Arsip Kategori: Seri Karl May

Bayangan Padishah (1)

oleh Karl May

“Apakah memang benar Sihdi Tuan, bahwa Anda mau tetap menjadi giaur –seorang kafir, yang dipandang lebih rendah daripada anjing dan lebih menjijikkan daripada tikus yang makan sampah?”

“Ya, begitulah,” jawab saya.

“Effendi, saya benci orang-orang kafir dan bersyukur bahwa setelah kematiannya mereka pergi ke Jehenna, dimana iblis Lucifer tinggal, tapi saya mau menyelamatkan Anda dari kutukan abadi yang akan jadi nasib Tuan jika Anda tidak menjadi seorang yang berIkrar bil Lisan –bersaksi suci. Tuan tidak seperti Sihdi-Sihdi yang pernah saya layani dan saya mengenal kebaikan Anda. Itulah sebabnya saya mau mengubah agama Tuan, baik Tuan mau atau tidak.”

Begitulah bicara Halef, pembantu dan penunjuk jalan saya. Kami telah berkelana menempuh jurang dan celah Jebel (Gunung, Pegunungan) Aures bersama-sama dan kemudian menurun ke Dar El-Haua, sehingga kami bisa ke Seddada, Kris dan Dgashe melalui Jebel Tarfaui. Ada jalan dari tempat itu, Fetnassa dan Kbili dengan melalui chott yang mengerikan.

Halef bertubuh kecil dan serba ingin tahu. Sedemikian pendeknya, sehingga dia bisa berjalan di bawah lengan saya yang dibentangkan tanpa kesulitan. Dia juga sangat ramping dan singset seolah dia puas tinggal selama sepuluh tahun ditekan dibawah ganjal pada sebuah herbarium. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup sorbannya yang bukan main besarnya, yang kira-kira sembilanpuluh senti diameternya.

Jubahnya yang dulu putih sekarang berlepotan dengan berbagai macam warna karena fungsi gandanya sebagai saputangan dan kain lap. Jubahnya mestinya dipakai orang yang lebih besar, sehingga sewaktu turun dari kuda, dia harus merapikannya terlebih dulu seperti perempuan dengan lipatan rok dan petikotnya. Namun, meskipun tampilan fisiknya biasa saja, orang harus mengakui ada rasa hormat tertentu terhadap si kecil ini.

Dia memiliki ketajaman otak yang luar biasa, keberanian yang tiada tara, kemampuan dan ketekunan, yang memungkinkan dia bertahan dan menyelesaikan segala rintangan yang dihadapi. Karena dia bisa berbicara semua dialek antara kampung halamannya Uëlad Bu Seba hingga Delta Sungai Nil, tidak heran saya lebih dari puas dengan pelayanannya, sehingga saya menganggapnya lebih sebagai teman daripada pembantu.

Sayang sekali, Halef memiliki sifat yang sering membuat jengkel saya. Dia seorang muslim yang taat, mendekati fanatik, dan karena perhatiannya atas kehidupan akhirat saya, dia tiada henti-hentinya menghendaki saya pindah agama Islam. Sebagai balasannya, saya pasang senyum kecut dan konyol yang menyertai usaha yang tidak berhasil itu.

Saya mengedarai kuda jantan Berber setengah liar yang kecil, sehingga kaki saya hampir-hampir menyentuh tanah. Sebaliknya dengan Halef. Untuk menambah citranya, berlawanan dengan punya saya, dia menaiki kuda betina Hassiferdshahn setinggi langit yang sudah tua, dan duduk sedemikian tinggi di pelananya sehingga dia harus menundukkan kepala jika memandang saja. Percakapan kami sangat riuhnya dan diimbuhi dengan gerak kedua tangan serta kakinya yang diputar-putarnya ke segala penjuru arah untuk menegaskan kalimatnya; demikian juga gerak mimik wajahnya yang menari-nari untuk menggaris bawahi pentingnya kata-katanya. Tampilan ini kelihatan penuh kejenakaan, sehingga susah sekali bagi saya untuk tetap tenang. Karena saya tidak menanggapi kata-kata sebelumnya, dia meneruskan:

“Tahukah Tuan apa yang terjadi dengan giaur setelah meninggal, Sihdi?”

“Coba katakan.”

“Setelah meninggal, semua orang, apakah dia Muslim, Kristen, Yahudi, apapun juga, melewati Barzakh.”

“Dan itu keadaan antara kematian dan kebangkitan.”

“Ya, Sihdi. Suara terompet sangsakala membangunkan yang tidur di Barzakh. El-Jaum El-Akbar –awal, dan El-Akhiret –akhir, telah dilampaui, dan selanjutnya semua akan hancur musnah kecuali El-Kuhrs –singhasana Tuhan, El-Ruhh, roh suci, El-Lauhel Mafus dan El-Kalam – Kitab dan Suratan Takdir.”

“ Selain itu tidak ada lagi yang masih ada?”

“Tidak.”

“Bagaimana tentang Surga dan Neraka?”

“Sihdi, Tuan bijaksana dan pandai; Anda segera memperhatikan apa yang lupa saya sampaikan, itulah sebabnya menyedihkan sekali kalau Tuan tetap saja mau menjadi giaur yang terkutuk. Tapi saya bersumpah demi jenggot saya, saya akan mengubah kepercayaan Tuan bagaimanapun juga.”

Dengan kata-kata itu dahinya berkerenyut menjadi suatu kerutan. Dia menarik-narik tujuh helai rambut di dagunya dan menyentak-nyentak sembilan ulir rambut pada masing-masing sisi hidungnya, yang dikenal dengan kumis summa summarum. Dia sentak-sentakkan pahanya dan didorong-dorongkan tangannya yang bebas dengan kasar ke surai kudanya, seolah kuda betina itu setan Lucifer sendiri terhadap mana saya harus diselamatkan.

Binatangnya, diperlakukan jelek begitu, menendang-nendangkan kaki belakangnya sebagai tanda protes, tapi mengingat itu tidak patut karena silsilah keturunan mulianya, si kudapun cepat tenang kembali.

Halef melanjutkan pidatonya dengan tidak terhentikan lagi:

“Ya, Jennet dan Jehenna, tetap akan ada. Kalau tidak, dimana yang selamat dan tidak selamat akan ditaruh? Tetapi sebelum seorangpun bisa mencapai tujuannya, mereka semua harus berjalan menyeberangi Jembatan Sirath, yang melintasi Danau Handh dan sedemikian sempit dan tajamnya bagaikan sisi pedang yang terasah tajam.”

“Engkau melupakan sesuatu.”

“Apa?”

“Datangnya Deddshel.”

“Tentu saja! Sihdi, Tuan tahu Qur’an dan semua kitab suci dan begitupun Tuan tak hendak berusaha berubah agama! Tapi jangan khawatir, saya akan menjadikan Tuan “Umat Beriman” nantinya! Pokoknya, sebelum hari pengadilan tiba, Deddshel akan muncul. Dia adalah yang seperti disebut para giaur Antichrist, bukankan begitu Effendi?”

“Ya, begitulah Halef.”

“Setelah itu datanglah Hisab dimana perbuatan dari setiap orang dibacakan dari Kitab –buku- dimana perbuatan baik dan buruk dihitung. Pertimbangan tentang perbuatan baik-buruk ini akan memerlukan waktu limapuluh ribu tahun, suatu jangka waktu dimana bagi si baik akan terasa segera berlalu, tapi bagi si jahat seolah tiada akhir. Itulah Hukum timbangan dari perbuatan semua manusia.”

“Dan setelah itu?”

“Setelah itu datanglah hari pengadilan. Mereka yang telah melakukan tindakan baik dibanding jelek diijinkan memasuki Surga, si kafir dan si pendosa masuk ke Neraka.

Tetapi para Muslim yang tindakan jeleknya mengalahkan yang baik hanya dihukum untuk waktu yang pendek di Neraka. Tuan lihat, Sihdi, apa yang menunggu Tuan sebagai ‘Umat Beriman’? Tapi Tuan akan diselamatkan; Tuan akan pergi bersama saya memasuki Jennet. Saya akan mengubah agama Tuan, baik Tuan bersedia atau tidak!”

Dan lagi-lagi kaki dan tangannya menari-nari dengan sepenuh tenaganya, seolah dia sedang melakukan tampilan pernyataan atas kebersemangatannya terhadap tugas yang diembannya. Kuda betina antik Hassiferdshahnnya sekarang menjadi terbiasa dengan tingkahnya, dan hanya menaik-turunkan telinganya dan menatap dengan sepintas kearahnya.

“Dan apa yang saya derita di Nerakamu?” tanya saya.

“Di Jehenna api abadi akan memanggang Tuan. Aliran air berbau busuk mengalir di sekitar Tuan dan meskipun Tuan terserang rasa haus yang abadi, baunya mencegah Tuan memuaskan derita haus itu. Ada juga pohon-pohon yang menakutkan di sekeliling Tuan dan di antaranya adalah pohon Zakum yang mengerikan, dahan-dahannya berbuah seperti kepala setan.”

“Hih!”

“Ya, Sihdi, mengerikan! Penguasa Jehenna adalah malaikat hitam Thabek, dan di sana ada tujuh bagian, dimana tujuh gerbangnya terbuka lebar. Jehennem, bagian pertama, adalah dimana pendosa Muslim menjalankan hukuman atas kelakuan buruknya .

Ladha, bagian kedua, untuk orang Kristen. Hothama, bagian ketiga, untuk orang Yahudi. Sair, bagian keempat, untuk orang Sabier. Sakar, bagian kelima, untuk orang Magi dan penyembah api, dan Gehim, keenam, untuk semuanya yang menyembah ke berhala dan percaya jimat. Zaoviat, ketujuh dan bagian terakhir yang juga disebut dengan Derk Asfal, adalah bagian yang terdalam dan paling ditakuti. Di sinilah semua orang munafik dikumpulkan. Si terkutuk ini dibawa melalui sungai yang menyala ke masing-masing bagian oleh roh jahat dan dipaksa memakan buah pohon Zakum yang mengerikan itu, dimana lambungnya dicabik-cabik dengan abadi. Oh, Effendi, bersaksilah ke Nabi, sehingga Tuan tinggal di Jehenna hanya sebentar saja!”

Saya menggelengkan kepala dan bilang: “Kalau nasib saya memang harus ke Neraka, saya mau pergi ke Neraka Kristen, yang sama saja mengerikannya.”

“Jangan percaya itu, Sihdi! Saya janji ke Tuan demi Nabi dan semua kalifah bahwa Tuan akan ke Jennet. Boleh saya gambarkan?”

“Silakan!”

“Jennet terletak di atas surga ketujuh dan memiliki delapan gerbang. Pertama Tuan akan tiba di Sumur Hawus Kewser yang hebat, dimana seratus ribu jiwa bisa minum bersamaan. Airnya lebih putih daripada susu, aromanya lebih menyenangkan daripada moshus, kesturi dan dupa, dan di pinggiran sumur tersedia sejuta cawan emas, yang bertatahkan berlian dan batu permata lainnya. Dari sini Tuan bisa pergi ke tempat dimana jiwa beristirahat pada bantal-bantal emas dan disajikan daging yang lezat dan sari buah oleh houris -bidadari cantik. Tuan akan mendengar musik yang paling surgawi yang mengiringi nyanyian yang dilagukan oleh malaikat Israfil. Angin segar, atas kehendak Allah, menghembus melalui pohon-pohon dan mendentingkan genta-genta yang bergantung pada rerantingan dengan harmoni yang begitu paling indahnya. Masing-masing jiwa panjangnya enampuluh els (jarak antara siku dan ujung jari tengah) dan usianya abadi tigapuluh tahun. Di tengah-tengah pepohonan ada Tubah yang menjulang tinggi. Ini adalah pohon keberuntungan baik; batangnya tumbuh dari pusat istana Nabi dan cabangnya mencapai kediaman mereka yang diberkati, serta dibebani dengan segala buah yang disukai. Akar pohon Tubah adalah sumber air terjun dari semua sungai di Surga, dimana susu, anggur, kopi dan madu mengalir tiada henti.

Saya mencatat bahwa jabaran indah dari konsep Surga tadi diambil dari gambaran ajaran sebelumnya dan disesuaikan dengan alam pikir Badui pengembara. Halef menatap saya dengan penuh pengharapan dan jelas dia telah yakin bahwa cara dia menggambarkan tentang Surga telah menyelimuti alam pikir saya.

“Sekarang, apa yang Tuan pikir?” dia bertanya dan penasaran karena saya diam saja.

“Saya harus bilang bahwa saya kurang bahagia dengan memuai menjadi enampuluh els dan saya sungkan dengan houris, karena saya rikuh dengan jenis kelamin wanita.”

“Tapi kenapa?” dia bertanya dengn penuh keheranan.

“Karena Nabi bersabda: ‘Suara perempuan seperti nyanyian bulbul –burung penyanyi, tetapi lidahnya penuh racun seperti bisa’, pernah kau baca ini?”

“Saya pernah baca itu.”

Dia menundukkan kepalanya; saya menempelak dia dengan kata-kata Nabinya sendiri. Setelah beberapa lama, dia bertanya dengan sedikit kurang yakin.

“Tapi kepercayaan kami tidakkah indah? Tuanpun tidak diminta untuk memandang houri?”
“Saya tetap akan seorang Nasrani.”

“Tapi tidak sulit mengucapkan: La Illa illa Allah, we Mohammed Resul Allah!”

“Apakah lebih sulit berdoa: Ja abana ‘Iledsi, fi ‘s- semavati, jata –hadesso ‘smoka?”

Dia menatap saya dengan marah.

“Saya tahu benar bahwa Isa Ben Marryam, yang Tuan panggil Jesus, telah mengajarkan Tuan doa itu; yang Anda sebut ‘Doa Tuhan’. Tuan mau mengubah saya dengan kepercayaan Anda, tapi jangan berharap apapun juga bahwa Tuan akan bisa berhasil meninggalkan saya dari Tauhid, kepercayaan terhadap Allah!

Saya sadar sekali bahwa memperbandingan kepercayaan kami adalah hal yang sia-sia belaka, tetapi saya tahu, hanya itulah satu-satunya cara yang akan membikin dia diam. Saya pakai cara itu lagi belakangan dengan hasil yang baik.

“Jadi biarkan saya dengan kepercayaan saya, dan akan saya biarkan engkau dengan kepercayaanmu!”

Dia menggumamkan sesuatu tak jelas atas kata-kata saya, dan kemudian bergumam, “Pokoknya saya masih mau mengubah Tuan, baik Tuan suka atau tidak. Dan saya akan berhasil , karena Tuan juga punya tesbih-tasbih. Itulah yang saya pastikan, seperti halnya saya adalah Hajji Halef Omar Ben Hajji Abul Abbas Ibn Hajji Dawud Al-Gossarah!”

“Jadi engkau putra Abul Abbas yang putra Dawud Al-Gossarah?”

“Begitulah.”

“Dan keduanya pernah berziarah?”

“Ya.”

“Dan engkau juga seorang hajji?”

“Ya.”

“Jadi semua bertiga sudah pernah ke Mecca (Mekkah) dan telah melihat Kaaba –Ka’bah yang suci?”

“Dawud Al-Gossarah tidak.”

“Ah! Tetapi kenapa engkau panggil beliau hajji?”

“Karena dia begitu. Beliau tinggal di Jebel Shur-Shum dan sebagai orang muda dia memulai ziarahnya. Beliau berhasil menyeberangi El-Juf, yang dikenal sebagai batang tubuhnya padang pasir. Tetapi beliau jatuh sakit dan harus tetap tinggal di Mataair Trasah. Di sana beliau mengambil istri, menyaksikan kelahiran putranya Abul Abbas dan meninggal. Tidak akankah beliau menjadi hajji , seorang penziarah?”

“Hmm! Tapi Abul Abbas berhasil tiba di Mekkah?”

“Tidak.”

“Tadi beliau juga seorang hajji?”

“Ya. Dia memulai ziarahnya dan berhasil tiba di Dataran Admar, dimana beliau harus tinggal.”

“Kenapa?”

“Beliau tertatap Amareh, ‘si Mutiara dari Juneth’, dan jatuh cinta. Amareh istrinya yang melahirkan Halef Omar, orang yang sekarang ada di hadapan Anda.

Kemudian dia wafat. Bukankan dia seorang hajji?”

“Hmm! Tapi engkau pernah ke Mekkah?”

“Tidak.”

“Tapi engkau juga memanggil dirimu seorang penziarah!”

“Ya. Sewaktu ibu saya wafat, saya memulai penziarahan saya. Saya berkelana menuju matahari terbit dan menuju matahari terbenam, melewati tengah hari, melewati tengah malam; saya pelajari semua oasis di padang pasir dan tentang semua tempat di Mesir. Saya belum tiba ke Mekkah, tapi pada akhirnya saya akan tiba di sana. Bukankah saya seorang hajji?”

“Hmm! Saya kira hanya orang yang telah menyelesaikan ziarah hajji dan benar-benar di Mekkah yang diijinkan memanggil dirinya seorang hajji?”

“Sebenarnya, ya. Tapi saya dalam perjalanan ke Mekkah!”

“Sangat mengagumkan! Tapi engkau pada akhirnya juga akan bertemu seorang dara dan tinggal bersamanya; anakmu akan punya kismet yang sama. Kemudian setelah sekitar seratus tahun , cicitmu akan bilang: ‘Saya Hajji Mustafa Ben Hajji Ali Assabeth Ibn Hajji Said Al-Hamza Ben Hajji Schebab Tofail Ibn Hajji Halef Omar Ben Hajji Abul Abbas Ibn Hajji Dawud al Gossarah’ dan tidak ada seorangpun dari tujuh penziarah dari tujuh generasi ini yang pernah melihat Mekkah dan menjadi hajji benar-benar. Bagaimana pendapatmu?”

Meskipun bersungguh-sungguh, dia menjadi tertawa tertahan. Ada kejadian di antara pengikut Nabi yang memanggil diri mereka hajji –khususnya di hadapan orang asing- meskipun banyak dari mereka pasti belum pernah melihat Kaaba dengan mata kepalanya sendiri atau melengkapi perjalanannya dari Safa ke Merweh.

Mereka belum pernah ke Arafah, atau juga tidak bercukur rambut dan janggutnya di Minah. Halef orang kesayangan saya termasuk yang demikian, tapi dia melakukan ini dengan niat baik.

“Sihdi,” dia memohon dengan rendah hati, “apakah Tuan akan memberitahu semua orang bahwa saya belum pernah ke Mekkah?”

“ Saya hanya akan mengungkapnya kalau engkau mencoba mengubah saya menjadi Islam; kalau tidak, saya akan diam saja. Lihat, bukankah itu jejak-jejak di pasir?”

Kami telah berbelok ke Wadi (genangan air musiman, atau bagian keringnya, oase) Tarfaui beberapa saat yang lalu, dan sekarang berada di tempat dimana lerengnya tertutup pasir yang tertiup angin. Di pasir itu, terlihat jejak yang jelas.

“Beberapa orang melintas di sini”, Halef mengabaikan jejak tapal-kuda.

“Makanya kita turun dan periksa jejaknya dengan teliti.”

Dia memandang saya dengan herannya.

“Sihdi, itu tidak perlu. Sudah cukup untuk tahu ada orang lewat sini. Kenapa kita akan periksa jejak tapal kuda di pasir?”

“Tidak ada salahnya kita tahu, siapa yang ada di depan kita.”

“Kalau kita berhenti untuk memeriksa semua jejak yang melintas di jalan Tuan, kita akan tiba di Seddada dalam dua bulan. Apa urusan Tuan dengan siapa yang di depan kita?”

”Sudah menjadi pengalaman saya selama perjalanan saya menempuh negeri-negeri yang jauh, bahwa nasib seseorang bisa bergantung pada kesadaran atas hal yang terjadi pada dia. Sangat disarankan untuk memeriksa semua jejak dan jalur untuk memastikan, jika mungkin, apakah jejak tersebut dibuat oleh lawan atau kawan.”

“Tuan tidak akan ketemu dengan musuh di sini, Effendi.”

“Kita tidak akan pernah tahu dengan pasti.”

Saya turun. Ada jejak yang nyata dari tiga binatang, seekor unta dan dua ekor kuda. Yang pertama jelas unta tunggangan, terbukti dengan jejak yang mencolok. Pada penyelidikan lebih lanjut dari jejak lainnya, saya tertarik dengan salah satu jejak kudanya.

Sangat jelas menderita cacat kecil pada pahanya. Di negeri dimana kuda adalah kekayaan, menaiki kuda yang semacam itu tidak lain menunjukkan bahwa penunggangnya pastilah seorang Arab yang sangat miskin atau seorang asing.

Halef, terheran-heran dengan kerajinan saya memeriksa jejak bertanya, segera setelah saya selesai:

“Apa yang Tuan temui, Sihdi?”

“Jejak tapal dua kuda dan satu unta”

“Dua kuda dan satu jemmel! Allah melindungi mata Tuan, saya juga melihat persis hal yang sama tanpa harus turun dari tunggangan saya. Tuan seorang taleb – berpendidikan, melakukan hal-hal yang menertawakan seorang hamahr –pengendara keledai. Apa guna harta karun ilmu pengetahuan yang telah Anda ungkap di sini?”

“ Saya tahu terutama bahwa tiga penunggang melalui tempat ini sekitar empat jam yang lalu.”

“Dan apa guna pengetahuan itu? Tuan orang-orang dari Belad El-Rumi –dari Eropa, orang-orang yang aneh!”

Wajahnya menunjukkan rasa belas kasihan yang luar biasa terhadap saya. Saya lebih suka mengabaikan ini dan kami meneruskan perjalanan dengan diam-diam.”

Kami mengikuti jejak itu sekitar satu jam lamanya, hingga kami tiba di kelokan wadi dimana kuda-kuda kami tiba-tiba berhenti. Tiga burung ruak bertengger pada tebing bukit pasir tidak jauh dari kami, memekikkan jeritan kering mereka seraya membubung ke tinggi angkasa dengan sayap terkembang.

“El buedj –burung ruak,” kata Halef. “Dimana ada burung itu, pasti akan ada bangkai.”

“Ya, pasti ada binatang mati di dekat sini,” saya menjawab sembari mengikuti dia menaiki bukit pasir.

Halef memacu kudanya dan saya mengikutinya. Dia hampir saja tiba di atas bukit pasir ketika tiba-tiba menghentikan kudanya dan meneriakkan rasa terkejutnya, “Masha Allah – Keajaiban Tuhan! Apa ini! Bukankah itu orang yang terbaring di sana, Sihdi?”

Saya sependapat, itu memang benar orang yang mayatnya dijadikan santapan ruak. Saya melangkah cepat-cepat dari kuda saya dan berlutut di samping sang mayat.

Cakar ruak telah merobek-robek bajunya, tapi ketika menyentuh tubuhnya saya dapati bahwa orang yang malang itu belum lama meninggalnya.

“Allah kerim –Tuhan Maha Pengasih! Sihdi, apakah orang ini meninggal karena sebab-sebab wajar?’ tanya Halef.

“Tidak. Kau lihat luka di lehernya dan lubang di tengkorak kepalanya? Dia dibunuh.”

“Allah menghukum orang yang melakukan ini. Ataukah orang ini meninggal karena perkelahian yang jantan?”

“Apa maksudmu dengan perkelahian yang jantan? Mungkin dia korban balas dendam berdarah. Kita periksa bajunya.”

Halef membantu dalam tugas ini. Kami tidak menemui apa-apa hingga perhatian saya akhirnya tertuju pada tangan kiri si jenasah. Saya lihat bulatan emas sederhana yang biasa dipakai untuk cincin kawin. Saya lepaskan cincin dari jarinya dan mendapati di bagian dalamnya ukiran tulisan kecil tapi jelas – ‘E.P. 15. Juillet 1830.’

“Apa yang Tuan dapati?” tanya Halef.

“Orang ini bukan Ben Arab.”

“Jadi apa kemungkinannya?”

“Seorang Prancis.”

“Seorang Frank, seorang Kristen? Apa alasannya?”

“Jika seorang Nasrani mengambil seorang istri, ikatannya biasanya disimbolkan dengan pertukaran cincin, dimana nama-nama mereka dan tanggal perikatannya ditulis.”

“Dan itu cincin semacam itu?”

“Ya.”

“Tapi darimana Tuan tahu bahwa orang ini adalah seorang Frank? Dia mungkin saja seorang Inglis atau seorang Nemsi seperti Anda.”

“Ada beberapa hal yang bercirikan Prancis di tulisannya.”

“Biarpun, itu saja tidak menunjukkan dia benar-benar seorang Frank, Effendi. Tidakkah mungkin saja dia menemukan atau bahkan mencurinya?”

“Itu memang betul. Tapi lihatlah kemeja yang dipakai dibawah pakaiannya, pasti itu asalnya dari Eropa.”

“Siapa yang membunuh dia?”

“Dua teman seperjalanannya. Tidakkah engkau lihat pasir di sekitar sini berhamburan, bukti jelas dari perkelahian? Dan kau perhatikan bahwa …”

Saya berhenti di tengah kalimat. Sewaktu saya berbicara, saya juga bangkit untuk menyelediki daerah sekitar. Saya perhatikan awal gelimang tumpahan darah yang melebar yang asalnya tak jauh dari mayat dan menuju bagian lain di antara batu karang yang berdekatan. Saya ikuti jalan setapak ini dengan senjata terkokang di tangan, karena mungkin si pembunuh masih ada di sekitar. Saya tidak perlu melangkah terlalu jauh ketika saya dengar kepak sayap dari lebih banyak lagi ruak yang segera cepat-cepat menghindar dari pesta yang kedua, seekor unta, yang mati karena luka yang besar pada dadanya. Halef menepukkan kedua belah tangannya dan dengan nada yang berduka-cita berseru, “Seekor hedjihn abu-abu, seekor tuareg-hedjihn abu-abu, dan anjing-anjing pembunuh ini, piaraan-piaraan Shaïtan – iblis, telah membunuhnya!”

Jelas dia lebih prihatin atas kematian onta tunggangan yang indah daripada kematian seorang Prancis. Sebagai seorang putra gurun sejati, dimana bagi mereka barang yang sekecil apapun bisa berarti hal yang bernilai tinggi, dia berlutut di samping onta dan menggeledah kantong-kantong pelana- semuanya kosong.

“Para pembunuh telah mengambil semuanya , Sihdi. Mudah-mudahan mereka dibakar di Jehenna selama-lamanya! Tidak ada, sama sekali tidak ada yang mereka tinggalkan, hanya onta –dan kertas-kertas di pasir di sana.”

Kata-katanya menarik perhatian saya ke tempat itu, tidak jauh dari kami, dimana ada beberapa kertas lecek yang nyata-nyata dianggap tidak berguna dan dibuang.

Mengingat kertas-kertas ini mungkin berisi informasi yang bisa membantu menjelaskan apa yang terjadi di sini, saya berjalan memungutinya. Ternyata beberapa lembar halaman dari surat kabar dan saya merapikan serta mengumpulkannya. Sekarang saya ada dua halaman dari ‘Vigie algériene’ dan juga dua dari ‘L’indépendant’ dan ‘Mahouna’. Yang pertama adalah surat kabar Aljazair, yang kedua dari Constantine dan yang ketiga dari Guelma. Meskipun berasal dari tempat berbeda, setelah melihat isinya sekejap, saya mendapati bahwa masing-masing koran melaporkan cerita yang sama tentang pembunuhan seorang pedagang Prancis di Blidah. Tersangka yang dicurigai adalah seorang pedagang Armenia, yang segera melarikan diri dan waktu itu segera dikejar habis-habisan. Jabaran pelakunya dari tiga laporan itu, sama dalam segala hal.

Untuk alasan apa orang Prancis yang meninggal, yang nyata-nyata juga pemilik dari onta mati ini membawa-bawa koran-koran tersebut? Apakah insiden yang disebutkan itu berhubungan dengan dirinya secara pribadi? Apakah dia keluarga dari pedagang di Blidah itu, apakah dia pembunuhnya, atau apakah dia petugas polisi yang memburu si pembunuh?

Saya ambil koran-koran itu dan memasukkannya ke kantong saya dan menyelipkan cincin di jari supaya aman, dan kembali ke Halef yang masih di samping bangkai. Di atas kami, ruak berputaran. Segera setelah tidak jauh kami beranjak, mereka turun menyerbu bangkai onta itu sekali lagi.

“Apa yang akan Tuan lakukan sekarang, Sihdi?”, tanya pembantu saya.

“Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang selain mengubur lelaki malang ini.”

“Tuan mau menggali lubang dan menaruh dia kedalamnya dan menutupnya dengan tanah?”

“Tidak, untuk itu kita perlu alat yang tidak kita punyai. Kita akan tutup dia dengan bebatuan sehingga binatang tidak bisa mengganggu jasadnya.”

“Dan Tuan kira dia benar-benar seorang giaur?”

“Dia seorang kristiani.”

“Masih mungkin saja Tuan keliru, Sihdi; mungkin saja dia seorang muslim. Untuk itu ijinkan permintaan saya!”

“Apa itu?”

“Mari kita baringkan dia dengan wajah menghadap Mekkah!”

“Saya tidak keberatan dengan itu, karena dia akan juga menghadap Yerusalem dimana Kristus Penyelamat kami menderita dan meninggal. Mari kita kerjakan!”

Kami melakukan tugas yang menyedihkan itu dengan kesunyian mendalam.

Gundukan bebatuan yang kami tumpukkan menutup di atas mayat yang akan melindunginya dari binatang-binatang gurun. Saya tempatkan lagi batu-batu tambahan yang saya bentuk seperti salib. Saya kemudian melipat kedua belah tangan untuk berdoa, dan mengucapkan beberapa kata. Setelah usai, Halef menghadapkan pandangannya ketimur dan mulai mengucapkan surat ayat-ayat Qur’an:

“Atas Nama Tuhan yang Maha Pengasih! Katakan: Allah adalah Esa dan abadi. Dia yang gaib dan tidak ada yang menyamai. Manusia menyukai hidupnya yang singkat dan tidak peduli dengan keabadian. Hari akhirmu telah tiba dan sekarang engkau akan menemui penciptamu dalam kehidupan yang baru. Kiranya dosa-dosamu hanya sedikit dan jumlah amalmu sebanyak butir pasir di gurun dimana engkau tidur!”

Setelah kata-kata itu dia berlutut di pasir dan memakai pasirnya untuk membersihkan tangannya yang telah ternajisi karena memegang mayat.

“Jadi Sihdi, saya sudah tahir lagi, yang dibilang bani Israel kosher, dan boleh memegang lagi yang bersih dan suci. Apa yang kita lakukan sekarang?”

“Kita coba mengejar para pembunuhnya.”

“Tuan akan membunuh mereka?”

“Saya bukan hakim atau dewan juri. Saya mau bicara dengan mereka untuk mengetahui kenapa mereka melakukan kejahatan itu, kemudian saya akan tahu apa yang akan saya lakukan berikutnya.”

“Mereka bukan orang-orang yang pintar, kalau tidak , mereka tidak akan membunuh seekor hedjihn yang jauh lebih berharga daripada kuda-kudanya.”

“Hedjihn itu akan bisa membuka rahasia mereka. Tengok, kau lihat jejaknya. Mari! Mereka mungkin lima jam jauhnya di depan kita, mungkin kita bisa kejar mereka di waktu pagi sebelum mereka tiba di Seddada.”

Meskipun panas yang menyengat dan tanah bebatuan yang mencapekkan, kami melaju seolah mengejar gazelle, itulah sebabnya susah untuk bercakap-cakap. Kesepian yang terpaksa ini jelas sangat menyulitkan Halef.

“Sihdi,” dia memanggil saya dari belakang , “Sihdi, Tuan mau kehilangan saya?”

Saya berbalik memandang dia.

“Kehilangan engkau?”

“Ya. Kuda betina saya tulangnya lebih tua daripada kuda Berber jantan Anda.”

Hassiferdshahn betina kunonya benar-benar berlumuran keringat dan busa berleleran keluar dari mulutnya.

“Tapi hari ini kita tidak bisa istirahat di bagian hari yang paling panas seperti biasanya, dan kita harus tetap berkuda hingga matahari terbenam atau kita tidak bisa menangkap buruan kita.”

“Yang cepat belum tentu berarti mencapai akhir tujuan sebelum yang lambat, Effendi, jadi –Allah akbar, lihat di sana!”

Kami berada di hadapan gundukan besar wadi dan melihat di kejauhan, mungkin seperempat jam perjalanan dari kami kini berada, dua pengendara, atau tepatnya dua orang yang duduk di pinggiran sobha, kolam kecil yang berair payau. Kudanya mengunyah mimosa kering dan berduri yang tumbuh di kawasan itu.

“Ha, itu mereka!”

‘Ya, Sihdi, itu mereka. Kelihatannya terlalu panas bagi mereka, dan mereka ambil keputusan untuk melewatkan hari yang paling panas.”

“Atau mereka ambil keputusan untuk membagi barang jarahannya. Mundur, Halef, mundur, supaya mereka tidak melihat kita! Kita meninggalkan wadi dan mengendara ke barat untuk tidak berapa lama sehingga kelihatannya kita dating dari Chott Rharsa.”

“Kenapa, Effendi”

“Sehingga mereka tidak curiga bahwa kita menemukan mayat korbannya.”

Tunggangan kami mendaki pinggiran wadi dan kami mengendara lurus ke gurun ke arah barat. Setelah berapa lama, mengarah ke posisi dimana dua orang itu beristirahat. Karena mereka berada di bagian paling dasar dari wadi, mereka tidak melihat kami mendekat, tapi tidak bisa tidak pasti mendengar kami datang begitu kami mendekat.

Sebagaimana telah kami perkirakan, mereka mendengar kedatangan kami dan telah bangkit begitu kami melerengi pinggir wadi. Karena juga telah memperkirakan, mereka telah memegang senjatanya dan sekarang menatap kami dengan penuh kecurigaan. Saya tentu saja berlaku sebaliknya, sebagaimana seseorang yang tiba-tiba berhadapan dengan orang asing di daerah liar yang sepi. Namun demikian, saya tidak memandang perlu untuk mempersiapkan persenjataan.

“Salaam alaïkum” saya menyapanya, sewaktu saya turun dari atas kuda.”

“Aaleïkum,” jawab yang lebih tua. “Siapa kalian?”

“Kami para pengendara yang suka damai.”

“Dari mana datang kalian.”

“Dari barat.”

“Menuju ke mana?”

“Ke Seddada.”

“Masuk suku mana kalian?’

Saya menunjuk ke Halef dan menjawab:

“Dia dari Dataran Admar, dan saya masuk ke Beni-Sachsa. Dan Anda?”

“Kami dari suku terkenal Uëlad Hamalek.”

“Uëlad Hamalek adalah para penunggang kuda yang hebat dan pejuang yang berani. Dari mana Anda datang?”

“Dari Gafsa.”

“Itu berarti bahwa Anda telah menempuh perjalanan yang jauh. Kemana Anda menuju?”

“Ke Bir Sauidi, di sana kami punya teman-teman.”

Bahwa mereka datang dari Gafsa dan sedang menuju ke Sauidi pasti jelas dusta, tapi saya meneruskan seolah saya percaya semua kata-katanya dan bertanya:

“Apa Anda mengijinkan kami untuk bergabung selama kami istirahat?”

“Kami bermaksud tinggal di sini hingga esok pagi buta,” begitu jawabnya, yang berarti tidak menolak tidak juga mengundang.

“Kami juga bermaksud tinggal di sini hingga matahari terbit. Anda punya cukup air untuk kami berdua dan kuda-kuda kami. Ijinkan kami tinggal di sini.”

“Padang pasir milik semua orang. Marhaba – Selamat Datang di tengah-tengah kami!”