Bayangan Padishah (3)

oleh Karl May

Untuk itu saya segera tanya Sadek,

“Tahukah Anda nama lengkap dari teman anda Halef?”

“Tentu.”

“Yaitu?”

“Dia adalah Hajji Halef Omar.”

“Itu belum lengkap. Dia adalah Hajji Halef Omar Ben Hajji Abul Abbas Ibn Hajji Dawud al Gossarah. Jadi Anda kiranya harus tahu bahwa dia berasal dari keluarga yang taat menjalankan perintah agama serta patuh yang mana semuanya adalah hajji, meskipun…”

“Sihdi,” potong Halef dengan suatu wajah penuh kejut, kaget dan teror,“ jangan bicara dengan nasib dari pembantu Tuan! Tuan tahu bahwa saya akan selalu taat kepada Tuan.”

“Saya harap begitu Halef. Engkau tidak lagi bicara mengenai dirimu dan diriku, sebaiknya engkau tanyakan ke temanmu tersayang Sadek dimana gerangan putranya yang telah engkau ceritakan padaku.”

“Apakah Halef sudah menceritakan tentang putra saya, effendi?” tanya si Arab.

“Allah memberkatimu, Halef, karena kau begitu memikirkan orang-orang yang sangat menyayangimu! Omar Ibn Sadek, putraku, pergi ke seberang chott ke Seftimi dan akan kembali hari ini.”

“Kami juga bermaksud menyeberangi chott, dan kami mengharapkan engkau menjadi penunjuk jalan kami,” ujar Halef.

“Engkau? Kapan? Sadek menanyakan kami.

“Hari ini,” jawab saya.

“Kemana Tuan berkehendak mau pergi Sihdi?”

“Ke Fetnassa. Bagaimana jalannya?”

“Berbahaya. Sangat berbahaya. Hanya ada dua jalur yang aman ke pinggiran seberang, yaitu El Toserija di antara Toser dan Fetnassa, dan Es Suida antara Nefta dan Sarsin. Jalur dari sini ke Fetnasa adalah yang paling buruk dan hanya dua orang yang tahu dengan pasti, yaitu saya dan Arfan Rakedihm dari Kris.

“Apakah putra anda juga tidak tahu jalannya?”

“Ya, tapi dia tidak pernah pergi sendirian. Sejujurnya, dia lebih tahu jalan yang ke Seftimi”

“Jalan itu, untuk beberapa lama, bergabung dengan jalan yang ke Fetnassa,” saya menebak-nebak.

“Setelah sekitar dua pertiga perjalanan, Sihdi.”

“Apabila kita berangkat setelah tengah hari, kapan kita bisa mencapai Fetnassa?”

“Sebelum matahari terbit, kalau binatang-binatang Anda kuat.”

“Anda menempuh chott juga jika malam?”

“Jika bulan bersinar, ya. Tapi jika gelap, maka orang harus beristirahat di chott, apalagi kalau garamnya tebal, sehingga tidak ada masalah dengan beban perkemahan.”

“Maukah Anda menjadi penunjuk jalan kami?”

“Ya, effendi.”

“Bisa saya lihat-lihat dulu chott nya?”

“Tuan belum pernah menyeberangi suatu chott?”

“Belum.”

“Baik, marilah! Tuan akan melihat rawa-rawa kematian, ranah keputus-asaan, laut ketenangan, dimana saya akan menuntun jalan Tuan dengan langkah-langkah kepastian.”

Kami meninggalkan pondok dan berbalik ke timur. Setelah kami menyeberangi perbatasan yang lebar dan berlumpur, kami tiba di pinggiran chott yang sebenarnya.

Karena kerak garam, airnya tak terlihat. Saya segera menggali dengan pisau dan mendapati bahwa keraknya sedalam empat belas sentimeter, namun itu cukup padat untuk menahan beban manusia rata-rata. Kerak itu tertutup dengan lapisan tipis dari pasir yang tertiup angin, yang bertiup di beberapa tempat. Potongan-potongan ini memendarkan warna biru keputihan. Sewaktu sedang sibuk dengan pengamatan saya, sepotong suara terdengar dari belakang kami:

“Salaam ‘aleïkum – Damai kiranya beserta Anda.”

Saya berbalik. Di hadapan kami berdiri seorang Badui yang kurus berkaki bengkok, yang kelihatannya kehilangan hidungnya entah karena suatu infeksi atau mungkin sebuah peluru.

“’Aleïkum salam!” jawab Sadek. “Apa yang sedang dilakukan saudara saya Arfan Rakedihm di sini di chott? Dia memakai pakaian perjalanan. Apakah dia akan mengawal pengelana asing melalui sobha?”

“Begitulah,” jawab Arfan Rakedihm. “Dua orang, yang akan segera tiba.”

“Kemana mereka akan pergi?”

“Ke Fetnassa.”

Arfan Rakedihm menunjuk Halef dan saya seraya bertanya ke Sadek:

“Apakah dua orang asing ini juga bermaksud menyeberangi danau?”

“Ya.” Jawab Sadek.

“Kemana perginya?”

“Juga ke Fetnassa.”

“Dan engkau menunjukkan jalannya?”

“Kau bisa tebak sendiri.”

“Mereka bisa pergi bersama saya, sehingga tidak akan merepotkanmu.”

“Mereka teman-teman. Yang tidak menyusahkan saya.”

“Saya tahu itu, engkau pelit dan tidak menyisakan saya apa-apa. Tidakkah engkau selalu saja merebut pelancong yang kaya dari tangan saya?”

“Saya tidak pernah merebut siapapun dari kamu, saya memandu orang-orang yang datang ke saya atas kehendak mereka sendiri.”

“Kenapa Omar, putramu, menjadi pemandu ke Seftimi? Kau mengambil mata pencarian saya dengan paksa, sehingga saya menderita. Allah kiranya menghukummu dan menuntun langkahmu hingga chott menelanmu.”

Mungkin persaingan-usahalah yang menyebabkan permusuhan itu di sini, tapi bahkan jika tidak begitupun, orang ini kelihatan tidak bisa dipercaya dan itu terlihat di matanya, dan yang pasti saya tidak akan menunjuk dia sebagai pemandu saya. Arfan Rakedihm berbalik dan melangkah sepanjang tepian, dimana di kejauhan dua pengendara muncul, yaitu orang-orang yang akan dituntunnya menyeberangi chott.

“Sihdi,” panggil Halef. “Tuan kenali mereka?”

“Saya tahu.”

“Apakah kita biarkan mereka pergi tanpa halangan?”

Dia sudah mengangkat senjatanya dan siap untuk menembak. Saya cegah dia.

“Biarkan saja mereka! Mereka tidak akan bisa melepaskan diri dari kita.”

“Siapa orang-orang itu?” tanya pemandu kami.

“Para pembunuh.” jawab Halef.

“Apakah mereka telah membunuh salah satu anggota keluarga Tuan atau suku
Tuan?”

“Tidak.”

“Adakah dendam-berdarah yang harus diselesaikan dengan mereka?”

“Tidak.”

“Jadi biarkan saja mereka pergi! Tidak ada gunanya mencampuri hal-hal yang
berkenaan dengan orang tak dikenal.”

Orang ini berbicara seperti layaknya Badui asli. Dia bahkan merasa tidak ada perlunya menengok pada orang-orang yang disebutkan padanya sebagai pembunuh. Mereka juga melihat dan memperhatikan kami. Saya lihat mereka bergegas menuju permukaan garam. Segera setelah mereka melakukannya, mereka berbalik memunggungi kami dan tertawa dengan melecehkan. Kami berjalan kembali ke pondok, beristirahat hingga tengah hari, mengganti bekal dan kemudian memulai perjalanan yang sangat berbahaya. Saya telah banyak melakukan perjalanan dengan susah-payah berkilo-kilo meter pada musim dingin di atas sepatu salju di atas sungai-sungai asing yang tidak dikenal, dimana orang perlu selalu waspada terhadap lapisan es yang pecah; tapi saya tidak pernah mengalami perasaan yang menyelimuti diri saya sekarang, saat saya melangkah diatas chott yang tidak bisa ditebak. Ini bukan teror, bukan juga rasa takut, tapi lebih pada perasaan yang dialami seseorang yang berjalan di atas seutas tali ketika dia tidak sepenuhnya yakin apakah tali yang menyangga beban tubuhnya sudah benar-benar terikat dengan baik.

Sebagai ganti es, lapisan kerak garam adalah sesuatu yang baru bagi saya. Suara yang aneh, warna, kristalisasi kerak, semuanya ini begitu asing, hanya sedikit saja mendukung rasa nyaman saya. Saya mencoba setiap langkah dan mencari kepastian kepadatan permukaannya. Ada tempat-tempat yang padat dan empuk dimana orang bisa terpeleset di atasnya, ada juga tempat lainnya yang kotor bagaikan salju yang terinjak-injak dan tidak akan mampu menahan beban yang sekecil apapun. Hanya setelah saya menjadi sedikit terbiasa dengan perasaan baru ini, saya menaiki kuda saya dan mempercayai sepenuhnya yang pertama kepada sang pemandu dan yang kedua kepada insting binatang. Kuda jantan kecil saya bersikap seolah-olah telah pernah menempuh jalur seperti ini sebelumnya. Dia berjalan dimana kalau dirasa aman, dengan penuh kepercayaan. Tapi jika rasa percaya itu hilang, dia memperkirakan daerah aman itu dengan coba-coba, dengan sangat hati-hati, di atas jalur yang sering kurang dari tigapuluh senti lebarnya.

Dia menelungkupkan telinganya kalau tidak ke depan tentu ke belakang, mengendus daratan, mendengus dengan ketidakpastian atau pertimbangan, dan dengan terlebih dahulu menghentak-hentakkan kaki depannya pada tempat-tempat yang harus diwaspadainya. Penunjuk jalan kami melangkah terus ke depan, saya mengikuti dia, dan Halef mengekor di belakang saya. Jalurnya benar-benar menguras perhatian kami, sehingga kami sedikit berbicara. Itulah sebabnya setelah tiga jam lamanya berlalu barulah akhirnya Sadek berpaling ke saya: “Hati-hati, Sihdi!” dia mengingatkan, “sekarang kita tiba pada bagian yang paling jelek dari sepanjang perjalanan. ” “Kenapa paling jelek?” “Jalurnya sering melalui air yang dalam dan sangat sempit untuk bentangan yang panjang, kira-kira selebar dua jengkal.” “Permukaannya akan tetap baik-baik saja?” “Saya tidak yakin, kedudukannya selalu berubah-ubah.” “Jadi saya harus turun untuk mengurangi separoh beban.” Saya menyarankan. “Sihdi, jangan lakukan itu. Kuda Tuan berjalan dengan lebih pasti daripada Tuan.” Karena pemandu adalah pemimpin perjalanan kami, saya menyetujuinya dan tetap duduk di pelana. Bahkan hingga hari inipun saya masih menggigil kalau mengingat apa yang terjadi sepuluh menit berikutnya. Hanya sepuluh menit, tapi dalam kejadian seperti itu masa yang sedemikian pendek seolah terjadi tanpa akhir. Kami tiba pada dataran dimana bukit telah menjadi lembah, dan lembah menjadi bukit.

Gundukan -gundukan yang berbentuk gelombang itu terjadi dari garam yang padat dan keras, namun demikian lembah-lembahnya terdiri atas massa yang kental, dimana bagian-bagiannya tidak cukup mampu menahan binatang dan bebannya sekaligus, dengan demikian konsentrasi yang tinggi termasuk kewaspadaan yang mutlak atas bahaya yang mengancam benar-benar diperlukan. Meskipun saya duduk di atas kuda, air hijau itu sering mencapai paha saya. Itu berarti, pijakan yang aman -yang harus dirabaraba terlebih dahulu, berada di bawah permukaan air. Yang lebih buruk lagi, si pemandu dan kemudian binatangnya harus mencarinya terlebih dahulu dan kemudian mencobanya sebelum masing-masing bisa dipercaya dengan segenap berat pengendara dan muatannya.

Terlebih lagi, datarannya begitu rawan, begitu menipu, sehingga orang tidak berani tinggal sekejap pun lebih lama daripada yang diperlukan, kalau dia tidak mau terbenam. Benar-benar menegangkan syaraf. Kini kami tiba pada bagian jalur yang samasekali tidak bisa dipercaya dan semata hanya duapuluhlima senti lebar dengan panjang sekitar duapuluh meter. “Sihdi, awas! Kita berdiri di tengah-tengah maut.” Teriak pemandu kami. Dia memalingkan wajahnya ke arah timur sementara dia memeriksa permukaan dan berdoa dalam suara yang keras Fatikah yang suci: “Atas nama Allah yang Pemurah dan Penyayang, segala puji bagi Allah, yang Maha Pemurah dan Penyayang, penguasa hari kiamat, kepadaNyalah kami menyembah, dan kepadaNyalah kami memohon perlindungan, tunjukkanlah kami jalan yang benar, jalan yang engkau ridloi dan bukan jalan yang …” Halef yang berada di belakang saya ikut serta dalam doa itu. Tiba-tiba keduanya berhenti pada saat yang sama, karena di antara dua tebing sebuah tembakan terdengar. Kedua lengan pemandu kami terdorong ke atas, menjeritkan teriakan, kehilangan pijakan dan hilang segera ke dalam lapisan garam yang segera menutup kembali. Itu semua terjadi dalam sekejap, dimana akal manusia dikaruniai dengan ketajaman yang sedemikian rupa, sehingga hampir tanpa pikir segera mengambil tindakan yang biasanya perlu waktu beberapa menit bahkan terkadang beberapa jam untuk melakukannya, serta mendorong mereka tanpa sadar mengatasi kesadaran pikiran. Gema tembakan belum lagi reda dan pemandu kami belum lagi terbenam seluruhnya, namun demikian saya memahami semuanya. Kedua pembunuh itu bermaksud menghilangkan penuduh-penuduhnya, untuk itu mereka harus membujuk pemandunya, apalagi si pemandu iri terhadap Sadek. Mereka sama sekali tidak perlu melukai kami, tapi jika mereka membunuh pemandu kami, kami juga pasti akan habis. Mereka mencegat kami di sini, pada bagian yang paling berbahaya dari jalan setapak dan menembak Sadek. Sekarang mereka cukup menonton dan menunggu kami membuat langkah yang salah dan kemudian akan mampus juga di bawah permukaan chott.

Meskipun semua terjadi sedemikian cepatnya, saya perhatikan Sadek terkena peluru di kepalanya. Apa jadinya kalau pelurunya menembus Sadek dan terus mengenai kuda saya, atau binatang itu terguncang karena suara mengagetkan? Demikianlah kuda Berber kecil ini meronta-ronta dengan liarnya sehingga kehilangan jejakan kaki depannya dan masuk ke dalam lapisan lumpur. “Sihdi!” terdengar teriakan ketakutan Halef di belakang saya. Saya benar-benar celaka, tapi ada satu hal yang menolong saya, sementara kuda saya tenggelam dan mencoba mencari pijakan tanah dengan sia-sia, saya letakkan tangan saya pada ujung pelana, saya lontarkan paha ke belakang dan ke udara melampaui kepala kuda. Karena tekanan tambahan yang saya timpakan pada si kuda malang, dia tenggelam segera ke kerak garam itu. Pada saat itu, ketika masih melayang di udara, saya berdoa ke Tuhan, doa yang paling khusuk sepanjang hidup saya. Kata-kata yang panjang dan bermenit-menit tidak perlu untuk sebuah doa ketika orang sedang ada dalam antara hidup dan mati. Juga tidak ada kata-kata dan tidak juga ukuran untuk waktu. Saya menerpa dataran yang padat yang segera menurun di bawah saya. Saya cari dan temukan pijakan, tenggelam, cari dan temukan pijakan yang lain lagi.

Saya berjuang, terjerembab, dan mendapatkan juga dataran lagi akhirnya, tertarik ke bawah dan masih bisa juga maju ke depan dan masih tidak juga tenggelam. Saya tidak mendengar apa-apa, tidak merasa apa-apa, tidak melihat apa-apa, kecuali tiga orang di atas tebing garam, yang dua di antaranya menunggu saya dengan senjata siap di tangan. Akhirnya, saya menjejak tanah keras di bawah kaki, padat, cukup luas, hanya garam, tapi bisa menanggung beban dengan aman. Dua ledakan senapan meletus di dekat saya. Tuhan menakdirkan saya masih tetap hidup, saya merunduk tiarap dan pelurunya mendesing di telinga. Saya masih menyelempangkan senapan di punggung dan suatu keajaiban kalau saya tidak kehilangan mereka, tapi waktu itu saya sama sekali tidak memikirkan senjata, tapi justru menyerbu mereka dengan tangan terkepal ke kedua bajingan itu. Mereka tidak menyangka ini. Si pemandu kabur dan si yang lebih tua karena tahu bahwa dia tidak mungkin selamat tanpa pemandu, segera membuntutinya. Saya tangkap si muda. Dia meronta dan mau kabur, saya pegang kakinya erat-erat. Dia ketakutan setengah mati, seperti halnya saya mata gelap karena marah, kami tidak perduli ke arah mana pergumulan terjadi, ketika kemudian dia menjeritkan lolongan kengerian dan saya melompat mundur. Adukan lumpur garam menelannya, dan saya berdiri tepat tujuhpuluhlima senti di samping kuburnya. Di belakang saya teriakan ketakutan terdengar, “Sihdi, tolong, tolong!” Saya berbalik. Di sana, di tempat dimana saya mendapati pijakan yang padat, Halef berjuang di ambang maut. Dia telah mulai tenggelam, tapi untunglah bisa menopang dirinya dengan berpegang pada lempeng garam yang kuat. Saya melompat ke tempat Halef berada, melepaskan senapan repertir dari punggung dan mendorong ke arahnya sementara saya sendiri menelungkup di tanah.

“Tangkap talinya!” saya berseru.

“Sudah, Sihdi! O Allah illa Allah!”

“Ayunkan pahamu ke atas , saya tidak bisa lebih dekat lagi. Pegang kuat-kuat!” Dia memakai tenaga terakhirnya untuk mengangkat dirinya ke atas, pada saat yang sama saya tarik dengan segala kekuatan saya, dan berhasil.

Dia terangkat ke permukaan rawa. Segera sesudah Halef bisa bernafas lega kembali, dia berlutut dan berdoa: “Semua yang ada di langit dan di bumi, pujilah Tuhan, ini adalah kerajaannya, dan kita harus memuji Dia, karena Dia adalah Yang Maha Kuasa”. Dia, seorang muslim berdoa, tapi saya seorang nasrani tidak mampu. Saya harus mengakui saya tidak mampu merangkai kata-kata. Di belakang saya terletak padang garam, begitu indah , begitu tenang dan abadi, namun telah menelan pemandu berikut kedua tunggangan kami. Di depan kami saya lihat si pembunuh melarikan diri, dia yang harus bertanggungjawab atas semuanya! Setiap saraf bergetar dalam tubuh saya, dan perlu beberapa waktu lamanya hingga saya bisa tenang kembali. “Sihdi, apa Tuan terluka?” “Tidak, tapi temanku, bagaimana caranya hingga engkau bisa selamat?” “Saya lompat dari kuda saya, seperti yang Anda lakukan, effendi. Dan di luar itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saya bisa mulai ingat lagi ketika tergantung pada bibir garam. Tapi sekarang ini kita masih begitu juga.” “Kenapa?” “Kita tidak punya pemandu. Oh Sadek, teman jiwaku, kiranya arwahmu mengampuniku, karena saya bertanggungjawab atas kematianmu. Tapi saya akan membalas dendammu, dan saya bersumpah demi jenggot Nabi, saya akan membalas dendam untukmu, kalau saya tidak mati duluan di sini.” “Engkau tidak akan mati, Halef.” “Kita akan mati, kita akan mati karena kelaparan dan kehausan.” “Kita akan dapatkan pemandu.” “Siapa?” “Omar, putra Sadek.”

“Bagaimana dia akan menemukan kita di sini?”

“Tidakkah engkau dengar, dia pergi ke Seftimi dan akan kembali hari ini?” “Dia belum tentu menjumpai kita.”

“Dia akan menjumpai kita. Tidakkah Sadek mengatakan jalan ke Seftimi dan ke Fetnasa adalah sama untuk duapertiga bagiannya?”

“Effendi, Tuan memberikan kehidupan dan semangat baru. Ya, kita akan tunggu hingga Omar lewat.” “Baginya ini akan membawa berkat juga jika menjumpai kita di sini. Dia akan tertelan juga karena jalan setapak yang semula ada telah amblas dan dia belum tahu akan hal ini.” Kami duduk berdampingan di lempeng garam, panas matahari sedemikian teriknya sehingga baju kami mengering dalam hitungan menit dan tubuh kami tertutup dengan lapisan tipis garam pada bagian tubuh yang semula basah. Petangpun tiba. Dua jam sebelum malam tiba kami melihat sesosok tubuh perlahan menekati kedudukan kami dari timur. Sosok itu semakin dekat dan mendekat sehingga akhirnya melihat kami.

“Itu dia,” Halef berseru dan meletakkan tangannya di sekitar mulutnya seperti corong “Omar Ben Sadek, cepatlah kemari!”

Orang itu mempercepat langkahnya dan segera tiba di hadapan kami. Dia mengenali teman ayahnya.

“Selamat datang, Halef Omar!” dia menyambut.

“Hajji Halef Omar!” Halef membetulkan.

“Maafkan saya! Kegembiraan melihat Anda penyebab kesalahan saya. Anda datang ke Kris untuk menjumpai ayah saya?”

“Ya.” Jawab Halef.

“Dimana beliau? Kalau Anda ada di chott, beliau pasti di dekat sini.”

“Beliau ada di dekat sini.” Halef menjawab dengan takzimnya.

“Dimana?”

“Omar Ibn Sadek, sebaiknya seorang yang beriman tetap tegar jika mereka menemui kiamet.”

“Bicaralah, Halef, bicaralah! Apakah ada kecelakaan?”

“Ya.”

“Apa yang terjadi?”

“Allah telah memanggil ayahmu menjumpai para nenek moyangnya.”

Pemuda itu terpaku di hadapan kami, tanpa bicara. Dia menatap Halef dengan keputusasaan di matanya, dan wajahnya pucat luar biasa. Akhirnya dia bisa menguasai diri dan suaranya, tapi yang dikatakan di luar perkiraan, “Siapa Sihdi ini?”dia bertanya.

“Beliau Kara Ben Namsi, yang saya tunjukkan jalan ke ayahmu. Kami mengikuti dua pembunuh yang berjalan melintasi chott.”

“Ayah saya menjadi pemandu kalian?”

“Ya, beliaulah yang memandu. Para pembunuh menyuap Arfan Rakedihm dan mencegat kami. Mereka menembak ayahmu. Beliau dan kudanya tenggelam di rawa, sedang Allah melindungi Sihdi dan saya.”

“Dimana para pembunuh itu?”

“Satu mati di rawa garam, satunya lagi kabur dengan chabir -pemandu ke Fetnassa.”

“Jadi jalan setapaknya sekarang kacau.”

“Ya, Anda tidak bisa menapak di sini.”

“Dimana ayah saya tenggelam?”

“Di sana, tigapuluh langkah dari sini.” Halef menunjuk suatu titik dimana pemandu kami lenyap ke dalam chott.

Omar melangkah sejauh tebing memungkinkan, menatap ke depan sejenak, kemudian memandang arah ke timur:

“Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Adil, dengarkan saya! Mohammad, nabi Tuhan, dengarkan saya! Semua kalifah dan syuhada Islam dengarkan aku! Saya, Omar Ben Sadek, tidak akan tertawa, atau memotong jenggot, tidak akan masuk mesjid, sampai para pembunuh ayah saya terbakar di Jehennam! Saya bersumpah!”

Saya benar-benar menggigil mendengar sumpah ini, tapi tidak bisa mengatakan apa-apa. Sekarang dia duduk di samping kami dan dengan ketenangan yang luar biasa berkata: “Ceritakan padaku tentang itu.”

Halef melakukan seperti yang dia minta. Ketika dia telah selesai, si anak muda itu bangkit.

“Mari!” Hanya itu satu-satunya kata yang diucapkan, kemudian dia berjalan di depan, ke arah dari mana dia datang.

Kami telah melampaui bagian yang paling sukar dari jalur itu, dan tidak akan ada bahaya semacam itu lagi meskipun kami berjalan di petang hari dan sepanjang malam.

Ketika pagi tiba, kami mencapai pinggiran pantai Tanjung Nifsaua dan melihat Fetnassa di hadapan kami.

“Bagaimana sekarang?” tanya Halef.

“Ikuti saya saja.”

Itu kata-kata Omar yang pertama yang dia ucapkan sejak kemarin. Dia melangkah ke pondok yang terdekat di pantai. Seorang tua duduk di depannya.

“Salaam ‘aleïkum!”

“Aaleïkum salam.”

“Anda Abdullah el Hamis, tukang timbang garam?”

“Ya.”

“Apakah Anda lihat chabir Arfan Rakedihm dari Kris?”

“Dia tiba di pantai subuh tadi dengan seorang asing.”

“Apa yang dia lakukan?”

“”Si chabir beristirahat di sini dan kemudian pergi ke Bir Rekeb, dari sana dia
mau kembali ke Kris. Orang asingnya membeli seekor kuda dari anak saya
dan menanyakan jalan ke Kbili.”

“Terima kasih, Abu el Malah,- ‘Ayah Garam’!”

Omar berjalan kembali dengan diam dan membawa kami ke pondok, dimana kami
makan korma dan minum secawan lagmi (air nira korma). Kemudian kami mengarah ke
Kbili melalui Beshmi, Negua dan Mansurah, dimana pertanyaan-pertanyaan kami secara
pasti selalu terjawab, menunjukkan bahwa kami sedang pada jalur yang ditempuh buruan
kami.

Dari Mansurah sudah tidak jauh lagi ke Oase besar Kbili. Pada masa itu masih ada
Wekil Turki, Petinggi, dimana dia ada di bawah perintah Penguasa Tunisia membawahi
daerah Nifzaua, dan untuk itu dia diperlengkapi dengan sepuluh serdadu. Kami mula-mula pergi ke sebuah warung kopi, dimana Omar tidak tinggal lama. Dia meninggalkan kami untuk mengumpulkan keterangan-keterangan dan kembali setelah setengah jam berlalu.

“Saya telah lihat dia.” Omar melapor.

“Dimana?”

“Bersama Wekil.”

“Dengan Petinggi?”

“Ya, dia menjadi tamu Petinggi dan memakai jubah yang bagus. Kalau Tuan mau bicara dengan dia, Tuan harus cepat-cepat karena sekarang waktu untuk menerima tamu.”

Rasa ingin tahu saya benar-benar terangsang. Pembunuh yang diburu menjadi tamu seorang pejabat pemerintahan!

Omar membawa kami menyeberang lapangan terbuka menuju rumah batu yang rendah, dindingnya tidak ada tanda-tanda berjendela. Di depan pintu berdiri Sembilan nefers- serdadu, dimana mereka berbaris atas komando seorang onbashi –komandan dari sepuluh orang, sementara sang saka –penabuh genderang, berdiri menyandar ke pintu dan memperhatikan mereka.

Kami diijinkan untuk masuk, dan ditanya oleh seorang Moor, apa keperluan kami. Dia menyilakan kami masuk ke dalam selamlük- sebuah ruangan tanpa hiasan dinding, dihiasi hanya dengan permadani kusam, yang menutupi hanya sebagian saja dari ruangan. Di atas permadani, bertahtalah seorang lelaki dengan wajah bak patung berhala. Dia merokok tembakau dengan hookah – pipa air Persia kuno.

“Mau apa kalian kemari? Dia bertanya.

Nadanya ketika menanyakan pertanyaan itu sama sekali tidak saya sukai. Karena itu saya jawab dengan sebuah tanya:

“Siapa kamu?”

Dia menatap saya dengan keheranan yang seheran-herannya.

“Saya Wekil!”

“Kami mau bicara dengan tamumu, yang tiba disini kemarin atau hari ini.”

“Siapa kau.”

“Ini paspor saya.”

Saya berikan dokumen ke tangannya. Dia menatap dengan pandangan sekejap, melipat dan meletakkannya pada celana haremnya yang lebar.

“Siapa orang ini?” Dia meneruskan sambil menunjuk Halef.

“Pembantu saya.”

“Siapa namanya?”
“Dia bernama Hajji Halef Omar.”

“Siapa satunya lagi?”

“Dia pemandu kami Omar Ben Sadek.”

“Dan siapa kau?”

“Anda baru saja membaca siapa saya.”

“Saya belum baca siapa kamu.”

“Itu tertulis di paspor saya.”
“Itu tertulis dengan huruf-huruf orang kafir. Darimana kau dapatkan ini.”

“Dari pemerintah Prancis di Aljazair.”

“Pemerintah Prancis di Aljazair tidak punya wewenang di sini, paspormu senilai
dengan kertas kosong. Sekarang, siapa kau.”

Saya memutuskan untuk memakai nama yang Halef berikan pada saya.

“Nama saya Kara Ben Nemsi.”

“Jadi engkau putra dari Nemsi? Saya tidak tahu mereka. Dimana mereka tinggal?”

“Sebelah timur Turki sebelum orang tiba di perbatasan Prancis dan Inggris.”

“Apakah tempat mereka tinggal luas oase-nya, atau mereka punya banyak oase kecil-kecil?”

“Mereka tinggal pada suatu oase besar, sedemikian besarnya sehingga cukup untuk menampung limapuluh juta orang.”

“Allah akbar-Tuhan Maha Besar! Ada oase-oase yang berlimpah dengan kehidupan. Apa oase ini juga mempunyai arus sungai?”

“Ada lima ribu sungai dan jutaan anak sungai. Banyak dari sungai itu sedemikian besarnya sehingga bisa menampung kapal yang bisa membawa penduduk kota Basama atau Rahmath.”

“Allah kerihm-Tuhan Maha Pengampun! Bukan main bencana yang timbul kalau semua kapal tertelan ke sungai pada saat bersamaan! Pada Tuhan yang mana kaum Nemsi percaya?”

“Mereka percaya pada Tuhan Anda, tetapi mereka tidak menyebut namaNya Allah, tetapi Bapa.”

“Jadi mereka bukan kaum Sunnah tapi Syiah?”

“Mereka kaum nasrani.”

“Allah iharkilik – Tuhan membakar kalian! Jadi kau juga nasrani?

“Ya.”

“Seorang giaur? Dan kau berani berbicara dengan Wekil Kbili. Saya akan berikan bastinado kalau engkau tidak segera kabur dari pandangan saya! “Apakah saya telah melakukan sesuatu yang salah menurut hukum Anda, atau telah melakukan sesuatu yang menghina Anda?”

“Ya. Seorang giaur tidak berhak menampakkan diri di hadapan saya. Sekarang, siapa nama dari pemandumu?”

“Omar Ben Sadek.”

“Bagus! Omar Ben Sadek sejak berapa lama engkau telah bekerja pada Nemsi ini?”

“Sejak kemarin.”

“Itu belum lama. Karenanya saya akan memberikan belas-kasihan dan menghukum kamu dengan duapuluh pukulan pada telapak kakimu.”

Berbalik pada saya, dia bilang: “Dan siapa nama pembantumu?”

“Allah akbar-Tuhan Maha Besar, tapi sayang sekali beliau mengkarunia Anda otak begitu kecil hingga tidak bisa mengingat dua nama! Nama pembantu saya adalah, dan ini sudah pernah saya sampaikan , Hajji Halef Omar.”

“Kau mau menghina saya, giaur! Saya akan putuskan hukumanmu segera! Sekarang, Halef Omar, engkau adalah haji dan melayani orang kafir? Kau pantas mendapat pukulan ganda. Sejak berapa lama kau bersama dia?”

“Lima minggu,” jawab Halef.

“Itu berarti enampuluh pukulan di telapak kakimu dan setelah itu lima hari tanpa makan dan minum ! Dan kau, sekarang siapa namamu lagi?”

“Kara Ben Nemsi.”

“Bagus. Kara Ben Nemsi, kau dikenai tiga kejahatan besar.”

“Yang mana Sihdi?”

“Saya bukan Sihdi, kau harus memanggilkan saya Jenabin-iz atau Hazretin-iz, begitu, ‘Paduka’ atau ‘Yang Mulia’! Kejahatanmu sebagai berikut: Pertama-tama engkau telah mengajak rusak orang beriman, untuk itu kau mendapat limabelas pukulan; yang keduanya berani mengganggu saya selama kef (tidur siang) saya, itu limabelas pukulan tambahan; dan yang ketiganya kau meragukan ingatan saya, itu duapuluh pukulan lagi; jumlah semuanya limapuluh pukulan di telapak kakimu. Dan karena menjadi wewenang saya untuk memungut wergi-pembayaran, semua barangmu ditahan dan diserahkan ke saya.”

“Oh. Jenabin-iz agung, saya begitu terpesona dengan Tuan, keadilan Anda begitu mulia, kebijakan Anda paling mulia, keanggunan Anda terlebih lagi mulia, dan kecerdasan serta kecerdikan Anda paling mulia di atas segalanya. Tapi saya mohon Bei yang mulia dari Kbili, perkenankan kami menemui tamu yang mulia, sebelum kami menerima pukulan.”

“Mau apa engkau ketemu dia?” “Saya yakin dia kenalan lama saya, dan saya mengharapkan kebahagiaan terpancar di wajahnya sewaktu menemui saya.”

“Dia bukan kenalanmu. Dia pejuang besar, putra mulia sang Sultan, dan beriman ke Qur’an dengan patuh, dan dia tidak pernah berkenalan dengan kafir yang manapun juga. Tetapi supaya dia bisa melihat bagaimana Wekil Kbili menghukum pesakitan, saya akan ijinkan dia datang. Kebahagiaan di wajahnya bukan karena melihatmu, melainkan dari setiap pukulan yang kau terima. Dia tahu bahwa kau akan datang.”

“Ah, bagaimana dia bisa tahu?”

“Kau melewati dia tadi tanpa melihat dia, dan dia segera mengadukan engkau padaku. Kalau saja kau tidak segera datang, maka saya akan segera menangkapmu.”

“Dia melaporkan saya. Untuk apa?”

“Itu akan segera kau dengar. Dengan demikian kau akan terima hukuman kedua yang akan lebih hebat daripada yang telah saya berikan padamu.”

Ini benar-benar titik balik yang aneh dan mengherankan yang terjadi sewaktu kami bertatap muka dengan pejabat ini.

Seorang Wekil dengan sepuluh serdadu di suatu oase yang jauh dan terlupakan – dulunya kalau dia bukan seorang tshaush -sersan tentu mülasim letnan, dan orang tahu apa yang bisa diharap dari seorang letnan Turki. Para bawahan ini adalah, atau dulunya, tak lebih dari tukang lap sepatu atau pengisi pipa dari para perwira di atasnya. Orang ini telah ditempatkan di Kbili untuk memberi dia kesempatan membeayai dirinya sendiri dan benar-benar terlupakan, mengingat Bei Tunisia telah mengejar habis semua serdadu Turki dari negeri ini. Selanjutnya, suku-suku Badui hanya ada di bawah lindungan sang Sultan sejauh beliau setiap tahunnya mengirim jubah kebesaran bekasnya, kemudian mereka menunjukkan rasa terima kasihnya dengan cara tidak memperdulikan beliau sama sekali. Sang Wekil dengan demikian dipaksa membeayai dirinya sendiri dengan cara melakukan pemerasan. Karena ini agak rawan kalau dilakukan terhadap penduduk setempat, maka munculnya orang asing akan menjadi hal yang sangat menguntungkan sekali.

Dia sama sekali tidak tahu negeri Jerman, tidak tahu sama sekali makna konsulat, dia tinggal di antara suku pengelana yang suka mencuri, dan dia percaya bahwa saya tanpa perlindungan sama sekali, serta menganggap bahwa dia bisa melakukan apa saja tanpa berakibat apapun. Sudah tentu benar bahwa saya hanya mempercayakan keselamatan pada diri saya sendiri, namun pikiran bahwa saya takut terhadap “Yang Mulia” sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak saya, sebaliknya justru menarik kalau dia bermaksud memperkenalkan hukuman bastinado dengan cara yang penuh sopan-santun. Pada waktu yang sama, saya juga ingin tahu apakah tamunya adalah benar-benar orang yang kami kejar. Omar bisa saja salah tapi saya meragukannya, mengingat saya mempertimbangkan pula bahwa tamu itu telah mengadukan kami pula. Kejahatan apa yang dia tuduhkan terhadap kami hanya bisa saya terka. Bagaimanapun juga, dia jelas telah dikenal oleh sang Wekil dan menggunakan itu untuk menjadikan kami tidak berdaya. Sang Petinggi menepukkan kedua tangannya dan segera seorang pelayan hitam muncul serta menjatuhkan dirinya dihadapan sang Wekil seolah sedang dihadapan sang Sultan saja layaknya. Sang Wekil membisikkan beberapa patah kata ke pelayan yang kemudian beranjak. Tak berapa lama pintu terbuka dan sepuluh serdadu dengan onbashi mereka masuk.

Eveline oleh James Joyce

Dia duduk di jendela menyaksikan malam merangsek turun ke jalanan. Kepalanya bersandar ke tirai jendela dan melalui lubang hidungnya dia mencium bau tenunan yang berdebu. Dia lelah.

Ada beberapa orang yang lewat. Pria yang keluar dari rumah terakhir itu sedang berada dalam perjalanan pulang; dia mendengar langkah kaki pria itu yang berkeletak di sepanjang trotoar beton dan kemudian berderap di blok sinder di depan rumah-rumah merah baru. Suatu kali dulu ada lapangan di sana tempat mereka biasa bermain dengan anak-anak tetangga setiap malam. Kemudian seorang pria dari Belfast membeli tempat itu dan membangun rumahnya di sana — tidak seperti rumah-rumah cokelat kecil mereka tetapi rumah-rumah bata terang dengan atap yang berkilauan. Anak-anak yang tinggal di dekat jalan raya dulu sering bermain bersama di tempat itu — Devines, Waters, Dunn, Keogh kecil yang pincang, beserta dirinya dan saudara-saudaranya. Ernest, bagaimanapun, tidak pernah bermain: dia sudah terlalu dewasa. Ayahnya sering mengejar mereka sampai ke luar lapangan dengan tongkat blackthorn-nya; tetapi biasanya Keogh kecil akan lebih dulu memberi tahu mereka setiap kali dia melihat laki-laki itu datang. Meski demikian mereka tampaknya sungguh bahagia saat itu. Ayahnya tidak bersikap begitu buruk kala itu; ditambah lagi, ibunya masih hidup. Itu sudah lama sekali; dia dan saudara laki-laki serta perempuannya tumbuh dewasa tanpa seorang ibu. Tizzie Dunn sudah mati, dan Waters kembali ke Inggris. Semua berubah. Sekarang dia juga akan pergi seperti yang lain, meninggalkan rumahnya.

Rumah! Dia melihat ke sekeliling ruangan, meninjau semua benda yang pernah dikenalnya yang dibersihkannya seminggu sekali selama bertahun-tahun, bertanya-tanya dari mana semua debu ini berasal. Mungkin dia tidak akan pernah lagi melihat benda-benda itu. Dan selama bertahun-tahun itu juga dia belum mengetahui nama pendeta yang fotonya menguning tergantung di dinding di atas harmonium yang rusak di samping cetakan berwarna dari janji-janji pemujaan Margaret Mary Alacoque. Laki-laki itu adalah teman sekolah ayahnya. Ayahnya sering menunjukan foto itu kepada pengunjung, dan biasanya sambil berkata:

“Dia ada di Melbourne sekarang.”

Dia telah setuju untuk pergi, meninggalkan rumahnya. Apakah itu bijaksana? Dia mencoba menimbang setiap sisi pertanyaan. Di rumahnya, ia memiliki tempat tinggal dan makanan; dia memiliki orang-orang yang telah dia kenal sepanjang hidupnya. Tentu saja dia harus bekerja keras, baik di rumah maupun di dalam karir. Apa yang akan mereka katakan tentang dirinya di Toko ketika mereka mengetahui bahwa dia melarikan diri dengan seorang teman laki-laki? Katakanlah dia bodoh, mungkin; dan tempatnya akan diisi oleh iklan. Nona Gavan akan senang. Wanita itu selalu saja dapat menemukan kesalahan pada dirinya, terutama ketika ada orang yang mendengarkan.

“Miss Hill, tidakkah kamu lihat wanita-wanita ini sedang menunggu?”

“Tenanglah, Miss Hill, tolong.”

Karena alasan itu, dia tidak akan terlalu bersedih ketika harus meninggalkan Toko.

Namun, masalah tinggal di rumah baru, di negara yang tidak dikenalnya, pasti akan terasa jauh lebih rumit. Dia akan menikah — dia, Eveline. Orang-orang akan memperlakukannya dengan hormat kemudian. Dia tidak akan diperlakukan seperti ibunya dulu. Bahkan sekarang, meskipun usianya sudah lebih dari sembilan belas tahun, dia terkadang merasa dirinya masih berada dalam bayang-bayang kekerasan ayahnya. Hal itulah yang membuat jantungnya berdenyut tak keruan. Ketika mereka tumbuh dewasa, karena dia hanyalah seorang gadis, ayahnya tidak pernah memperlakukannya sama seperti Harry dan Ernest, dan belakangan laki-laki itu bahkan berkata bahwa dirinya masih diperhatikan semata-mata hanya demi kepentingan ibunya yang telah mati. Dia juga tak punya siapa-siapa yang bakal menjaganya. Ernest sudah mati dan Harry, yang bekerja di bisnis dekorasi gereja, hampir selalu berada di suatu tempat lain. Selain itu pertengkaran soal uang pada Sabtu malam juga benar-benar telah menguras tenaganya. Dia selalu memberikan seluruh gajinya yang sebanyak tujuh shilling itu dan Harry selalu mengirimkan apa yang dia peroleh, tetapi yang jadi masalah di sini adalah meminta kembali uang itu dari ayahnya. Setiap Sabtu malam sikapnya sangat-sangat buruk, dan laki-laki itu pun akan berkata bahwa dirinya tak akan membiarkan uang hasil jerih payahnya dibuang-buang di jalanan, dia tak akan membiarkan uangnya dihambur-hamburkan oleh orang yang tidak punya otak. Pada akhirnya, toh laki-laki itu akan memberinya uang juga disertai pertanyaan apakah dia mau membeli makan malam pada hari Minggu atau tidak. Meski, sebenarnya, dia tak memiliki kesempatan untuk menolak, malahan dia harus buru-buru pergi ke pasar dengan menenteng tas kulit hitamnya, berdesak-desakan dengan kerumunan untuk membeli bahan makanan sehingga sering kali dia pulang dengan sendi yang sakit. Dia bekerja keras untuk menjaga rumah tangga itu tetap utuh. Kerja yang keras. Kehidupan yang sulit. Namun, semua itu, toh sekarang akan berakhir, dia akan meninggalkan rumah itu, tapi justru belakangan ini dia malah mulai merasa bahwa kehidupannya di sana tidaklah benar-benar buruk.

Dia akan memulai kehidupan baru bersama Frank. Frank yang sangat baik hati, gagah, dan terbuka. Dia akan pergi bersama laki-laki itu dengan menumpang perahu malam, menjadi sepasang suami istri yang tinggal di Buenos Aires. Betapa masih kuatnya ingatan dirinya akan proses perkenalan mereka; laki-laki itu menyewa sebuah rumah di jalan utama yang biasa ia lewati. Semuanya seolah-olah baru terjadi seminggu yang lalu. Laki-laki itu berdiri di depan gerbang, dengan topi diputar ke belakang dan sedikit rambut yang tampak dari depan. Kemudian mereka saling mengenal satu sama lain. Laki-laki itu biasa menemuinya di luar Toko setiap malam dan berkunjung ke rumahnya. Dia sering diajak menonton Gadis Bohemian dan begitu bahagia saat bisa duduk berdua. Laki-laki itu sangat menyukai musik dan senang bersenandung. Orang-orang tahu bahwa mereka pacaran dan, ketika laki-laki itu bernyanyi tentang gadis yang mencintai seorang pelaut, dia selalu jadi salah tingkah. Laki-laki itu biasa memanggilnya Poppens sebagai nama candaan. Lama-kelamaan dia pun mulai merasa nyaman dengan laki-laki itu, dan menyukainya. Laki-laki itu memiliki kisah-kisah tentang negara-negara yang jauh. Dia pernah bekerja di kapal Allan Line yang pergi ke Kanada. Dia memberitahunya nama-nama kapal yang dia gunakan dan nama-nama layanan yang berbeda. Dia telah berlayar melalui Selat Magellan dan dia menceritakan kisah-kisah tentang Patagonian yang mengerikan. Dia sejatinya sudah menanamkan akarnya di Buenos Aires, dan awalnya datang ke negara tua hanya untuk liburan. Tentu saja, ayahnya sudah mencium hubungan itu dan dia pun melarang anak gadisnya untuk dekat-dekat dengan lelaki itu lagi.

“Aku tahu siapa pelaut ini,” katanya.

Suatu hari ayahnya bertengkar dengan Frank dan setelah itu dia harus bertemu kekasihnya secara diam-diam.

Malam semakin menghitamkan jalanan. Warna putih dua surat di pangkuannya menjadi tidak jelas. Satu untuk Harry; satu lagi untuk ayahnya. Ernest adalah yang paling dia sukai, tetapi dia juga menyukai Harry. Dia memperhatikan bahwa ayahnya semakin tampak menua saja akhir-akhir ini; laki-laki itu pasti akan merindukannya. Terkadang laki-laki itu bisa sangat baik. Tidak lama sebelumnya, ketika dia sakit selama sehari, laki-laki itu membacakannya cerita hantu dan memanggangkannya sebuah roti. Di lain hari, ketika ibu mereka masih hidup, mereka semua pergi piknik ke Bukit Howth. Dia ingat bagaimana ayahnya mengenakan topi ibunya hanya untuk membuat anak-anak tertawa.

Waktunya sudah hampir habis tetapi dia masih terus duduk di dekat jendela, menyandarkan kepalanya ke tirai, menghirup bau tenunan yang berdebu. Jauh di jalanan dia bisa mendengarkan alunan nada permainan organ. Aneh sekali nuansa ini harus datang menghampirinya sekarang di saat dia akan berangkat, dia teringat pada malam saat dia berjanji kepada ibunya untuk menjaga rumah tetap utuh selama yang dia bisa. Dia ingat malam terakhir mendiang ibunya; dia berada di suatu ruangan gelap di sebelah aula dan di luar dia merasakan nuansa melankolis Italia. Pemain organ telah diperintahkan untuk pergi dan diberi enam pence. Dia ingat ayahnya mondar-mandir kembali ke kamar sakit dengan mengatakan:

“Orang Italia terkutuk! Bisa-bisanya datang kemari!”

Ketika ia memikirkan visi menyedihkan tentang ibunya, jiwanya terguncang oleh suatu ingatan: kehidupan biasa yang penuh pengorbanan yang berakhir dengan kegilaan. Dia gemetar ketika mendengar lagi suara ibunya yang berkata terus menerus dengan desakan bodoh:

“Derevaun Seraun! Derevaun Seraun!”

Dia berdiri seperti habis mendapatkan dorongan yang tiba-tiba. Melarikan diri! Dia harus melarikan diri! Frank akan menyelamatkannya. Laki-laki itu akan memberinya kehidupan, mungkin juga cinta. Tapi dia ingin hidup. Kenapa dia tak boleh bahagia? Dia punya hak untuk bahagia. Frank akan memeluknya, memeluknya erat. Laki-laki itu akan menyelamatkannya.

Dia berdiri di antara kerumunan di stasiun di Tembok Utara. Laki-laki itu memegang tangannya dan dia tahu bahwa laki-laki itu sedang berbicara kepadanya, mengatakan sesuatu tentang perjalanan itu lagi dan lagi. Stasiun itu penuh dengan tentara dengan koper-koper coklat. Melalui pintu-pintu bangsal yang lebar, dia melihat sekilas ke arah perahu hitam, tergeletak di samping dinding dermaga, dengan lubang intip yang dihiasi lampu-lampu. Dia tidak menjawab apa pun. Dia merasakan pipinya pucat dan dingin dan, keluar dari labirin penderitaan, dia berdoa meminta petunjuk kepada Tuhan, ingin tahu apa sebenarnya tugas yang diembannya. Perahu itu meniup peluit panjang yang muram ke dalam kabut. Jika dia pergi, besok dia akan berada di laut bersama Frank, menuju Buenos Aires. Tiket perjalanan mereka telah dipesan. Masih mungkinkah dia pergi setelah semua yang dilakukan oleh laki-laki itu? Kesedihannya membangunkan rasa mual di tubuhnya dan dia terus menggerakkan bibirnya dalam doa yang tenang dan hening.

Suara bel berdentang di hatinya. Dia merasakan laki-laki itu meraih tangannya:

“Datang!”

Semua lautan dunia merobohkan jantungnya. Laki-laki itu menariknya: laki-laki itu akan menenggelamkannya. Eveline mencengkeram pagar besi dengan kedua tangannya.

“Datang!”

Tidak! Tidak! Tidak! Itu tidak mungkin. Tangannya mencengkeram pagar besi dalam hiruk-pikuk. Di tengah lautan dia mengirim tangisan kesedihan.

“Eveline! Evvy!”

Laki-laki itu bergegas melewati penghalang dan memanggil gadis itu agar mengikutinya. Laki-laki itu diteriaki untuk segera masuk tapi dia masih memanggil-manggil gadis itu. Gadis itu memandang laki-laki itu dengan wajahnya yang putih, pasif, seperti hewan tak berdaya. Matanya tidak menampilkan tanda cinta atau perpisahan atau pun pengakuan.*

Sumber: https://medium.com/@exiswijaya/cerita-terjemahan-eveline-james-joyce-f4a2c431dfe7