohol’, ‘bersetubuh’, dan sebagainya….”

“Kalau begitu kalian juga punya rumah ibadah?”

“Tentu saja. Kuil Agung Modernisme adalah bangunan paling besar di negeri ini. Bagaimana kalau kita pergi melihatnya?”

Pada suatu siang panas dan berawan, dengan bangga Lap membawaku ke Kuil Agung. Memang bangunan itu sangat besar, sekitar sepuluh kali lebih besar daripada Gereja Nikolai di Tokyo. Bangunan itu merupakan kombinasi berbagai macam gaya arsitektur. Ketika aku berdiri di depannya dan menatap menaranya yang menjulang tinggi dan kubah yang berbentuk bulat, terasa sangat ada yang angker. Semuanya tampak seperti jemari yang tak terhingga jumlahnya sedang menjolok langit. Sejenak kami berdiri di depan pintu gerbang menatap kuil raksasa aneh yang lebih mirip monster tak beraturan ketimbang sebuah bangunan.

Ruang dalam Kuil Besar itu luas sekali. Banyak pengunjung yang tampak sangat kecil sedang berjalan di antara pilar-pilar bulat gaya Korinthia, Yunani. Kami bertemu dengan kappa tua yang sudah bongkok. Lap membungkuk memberi hormat dan mengucapkan salam dengan sopan.

“Tuan Sesepuh, saya senang sekali melihat Anda dalam keadaan sehat.”

Setelah membalas hormatnya, kappa tua itu juga menjawab dengan cara yang sopan pula.

“Anda, Tuan Lap bukan? Saya harap Anda juga….”

Kata-katanya terhenti sejenak. Rupanya ia melihat paruh Lap yang membusuk. “Aah…Anda pun tampak sehat. Tapi apa yang membawa Anda datang?”

“Hari ini saya menyertai Tuan ini. Mungkin Tuan sudah tahu, dia adalah….” Selanjutnya Lap banyak membicarakan aku. Sepertinya ia berdalih, karena itulah ia jarang berkunjung ke rumah ibadah ini.

“Saya akan sangat berterima kasih jika Tuan mau memandu Tuan ini,” ujar Lap.

Kappa sesepuh itu memberi hormat kepadaku seraya tersenyum lebar, lalu menunjuk altar di hadapan kami.

“Saya khawatir saya tak mampu memberikan banyak penjelasan,” katanya. “Para pengikut kami memuja Pohon Kehidupan di altar itu. Seperti yang Anda saksikan, ada dua jenis buah Pohon Kehidupan, yakni hijau dan keemasan. Buah berwarna keemasan itu adalah ‘Buah Kebaikan’, sedangkan yang hijau itu adalah ‘Buah Kejahatan’….”

Aku merasa bosan dengan penjelasan-penjelasan itu, karena bagiku kata-kata sesepuh itu cuma mirip kiasan-kiasan kuno. Tapi tentu saja aku pura-pura mendengarkan dengan serius, dan tentu saja sesekali melemparkan pandangan kebagian dalam kuil itu.

Pilar-pilar gaya Korinthia, kubah ala Gothik, dan lantai kotak-kotak model Arab, serta meja sembahyang mirip gaya seni Secessions, semuanya menghasilkan harmoni yang tampak liar namun indah. Namun yang sangat menarik perhatianku adalah patung-patnng setengah badan dari marmer yang ditempatkan pada kotak lekukan di kedua sisi altar. Aku sepertinya pernah melihat patung-patung itu sebelumnya. Memang aku tak merasa asing. Setelah kappa bungkuk itu selesai menjelaskan tentang Pohon Kehidupan, ia membawa kami berjalan mendekati satu patung dan mulai memberi penjelasan.

“Ini adalah salah seorang dari orang-orang suci kami Santa Strindberg. Ia memberontak terhadap berbagai hal. Orang suci ini katanya diselamatkan oleh pemikiran Swedenberg setelah cukup lama mengalami penderitaan, Tapi sesungguhnya ia tak pernah diselamatkan. Ia tak lebih daripada seorang pemuja kehidupan seperti kami, atau lebih tepatnya ia tak punya pilihan lain. Jika membaca bukunya yang berjudul Legenda, akan kita temukan pengakuannya bahwa ia pernah coba bunuh diri.”

Aku sedikit merasa gundah, lalu kupandangi patung berikutnya, patung setengah badan orang Jerman dengan kumis melintang.

“Ini Nietzsche, penyair yang menulis Zarathustra. Orang suci ini mengharapkan pertolongan dari superman yang dia ciptakan sendiri. Tapi ia tak dapat diselamatkan, dan bahkan menjadi sakit jiwa. Kalau ia tak sakit jiwa, mungkin ia tidak akan ada dalam kelompok orang-orang suci di sini….”

Setelah diam sejenak, sesepuh itu memandu kami pada patung ketiga. “Ini adalah Tolstoy. Orang suci ini lebih banyak dalam kesengsaraan dibandingkan siapa pun. Sebagai keturunan ningrat, ia tidak mau memperlihatkan penderitaannya kepada masyarakat yang memang ingin mengetahuinya. Ia berusaha percaya kepada Kristus, yang dalam kenyataannya sulit dipercaya. Bahkan ia pernah membuat pernyataan terbuka bahwa ia percaya kepadanya. Tapi pada tahun-tahun terakhir hayatnya ia sangat muak dengan kebohongan-kebohongan tragis yang dibuatnya sendiri. Banyak yang tahu bahwa ketakutannya terkadang muncul setiap kali melihat tiang penyangga di ruang belajarnya. Karena ia termasuk dalam golongan orang suci, tentu ia tidak bunuh diri.”

Patung setengah badan keempat adalah patung orang Jepang. Ketika melihatnya, tidak aneh kalau aku merasa sudah mengenalnya. “Patung itu patung Kunikida Doppo, penyair yang benar-benar paham kesedihan orang-orang kelas bawah yang tewas tergilas kereta api. Karena Anda orang Jepang, tentu saja saya tidak perlu menjelaskannya lebih lanjut. Nah, mari kita ke patung kelima.”

“Bukankah ini Wagner?” tanyaku.

“Ya, benar. Seorang revolusioner yang bersahabat dengan raja. Pada akhir hayatnya, santa Wagner masih memanjatkan doa sebelum makan. Tentu saja ia lebih sebagai pemuja kehidupan daripada seorang Kristen. Dari surat-surat peninggalannya diketahui bahwa ia berulangkali mengalami penderitaan hebat sebelum wafat.”

Kami berdiri di depan patung keenam. “Orang suci ini pelukis Prancis, sahabat sastrawan Swedia, August Strindberg. Sebelum menjadi pelukis ia adalah pengusaha. Ia meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk kawin dengan gadis Tahiti berusia 13 atau 14 tahun. Dalam urat nadinya yang besar mengalir darah pelaut. Lihatlah bibirnya, Ada bekas-bekas racun arsenik. Sedangkan patung ketujuh… ah, sepertinya anda sudah lelah. Mari, silakan kemari untuk beristirahat.

Karena memang sudah lelah, aku dan Lap mengikuti sesepuh itu menyusuri lorong sempit penuh bau dupa, masuk ke sebuah kamar. Di salah satu sudut kamar itu terdapat patung Venus hitam yang pada bagian bawahnya ada seikat buah anggur. Karena yang kubayangkan adalah kamar biara sederhana, tentu saja aku merasa agak ganjil melihat kenyataan yang ada. Karena kappa sesepuh itu tahu perasaanku, maka sebelum ia menyodorkan sebuah kursi ia menerangkan dengan perasaan tak enak.

“Mohon jangan lupa bahwa agama kami adalah pemujaan terhadap kehidupan. Dewa kami, Pohon Kehidupan, mengajarkan, ‘Jalanilah hidup dengan penuh semangat’. Maaf Tuan Lap, apakah Anda sudah memperlihatkan Kitab Suci kita kepada Tuan ini?”

“Belum…sebenarnya…saya sendiri jarang sekali membacanya,” jawab Lap dengan jujur sambil menggaruk piringan kepalanya. Tapi, sang sesepuh tersenyum seperti biasanya dan melanjutkan kata-katanya.

“Mungkin Anda juga tak tahu. Dewa kami menciptakan dunia ini dalam satu hari. (Pohon Kehidupan, walau hanya sesuatu, tak ada satu hal pun yang tak dapat dilakukannya.) la menciptakan kappa betina. Tapi kappa betina mengalami kebosanan, sehingga ia menginginkan kappa jantan. Dewa kami merasa kasihan, lalu menciptakan kappa jantan dengan mengambil otak kappa betina. Kemudian Dewa memberkati kedua kappa itu dan mengatakan, “Makan, dan bersetubuhlah. Hiduplah dengan penuh semangat….”

Kata-kata ini mengingatkanku kepada Tock, sang penyair. Sayang, Tock adalah kappa ateis, sama dengan aku. Bukan hal aneh kalau aku tidak tahu tentang agama pemujaan kehidupan, karena aku bukan kappa. Tapi Tock yang terlahir di dunia kappa mestinya tahu tentang Pohon Kehidupan. Karena menyesali Tock yang tak percaya akan ajaran Pohon Kehidupan, aku menyela pembicaraan kappa sesepuh itu dan menceritakan Tock.

“Oh…maksud anda penyair yang malang itu?”

Sesepuh itu mendengarkan pembicaraanku, lalu menarik napas dalam-dalam.

“Nasib kita ditentukan oleh kepercayaan, lingkungan, dan faktor kebetulan. (Anda sekalian mungkin akan menambahkan faktor keturunan.) Malangnya, Tuan Tock tidak punya kepercayaan.”

“Saya yakin Tock iri kepada Anda,” kataku. “Demikian pula saya. Sedangkan Lap, dia masih muda….”

“Kalau saja paruh saya tidak ada masalah, mungkin saya lebih optimis,” kata Lap.

Mendengar kata-kata kami, sekali lagi sesepuh itu menarik napas dalam-dalam. Bahkan, dengan berlinang air mata, ia menatap patung Venus hitam.

“Sebenarnya…ini rahasia saya ya, maka saya harap Anda tidak menceritakan kepada siapa pun….Sebenarnya saya sendiri pun tidak percaya kepada Dewa kami. Tapi, suatu ketika doa saya….”

Tepat pada saat itu pintu terbuka, dan tiba-tiba seekor kappa betina bertubuh besar meloncat ke arah sesepuh. Tentu kami coba menahannya, namun tidak berhasil, dan secepat kilat ia membanting sesepuh itu ke lantai.

“Hei, Pak Tua! Lagi-lagi hari ini kau mencuri uang dari dompetku untuk minum-minum, bukan?”

Untuk beberapa saat kami begitu kikuk, sehingga kami buru-buru kabur keluar gerbang dan pergi dari tempat itu, meninggalkan kappa sesepuh dengan istrinya itu.

“Tidak aneh kalau begitu, kalau pendeta tua itu tak percaya kepada Pohon Kehidupan,” kata Lap, setelah kami berjalan dengan diam untuk beberapa lama. Bukannya menjawab kata-kata Lap, aku malah menoleh ke arah Kuil Agung. Kuil itu masih menjulang di langit kelabu pekat, dengan menara tinggi dan kubah bagai jemari yang tak terhingga banyaknya. Kuil itu tampak seperti fatamorgana mengerikan di atas langit gurun pasir….

Kappa Bagian Xi-XII

oleh Ryunosuke Akutagawa

DI bawah ini adalah beberapa kutipan dari buku Kata-kata Si Bodoh karya Filsuf Mag.

“Kappa bodoh selalu yakin bahwa semua kappa adalah bodoh, kecuali dirinya.”
***
“Kita mencintai alam, karena alam tidak benci atau iri kepada diri kita.”
***
“Hidup yang paling bijaksana adalah memandang rendah adat dan kebiasaan zamannya di satu sisi, dan di sisi lain berusaha tidak melanggarnya.”
***
“Sesuatu yang paling ingin kita banggakan adalah sesuatu yang tidak kita miliki.”
***
“Siapa pun tak keberatan menghancurkan sesuatu yang diagung-agungkannya. Pada saat yang sama ia pun tak keberatan untuk dipuja-puja. Tapi barangsiapa duduk di takhta dengan tenang dan dipuja adalah mereka yang diberkahi para dewa. Mereka adalah si bodoh, si jahat, atau pahlawan.” (Craback menandai bagian ini dengan guratan kukunya.)
***
“Berbagai gagasan yang diperlukan dalam kehidupan kita mungkin telah ada sejak 3.000 tahun lalu. Barangkali kita hanya menambahkan bara baru pada kayu bakar yang telah ada.”
***
“Sesuatu yang khas pada diri kita biasanya ada di luar kesadaran kita.”
***
“Jika kebahagiaan disertai penderitaan, perdamaian dengan perasaan jenuh…?”
***
“Membela diri sendiri lebih sulit daripada membela orang lain. Bagi yang merasa ragu lihatlah para pengacara melakukannya.”
***
“Kebanggaan, berahi, dan kecurigaan-tiga hal inilah penyebab segala perbuatan jahat, demikian juga dengan perbuatan baik sejak 3.000 tahun lalu.”
***
“Mengurangi hasrat duniawi tidak selalu membawa ketenteraman. Agar dapat merasa tenteram, hasrat batiniah juga harus dikurangi.”
(Lagi-lagi Craback manandai bagian ini dengan guratan kukunya.)
***
“Jika dibandingkan manusia, kappa kurang bahagia. Manusia masih tertinggal dibandingkan kemajuan yang dicapai kappa.” (Membaca kalimat ini aku tertawa tanpa sadar.)
***
“Dengan melakukan sesuatu berarti kita dapat mencapai sesuatu, dan untuk mencapai sesuatu kita harus berbuat. Kehidupan kita tak dapat lepas dari lingkaran logika seperti ini….Ini tidak masuk akal.”
***
“Menurut Voltaire yang mendewakan akal sehat, kebahagiaan dalam kehidupan yang panjang menunjukkan bahwa evolusi manusia masih lebih rendah jika dibandingkan kappa.”

Bagian XII

PADA sore hari yang agak dingin, setelah lelah membaca kata-kata Si Bodoh, aku pergi mengunjungi Filsuf Mag. Ketika sampai di salah satu sudut kota yang sepi, kulihat kappa kurus seperti nyamuk sedang bengong bersandar pada tembok. Tak salah lagi, dialah kappa yang mencopet pulpenku beberapa waktu lalu. Ketika aku hendak menangkapnya, kebetulan lewat polisi bertubuh kekar.

“Tolong periksa kappa itu. Dia mencopet pulpenku sekitar sebulan lalu.”

Polisi itu lalu mengacungkan pentungan dengan tangan kanannya memanggil kappa itu. (Polisi di negeri kappa membawa pentungan kayu sebagai ganti pedang.) “Hai, kau!”

Aku khawatir jangan-jangan pencopet itu akan melarikan diri. Tapi ternyata dengan tenang ia menghampiri polisi itu dengan kedua tangan tetap bersedekap. Ia menatapku dan kappa polisi bergantian dengan angkuhnya. Pak polisi tidak marah melihat sikapnya, lalu mengeluarkan buku catatan dari kantong perutnya dan mulai bertanya.

“Nama?”

“Gruk.”

“Pekerjaan?”

“Sampai dua-tiga hari lalu, saya bekerja sebagai pengantar pos.”

“Bagus. Nah, Gruk, orang ini mengatakan kau telah mencopet pulpennya?”

“Ya. Sekitar sebulan lalu.”

“Untuk apa?”

“Untuk mainan anakku.”

“Lalu, bagaimana dengan anakmu?”

Polisi menatap tajam kappa itu.

“Ia meninggal seminggu lalu.”

“Kau punya surat kematiannya?”

Gruk mengeluarkan selembar kertas dari kantong perutnya. Polisi itu hanya melihat kertas itu sekilas saja, lalu sambil menyeringai tiba-tiba ia menepuk pundak si pencopet dan berkata, “Baiklah. Maaf, dan terima kasih.”

Aku tercengang memandang wajah polisi itu. Semenara itu si pencopet berlalu membelakangi kami sambil menggumam sesuatu. Setelah agak hilang kegetku, aku lantas bertanya kepada polisi itu. “Kenapa dia tidak ditangkap?”

“Ia tidak bersalah.”

“Tapi dia kan terbukti telah mencuri pulpen saya….”

“Ya, rupanya ia mau memberikan pulpen itu sebagai mainan anaknya. Anak tersebut kini telah meninggal. Kalau kau ingin tahu lebih lanjut mengenai hal ini silakan lihat Pasal 1.285 Undang-Undang Hukum Pidana.”

Setelah menjawab seperti itu ia buru-buru pergi. Karena tak tahu harus berbuat apa, maka aku segera menuju rumah Filsuf Mag sambil terus mengingat-ingat nomor pasal itu. Filsuf Mag paling suka didatangi tamu. Hari itu, di keremangan ruangan Filsuf Mag, sedang berkumpul Hakim Pep, Dokter Chack, dan Gael, direktur pabrik kaca. Mereka sedang merokok di bawah sinar lampu kaca tujuh warna. Aku sangat senang bisa bertemu Hakim Pep. Aku langsung duduk di kursi dan menanyakan perihal Pasal 1.285 Undang-Undang Hukum Pidana kepadanya.

“Maaf, apakah penjahat-penjahat di negeri ini tidak dihukum?”

Setelah mengembuskan kepulan asap rokok mahal yang pangkalnya dibalut kertas emas, Pep menjawab tak acuh.

“Tentu saja kami menghukum mereka. Bahkan kami juga menjatuhkan hukuman mati.”

“‘Tapi sekitar sebulan lalu….”

Lantas kuceritakan kepadanya kejadian yang kualami, dan menanyakan isi Pasal 1.285.

“Hmm, pasal itu berbunyi: ‘Meski seseorang terbukti melakukan tindak kejahatan, ia tidak akan dihukum jika penyebab terjadinya kejahatan itu tidak ada lagi’. Dengan demikian pencopet pulpenmu itu dengan sendirinya bebas dari dakwaan karena ia mencopet untuk anaknya. Ia bukan lagi seorang ayah.”

“Tapi menurutku itu tak masuk akal.”

“Jangan bergurau. Menyamakan kappa yang tadinya adalah ayah dengan kappa yang bukan ayah lagi yang justru tidak adil. Sebaliknya, menurut kami hal itu sangat lucu. Ha… ha… ha….”

Sambil melemparkan puntung rokok ia tertawa seolah tak peduli. Chack yang tak begitu paham undang-undang lalu berbicara setelah memperbaiki letak kacamata jepitnya.

“Apakah di Jepang juga ada hukuman mati?”

“Ada. Di Jepang ada hukuman gantung,” kataku.

Karena kesal kepada Pep yang bersikap dingin, kugunakan kesempatan itu untuk menyindir.

“Mungkin saja hukuman mati di negeri ini lebih beradab daripada di Jepang.”

“Memang benar,” jawab Pep. “Di negeri ini tidak adu hukum gantung, kami terkadang menggunakan kursi listrik, tapi itu juga sangat jarang. Biasanya kami cukup menyebutkan kejahatan yang mereka lakukan.”

“Apakah itu sudah membuat mereka mati?”

‘”Ya, benar. Kami punya fungsi saraf yang lebih peka daripada manusia. Ini tidak hanya dipakai dalam hukuman mati, tapi ada juga yang menggunakan cara ini dalam kasus pembunuhan,” kata Gael sambil tersenyum ramah di bawah cahaya ungu lentera kaca yang menerpa wajahnya.

“Beberapa waktu lalu seekor kappa sosialis menuduh aku pencuri. Ucapan itu nyaris melumpuhkan jantungku.”

“Agaknya, modus pembunuhan seperti ini sering digunakan,” kata Filsuf Mag. “Seekor kappa pengacara yang aku kenal juga mati dengan cara yang sama.”

Aku menoleh ke arah Mag yang selalu berbicara dengan tersenyum sinis dan seperti biasanya tak menatap siapapun.

“Sang pengacara tersebut disebut sebagai katak oleh seseorang,” lanjutnya. “Tentu kau tahu, di negeri ini katak dianggap sebagai mahluk berdarah dingin. Setelah dijuluki sebagai katak, sejak itu ia selalu bertanya-tanya kepada diri sendiri, apakah ia benar katak atau bukan, hingga akhirnya mati.”

“Itu kan sama saja dengan bunuh diri,” sahutku.

“Kappa yang memanggil dia katak itu memang bermaksud membunuhnya. Jadi, menurutmu ia sama dengan bunuh diri?”

Tepat pada saat itu dari balik dinding kamar tiba-tiba terdengar bunyi letusan pistol yang menggema keras. Tak salah lagi suara itu berasal dari rumah Tock, sang penyair.