Dari Filsafat Kebudayaan Hingga Politik Korporatokrasi

Para filsuf dan analis di abad-19 telah menawarkan perspektif baru dalam melihat manusia (setidak-tidaknya dalam kadar jaman mereka), yang untungnya masih tetap relevan untuk konteks saat ini. Soren Kierkegaard, contohnya, memandang manusia di jamannya digerakkan oleh materialisme dan kolektivisme atas dasar rasionalitas instrumental.

Tak jauh berbeda dengan Soren Kierkegaard, sosiolog Max Weber ‘menyesali’ rasionalisme instrumental sebagai the iron cage dan disenchantment of the world. Memudarnya tuah dan pesona kehidupan dunia dalam keseharian kehidupan dunia dan manusia modern.

Para filsuf, sosiolog, dan para ilmuwan di abad ke-19 itu telah memberikan sumbangan bagi khazanah teoritik dan wawasan kebudayaan, setidak-tidaknya pada jaman mereka, yang sekali lagi harus dikatakan, masih relevan bagi jaman selanjutnya.

Berbeda dengan para filsuf, sosiolog dan ilmuwan yang telah disebutkan itu, Friedrich Nietzsche lebih menyelam ke dalam saat melihat persoalan tantangan dan gejala yang dihadapi manusia modern, ketika ia menyatakan bahwa peradaban modern mengidap kesadaran buruk, filsafatnya telah menjadi mummy yang menghisap darah kehidupan manusia, dan asketisme kristiani-nya menurutnya justru telah melakukan pembunuhan karakteristik atas manusia modern.

Dalam skala itu, meski berbeda dalam hal fokus dan perspektifnya, tilikan dan pandangan Friedrich Nietzsche dekat sekali dengan apa yang juga disuarakan Soren Kierkegaard, yaitu menyadari krisis manusia modern. Hegelianisme-Kristen, contohnya, dipandang oleh Kierkegaard sebagai rongrongan atas eksistensi manusia sebagai subjek-subjek yang individual dan mandiri. Di sini, Kierkegaard menegaskan bahwa apa yang dipilih seseorang akan menentukan siapa dirinya dalam konteks dunia modern.

Di sisi lain, sains dan rasionalitas modern telah menjadi suatu pabrik, yang pada akhirnya akan menggiring manusia modern kepada nihilisme. Jalan keluarnya, demikian menurut Friedrich Nietzsche, adalah revaluasi dan transvaluasi nilai-nilai yang dianut manusia modern.

Singkatnya, berbeda dengan para filsuf, sosiolog, dan atau para ilmuwan lainnya, Friedrich Nietzsche telah menyingkap lorong-lorong gelap manusia modern.

Singkat kata, kita juga dapat memahami kembali konteks Friedrich Nietzsche dan Soren Kierkegaard dalam hal kritik kebudayaan dan analisis sosial ketika membaca tulisan-tulisannya Erich Fromm, Martin Heidegger, Rollo May, Allan Bloom, dan tentu saja, para filsuf dan analis yang lazim dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, dan juga para filsuf kontemporer semisal Jacques Derrida dan Michel Foucault.

Demikian penyederhanaan yang saya lakukan demi ‘mengkontekskan’ pandangan-pandangan para pemikir tersebut ketika mereka melihat manusia modern dan anatomi modernitas. Suatu pembacaan yang juga bersifat kultural. Saat ini, sebagai contoh, kehidupan manusia mutakhir tak lepas dari perkembangan tekhnologi informasi dan media yang turut membentuk pikiran mereka dan membentuk opini mereka.

Aktivitas mereka sedemikian mekanik dan birokratis, menaati aturan serta instruksi-instruksi lembaga dan perusahaan. Sehingga ada yang ekstrim menyatakan bahwa masyarakat manusia mutakhir adalah realitas masyarakat budak yang mayoritasnya adalah para buruh dan pekerja yang bekerja untuk memperkaya para korporat dan tuan-tuan kapital.

Bahkan demokrasi yang diklaim sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dalam kenyataannya adalah ‘panggung politik’ para oligarkh dan penguasa modal. Tak lain karena mekanisme politik dan rutinitas suksesi demokrasi elektoral liberal membutuhkan dana sangat besar bagi siapa yang ingin bertarung dan menjadi kontestan, dan karena itu para kontestan atau kandidat membutuhkan donasi korporat.

Begitu pun partai politik didanai oleh korporasi dan korporat, dan tak jarang para pemilik partai politik itu sendiri adalah korporat. Jika demikian kenyataannya, sebenarnya kita tak perlu heran ketika banyak kebijakan para menteri atau presiden dan perundangan-perundangan yang dibuat rezim lebih berpihak kepada kepentingan para korporat ketimbangan kepada rakyat banyak.

Di saat yang sama, rezim tersebut mencipta atau membeli media yang akan menjadi alat atau instrumen propaganda mereka, seperti menyampaikan informasi dan berita yang ‘tidak apa adanya’, melainkan telah ‘diframing’, dipelintir sedemikian rupa. Tak jarang menyebarkan kebohongan serta pengalihan isu untuk menutupi sisi bobrok sebuah rezim, seperti untuk mengalihkan protest kenaikan iuran dan harga-harga komoditas dan jasa.

Sebagai contoh, rezim Joko Widodo yang disokong militerisme dan neoliberalisme, membajak massa religius dan bahkan seringkali membajak isu-isu religius untuk menutupi dan mengalihkan isu kebobrokan ekonominya yang diampu orang-orang neoliberal yang bekerja berdasarkan instruksi-instruksi IMF dan World Bank. Jika tidak dikatakan mereka tak ubahnya para antek dan komprador.