Agama, Puisi, Sejarah

Sejauh menyangkut agama, demikian menurut Jacques Derrida, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dapat diidentifikasi atau pun yang identik dengan dirinya sendiri untuk apa yang disebut “agama”. Secara historis “agama” merupakan ciptaan Romawi kuno yang kemudian diapropriasi oleh kristianitas. Dalam hal ini menurut Cicero, kata “religio” berasal dari “relegere”, suatu modifikasi atas kata kerja Latin: “legere” yang berarti mengumpulkan dan memanen.

|

Selanjutnya Tertulianus yang merupakan seorang muallaf Kristen dari Afrika Utara pada abad kedua kemudian mengemukakan hal yang berbeda. Menurutnya kata “religio” berasal dari “religare” yang berarti mengikat atau simbolisasi ikatan kewajiban atau hutang “primordial” antara manusia dengan Allah. Dalam artian yang kedua inilah menurut Derrida kata “religio” telah menginjeksikan isu-isu yuridis dan mengikat agama kepada lingkaran hukum, yang secara inheren mengandung kekerasan (intoleran) dan cenderung menolak keterbukaan terhadap keberlainan (alteritas). Sebab ia akan menyingkirkan apa yang tidak masuk dalam “ikatan” tersebut, karena menurutnya kata depan “re” menyimbolkan suatu pengulangan dan acuan kepada diri sendiri. Suatu penolakan terhadap pemisahan. Pada moment inilah agama mengandaikan ketertutupan.

|

Penolakan akan pemisahan yang ditunjukkan oleh prefiks “re” dalam kata “religio” menurut Derrida muncul dengan suatu cara yang paralel di dalam “responsibilitas” dan “respons” yang berasal dari kata kerja Latin: spondeo, yang artinya menjamin. Dan arti ini memiliki kedekatan dan kemiripan dengan kata “religare” (mengikat) yang dikemukakan Tertulianus. Sebab “respondeo” atau “responsum” berarti penerjemah para dewa yang memberikan suatu janji sebagai balasan atas “persembahan”. Dan balasan yang diinginkan dari persembahan itu tak lain adalah jaminan keamanan.

|

Karena itulah menurut Derrida kata responsibility berbagi arti dengan religio dalam kepedulian terhadap transaksi ekonomis: suatu imbalan dan jaminan keamanan yang dituntut dari persembahan (sesajen). Dalam hal ini menurut Derrida, jaminan yuridis dan ekonomis tersebut tidak memasukkan inti tanggungjawab di hadapan alteritas (keberlainan), di hadapan yang tak dapat dikalkulasikan, di hadapan orang asing (kafir) dan yang datang tak terduga. Di hadapan orang yang bukan bagian dari komunitas agama tertentu.

|

Asal-usul tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi pemahaman religius terhadap toleransi dan kekafiran. Pada konteks inilah tanggungjawab etis-politis filsafat adalah menganalisis dan menarik konsekuensi-konsekuensi praktis dan efektif antara warisan filosofis dan struktur sistem yuridis-politis.

|

Dalam hal ini relevan untuk menghadirkan kembali apa yang pernah ditegaskan warisan kuno spirit esensi keagamaan yang menekankan welas-asih “Untuk menghabisi banyak bangsa, dengan demikian engkau telah berdosa pada dirimu sendiri” (Habakuk 2:10). “Karena aku menempatkan diri di lapangan kejahatan, dan nasibku berada di kalangan orang-orang yang buruk nasibnya. Maka aku berdiri di tanah terbatas, dan tahu masih ada harapan, karena yang Kau ciptakan dari debu akan bergaul dengan keabadian” (The Dead Sea Scroll).

|

Kesadaran sejarah dalam laku keberagamaan atau pun keagamaan menjadi penting dalam rangka menemukan konteks dan wawasan yang relevan`

|

Pada moment ini sejarah mestilah dipahami sebagai sebuah perjalanan yang berada di seberang dirinya sendiri yang tidak imanen. Bukan sebagai sesuatu yang dapat dikalkulasi. Tetapi lebih berbicara tentang harapan. Merujuk pada kemungkinan dan masa depan untuk melampaui kekinian. Sebentuk kreativitas untuk mengatasi kejumudan. Sebentuk waktu yang berziarah. Sejenis eskatologi yang tak memiliki muara. Suatu ikhtiar untuk memaknai hidup bukan sebagai pemberian, tetapi lebih sebagai anugerah yang harus diperjuangkan ke depan. Sebentuk tanggungjawab dan komitmen pada yang fana.

|

Dengan demikian tanggungjawab religius pada alteritas adalah sebentuk pengalaman ditinggalkan Tuhan. Tapi justru dengan itulah manusia senantiasa menanggung kerinduan yang tak pernah mendapatkan perjumpaan. Dan ketika ia tak pernah menjumpa dan mendapatkan kehadiran Tuhan, maka ia pun mencari muaranya pada sesama dalam wujud tanggungjawab. Dan karena itulah manusia memanifestasikan kerinduannya dengan jalan berkarya untuk menemukan citra Tuhan dalam dan bagi dirinya.

|

Ia tak lagi mempersoalkan ada dan tidak adanya Tuhan. Ia hanya merasa memiliki kewajiban untuk mewujudkan kerinduannya menjadi sebentuk komitmen dan tanggungjawab pada yang fana dan kefanaan.

|

Ikhtiarnya untuk mendapatkan surga justru harus ditebus dengan kerja dan karya, bukan dengan kegandrungan untuk mendakwahkan kekafiran dan membenarkan pembunuhan atas nama iman. Pada konteks ini tanggungjawab religius di hadapan alteritas (keberlainan) adalah seperti Musa yang melepaskan kasutnya atau sandalnya (identitas politisnya) ketika menghadap Tuhan. Ia harus datang sebagai pribadi. Tapi sekaligus juga sebagai orang asing di hadapan Tuhan. Sebagai keberlainan itu sendiri.

|

Manusia tak pernah tahu apa yang diinginkan Tuhan dari dan kepadanya. Ia hanya mampu menduga-duga. Seperti halnya puisi yang melakukan interupsi dan investigasi. Karena itulah ia menjadi kreatif. Yang bersumber dari kepercayaan pada eskatologi yang tak pernah tergenapi. Dan ketika sadar akan ketakmungkinan untuk menggenapi itu, manusia senantiasa mengembangkan dirinya ke arah citra Tuhan yang dirindukannya.

|

Ketakmungkinannya kemudian berubah menjadi sebentuk ikhtiar mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat memberikan kemuliaan pada kefanaannya. Menjadi karya dan kerja yang berguna untuk sesamanya.

| Sulaiman Djaya 2007